Pekan lalu saya dan keluarga mengantar anak ke tempat tinggal mertuanya di Kawasan Tampines (Tempenis), Singapura. Dia akan menetap sementara di rumah mertuanya bersama suaminya yang WN Singapura, sebelum memiliki rumah sendiri, sambil menunggu ijin menetap (permanenst residence) atau permohoan kewarganegaraannya di Singapura ke luar.

Jika dihitung dari “pusat kota” (Kawasan Orchard Road / Marina Bay Sand), Tampines memang cukup jauh. Sekitar 50 menit menggunakan MRT dari Marina. Tetapi hanya dua stasiun dari Changi. Tetapi jarak yang jauh itu tidak terlalu melelahkan untuk ditempuh, karena MRT beroperasi penuh setiap hari mulai pukul 05.30 sampai pukul 01.00. Biasanya di event khusus, durasi operasionalnya akan diperpanjang. Pada jam sibuk antara pukul 07.00 – 09.00 dan 17.00 – 19.00 kereta akan tiba setiap dua hingga tiga menit. Selain itu juga ada bus yang beroperasi dengan waktu yang sama. Bus akan akan datang setiap 5 menit.
Mayoritas warga Tampines – sebagaimana umumnya WN Singapura – menggunakan angkutan publik untuk bepergian. Di Tampines bus masuk ke dalam komplek permukiman untuk membawa penumpang ke stasiun MRT ke tempat-tempat lain di Singapura. Penghuni cukup jalan kaki beberapa puluh meter ke halte yang ada di dekat tempat tinggal. Namun ada juga warga yang membawa sepeda ke stasiun MRT, dan memarkirkan di sana. Parkir motor sama sekali tidak ada. Keberadaan sepeda motor di jalan-jalan raya di Singapura bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan dikendarai oleh karyawan pengantar barang.
Selain kemudahan angkutan publik, Tampines juga dilengkapi dengan sarana Pendidikan. Ada 14 sekolah dasar, 10 sekolah lanjutan dan 3 pendidikan tinggi. Sarana olahraga dan tempat beramin anak juga disediakan. Pertokoan kecil, tempat kuliner terdapat di mal dekat stasiun. Selain itu juga ada tempat kuliner di dekat blok-blok apartemen. Tampines memiliki sebuah klub sepakbolak bernama Tampines Rovers yang bermain di Liga Singapura.
Kawasan Tampines membentang seluas 1.200 hektar, 549 hektar di antaranya untuk permukiman. Datang tahun 2018 menunjukkan terdapat 8.812 flat yang dihuni oleh 232.700 warga.
Meskipun terlihat sangat luas, Tampines bukanlah yang terbesar di Singapura. “Yang terbesar Jurong. Gabungan antara Tampines dan Pasir Ris, sama dengan Jurong,” kata sopir taksi yang kami tumpangi. Kebetulan dia tinggal di Tampines.
Ketika saya ke Singapura tahun lalu, di belakang hotel tempat menginap di Lavender juga terdapat flat-flat permukiman. Kawasan permukiman itu terletak tidak jauh dari stasiun MRT dan halte bus. Warga cukup berjalan kaki dari tempat tinggalnya bila ingin bepergian. Terdapat juga took-toko kecil dan pusat kuliner yang selalu dipenuhi pengunjung pada saat jam makan. Baik makan siang maupun makan malam.
Di dekat blok apartemen terdapat sungai yang selalu terawat. Pinggir sungai yang bersih seringkali digunakan untuk jogging atau jalan kaki oleh warga. Umumnya seperti itulah Kawasan permukiman di Singapura. Banyak fasilitas yang tersedia.
Niat pemerintah Singapura untuk memberi tempat tinggal warganya dilakukan dengan serius. Flat Housing and Development Board’s (HDB) yang awalnya tersedia untuk disewa, kemudian didorong untuk dimiliki oleh penduduk. Pemerintah PM Lee Kuan Yew (almarhum) yakin, kepemilikan rumah bisa mendorong stabilitas nasional.
Setelah beberapa dekade pembangunan yang intensif, Singapura kini punya lebih dari satu juta flat HDB di 23 kawasan kota. Pada 1960, hanya 9% orang Singapura yang tinggal di perumahan publik; kini angka itu mencapai 80%, dan lebih dari 90% warga memiliki rumah. Harga jual untuk pembangunan baru (dibangun sesuai pesanan) lebih rendah dari harga pasar — meski ada periode menunggu antara 3 sampai 4 tahun sebelum Anda bisa pindah — dan stok sewaan juga disubsidi secara besar-besaran untuk rumah tangga berpemasukan rendah. Angka terbaru menunjukkan bahwa flat HDB bisa mencapai 73% dari stok perumahan di Singapura.
Flat HDB memiliki kontrak kepemilikan 99 tahun. Tidak bisa diwariskan. Setelah kontrak itu habis, maka pemerintah bisa mengklaimnya.
Soal permukiman di Indonesia merupakan masalah krusial yang tak pernah selesai. Menyediakan tempat tinggal bagi 270 juta warganegara bukanlah hal yang mudah. Apalagi lingkungan di perkotaan yang semakin padat dan sempit.
Pada tahun 2023, persentase rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri sebanyak 84,79 persen. Dengan kata lain, masih terdapat 15,21 persen rumah tangga di Indonesia yang belum memiliki rumah. Dari jumlah 15,21 persen, status rumah yang sedang ditempati para keluarga meliputi kontrak/sewa 5,05 persen, bebas sewa 9,37 persen, rumah dinas 0,76 persen, dan lainnya 0. Jika jumlah penduduk hampir 280 juta jiwa, artinya yang belum memiliki rumah sendiri berjumlah 27 juta jiwa (itu pun kalau sensusnya benar).
Di Indonesia sendiri saat ini sedang terjadi polemik yang cukup panas dengan munculnya Peratuaran Pemerintah (PP) 21 / 2024 Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat). Dalam PP itu disebutkan, gaji pekerja akan dipotong 3% oleh pemerintah. 2,5% dipotong dari gaji pekerja, dan 0,5 % dibayar oleh pemberi kerja.
Mengapa PP itu menimbulkan pro dan kontra? Karena gaji pekerja yang kecil itu selama ini juga sudah dipotong macam-macam. Mulai dari pajak penghasilan, BPJS Kesehatan sebesar 1% atau Rp 50.000 per bulan, Iuran Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 2% atau senilai Rp100.000 per bulan, iuran program Jaminan Pensiun sebesar 1% atau Rp 50.000 per bulan, Iuran Tapera 2,5% atau setara Rp 125.000 per bulan, dan pajak penghasilan.
Selain itu, yang membuat masyarakat khawatir, selama ini dana yang dihimpun dari masyarakat seringkali tidak jelas penggunaannya. Dan masyarakat yang telah dipotong gajinya juga sulit mengklaim haknya. Apalagi potongah 3% untuk pekerja yang hanya mendapat gaji UMR – katakanlah di Jakarta, sebesar Rp.5.067.381, apakah mungkin setelah sang pekerja pensiun bisa membeli rumah dengan uang dari potongan gajinya selama bekerja? Belum lagi masa kerja di Indonesia yang seringkali mengalami ketidakpastian karena rawan PHK dan perusahaan-perusahaan yang gulung tikar atau pindah tempat.
Sejauh ini alasan pemerintah mewajibkan Tapera masih belum bisa diterima masyarakat. Yang jelas, sanksi bagi karyawan atau perusahaan yang menolak Tapera, sudah terbayang di depan mata! (herman wijaya)