Seumpama rumah, laut adalah halaman bagi sebuah negara. Halaman bukanlah sekedar akses ke luar masuk bagi pemilik rumah, tetapi juga tempat bersantai atau tempat parkir kendaraan.

Sebagai tempat santai, halaman selalu ditata dengan baik, dirawat, dibersihkan setiap hari. Sampah-sampah pohon yang berserakan perlu disapu; tanaman-tanaman hias perlu dipangkas ranting-rantingnya agar tetap terlihat indah, diberi pupuk dan ditata agar terlihat estetik. Macam-macamlah cara merawat halaman. Jangan sampai juga pipa septictank merusak pemandangan.
Hari-hari belakangan ini, kita dihebohkan dengan halaman depan rumah kita bersama dijadikan tempat pembuangan sampah. Bukan cuma sekali, tapi berkali-kali, karena sumpahnya sudah bertumpuk. Akibatnya anak-anak sulit bermain, bahkan untuk ke luar masuk rumah.
Celakanya, satpam yang telah kita gaji, mengaku tidak tahu menahu, walau pun ada yang bertugas di bagian halaman. CCTV, seperti biasanya jika terjadi kasus, tidak berfungsi.
Dari sekian banyak penghuni rumah, sebenarnya tahu siapa yang membuang sampah. Satpam juga mustahil tak tahu. Tetapi tak ada yang berani menunjuk siapa pelakunya. Mereka takut, karena pelakunya orang kaya. Pemilik rumah dan satpam memang berkali-kali mendapat wejangan, agar jangan melawan orang kaya. Orang kaya menduduki kasta tertinggi sebagai orang yang tidak boleh dilawan. Di bawahnya pejabat dan orang berpangkat.
Mengapa orang kaya berada di kasta tertinggi, karena orang kaya bisa membayar pejabat dan orang berpangkat. Dan karakter orang kaya, selalu tak pernah salah. Itu aturan pertama. Aturan kedua, kalau orang kaya salah, makan hukum yang berlaku kembali ke aturan pertama.
Akhirnya, daripada ribut dengan orang kaya yang diduga kuat sebagai pelaku pembuangan sampah, anggota keluarga dan satpam berinisiatif untuk membersihkan sampah yang menumpuk, tanpa harus ribut-ribut. Itu lebih bijak. Everybody is happy. Pala lu Peang! (hw)