Jakarta, Defacto – Hal ini merupakan upaya tindak lanjut atas aduan masyarakat sekaligus untuk bersinergi dalam menyelesaikan kasus-kasus yang berhubungan dengan sengketa pertambangan dan perkebunan, termasuk persoalan kesejahteraan karyawan dan mantan karyawan di perusahaan-perusahaan yang berada di bawah kewenangan Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM.
Aduan itu di antaranya terkait usaha membongkar praktik mafia pertambangan PT AMNT di Nusa Tenggara Barat. Kemudian pengaduan terkait kepastian hukum proses pendaftaran HGU serta izin IUP-OP CV Surya Harapan Baru yang tumpang tindih di Kalimantan Timur.
Selain itu ada aduan mengenai kriminalisasi terhadap penambang rakyat di Kabupaten Sukabumi. DPD RI juga menerima aduan terkait mediasi masalah ganti rugi lahan masyarakat Desa Pantai Raja yang dikerjasamakan dengan PT Perkebunan Nusantara V (PTPN V). Serta permohonan pembayaran Santunan Hari Tua (SHT) PTPN.
“BAP DPD RI telah menerima dan menindaklanjuti beberapa aduan masyarakat,” ungkap Ketua BAP DPD RI Tamsil Linrung di Gedung DPD RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/6/2024).
Pada RDP itu, Anggota DPD RI asal Jawa Barat Asep Hidayat menyayangkan label “kriminalisasi” untuk masyarakat yang melakukan penambangan liar.
“Seharusnya pemerintah mengarahkan dan memudahkan masyarakat yang ingin mengurus Izin Pertambangan Rakyat (IPR) karena penambangan yang dilakukan masyarakat kecil tidak berdampak besar bagi lingkungan, justru industri besarlah yang hasil penambangannya lebih berdampak buruk untuk lingkungan”, pungkas Asep.
Dalam penjelasannya, Deputi Bidang Hukum dan Perundang-Undangan Kementerian BUMN Robertus Billitea menyampaikan bahwa masyarakat Desa Pantai Raja menuntut PTPN untuk melalukan ganti rugi terhadap 150 hektar tanah yang dijadikan kebun inti PIR Trans Sei Pagar.
Namun setelah dilakukan investigasi dan mediasi diketahui bahwa tidak terdapat hak masyarakat di kebun inti, karena areal tersebut merupakan pelepasan kawasan hutan dan lahan masyarakat yang terkena Proyek Perkebunan Inti Rakyat (PIR), sehingga tidak ada ganti rugi melainkan akan diikutsertakan sebagai peserta PIR. Selanjutnya, terkait permasalahan SHT pensiunan, PTPN menyatakan sedang melalukan pembayaran bertahap.
“PTPN I (SuppCo) pada tahun 2024 telah melakukan pembayaran SHT sebesar Rp 83 Miliar, dan sampai dengan bulan Mei 2024 sisa hutang SHT sebesar Rp572 Miliar Khusus di PTPN I Reg 1 (ex PTPN II), sisa hutang SHT sebesar Rp 97,8 Miliar untuk 1.210 orang. Pembayaran hutang SHT dilakukan secara bertahap berdasarkan urutan terlama jatuh tempo pensiun karyawan,” ucap Robertus.
Sementara itu, Direktur Bina Program Minerba Julian Ambassadur menjelaskan terkait dugaan praktik mafia pertambangan PT Amman Nusa Tenggara (AMNT), setelah dilakukan mediasi oleh Komnas Ham ternyata tidak ditemukan adanya dugaan pelanggaran HAM. Baik pelanggaran hak lingkungan hidup, ketenagakerjaan dan tanggung jawab sosial perusahaan maupun penyerobotan lahan dan perusakan situs adat.
Mengenai permasalahan tumpang tindih Hak Guna Usaha (HGU) CV Harapan baru di Kalimantan Timur, Julian mengatakan bahwa sangat memungkinkan terjadinya tumpang tindih antara pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan pemegang HGU Perkebunan Sawit.
“Sesuai ketentuan Pasal 134 sampai dengan Pasal 138 UU No. 4 Tahun 2009 bahwa kepemilikanIUP/IUPK bukan merupakan hak kepemilikan atas tanah. Terkait kebuntuan komunikasi CV Surya Harapan Baru sebagai pemilik IUP dan PT Tri Tunggal sebagai penguasa sebagian lahan, Kementerian ESDM bersedia menjembatani agar kedua perusahaan tersebut bersedia bernegosiasi agar mencapai kesepakatan dalam bentuk Perjanjian Pemakaian Lahan Bersama (PPLB). Selanjutnya pada kasus l dugaan kriminalisasi penambang rakyat di Kabupaten Sukabumi, kami telusuri tidak ada IPR yang berlokasi di Jawa Barat sehingga perlu dipastikan kembali apakah penambang rakyat memang mempunyai IPR atau tidak,” papar Julian. (*/MB)