Dapatkah idiom publik diingkari, dihapus dan ditinggalkan? Surya Paloh dengan menggelegar, ketika mendeklarasikan Anies-Muhaimin, berpidato: “Selamat tinggal politik cebong kampret. Politik yang memang mengadu domba, memecah belah, dan merusak sistem kebangsaan kita.”
Masyarakat selalu butuh idiom publik, misalnya olok-olok cebong kampret itu. Istilah yang lahir begitu saja. Key-word yang di dunia kreatif lazim dirancang dengan seksama. Di sinetron, Rano Karno bikin “tukang insinyur”, Mandra nyerocos “Nyunyuuuun”, saya menulis di skenario Si Doel Anak Sekolahan idiom “top markotop” yang dipopulerkan Mas Karyo. Tahun 1994, Elma Theana menjadi legend lewat iklan Xon-C, sebagai petugas pintu tol dengan key-word, “Xon-C nya mana?” Itu iklan yang key-word dan key-place nya luar biasa, wajar jika kemudian menjadi idiom publik.
Cebong kampret adalah idiom publik yang biasa saja. Mengadu domba? Merusak sistem kebangsaan kita? Kayaknya itu dakwaan yang berlebihan, dan salah alamat. Konotasi begitu itu hanya ada di kepala orang-orang yang tidak pernah kerja bakti di kampungnya. Jarang bergaul dengan tetangga sebelah dan se-RT. Mereka yang ke pasar tradisional, panti asuhan, gang dan tempat bermukim orang miskin, hanya di saat kampanye belaka. Selebihnya, adalah cemas ketika pola pikir, niat tersembunyi yang dikemas indah dan pamrihnya, mendadak melahirkan kesimpulan yang lantas menjadi idiom publik.
Politik yang mengadu domba, memecah belah, merusak sistem kebangsaan, adanya di dalam rahim parpol, bukan di keseharian masyarakat jelata. Tidak perlu mengingkari dan mengucapkan selamat tinggal kepada cebong kampret. Cebong dan kampret akan hilang sendiri, akan berganti kadrun atau yang lain. Indonesia akan menjadi lebih baik jika tidak ada korupsi. Kenapa tidak mengucapkan selamat tinggal korupsi? **
Harry Tjahjono
4/9/2023