Oleh: Laksamana Sukardi

Apa pelajaran yang bisa diambil dari pemberian Abolisi kepada Menteri Perdagangan Tom Lembong dan Rehabilitasi kepada Direktur Utama ASDP Ira Puspadewi oleh Presiden Prabowo ?
Kasus Tom Lembong menyangkut kebijakan publik dan Ira Puspadewi menyangkut kebijakan korporasi dan kedua duanya dianggap kriminal dan merugikan negara oleh penegak hukum.
KEBIJAKAN PUBLIK TIDAK BOLEH DI PIDANA
Dalam hukum pidana, pertanggungjawaban hanya dapat dikenakan jika terdapat actus reus (perbuatan terlarang) dan mens rea (niat jahat atau kesengajaan). Pertimbangan dan keputusan kebijakan, meskipun kemudian dianggap salah, umumnya tidak memenuhi kedua unsur tersebut. Keputusan-keputusan ini diambil dalam rangka pelaksanaan kewenangan sah untuk mencapai tujuan institusional. Selama tidak terdapat niat koruptif, keuntungan pribadi, atau kesengajaan mencelakakan, keputusan kebijakan tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana.
Dari perspektif konstitusional, mengkriminalisasi keputusan kebijakan publik berpotensi mengganggu keseimbangan kekuasaan antar lembaga negara. Jika pengadilan atau aparat penegak hukum dapat menghukum kebijakan publik, mereka secara tidak langsung memperoleh kekuasaan veto terhadap diskresi eksekutif. Hal ini membuka peluang kriminalisasi sebagai alat politik dan melemahkan mekanisme akuntabilitas yang memang dirancang untuk menilai kebijakan, seperti: pengawasan legislatif dan mekanisme politik dan elektoral.
Tata kelola negara membedakan antara akuntabilitas politik, akuntabilitas administratif, pertanggungjawaban perdata, dan pertanggungjawaban pidana. Hukum pidana sengaja dibuat sempit karena hanya ditujukan untuk pelanggaran berat yang jelas. Keputusan kebijakan publik jauh lebih tepat dinilai melalui mekanisme non-pidana, seperti:
• pemilihan umum dan sanksi elektoral,
• pengawasan parlemen,
• sanksi administratif,
• audit kinerja dan transparansi publik.
Mekanisme tersebut tidak mengaburkan batas antara kesalahan kebijakan dan tindak kriminal.
Sementara itu, perbandingan hukum dan demokrasi (Rose-Ackerman 1999; Przeworski 2010) menunjukkan bahwa negara yang sering mengkriminalisasi keputusan kebijakan mengalami:
• ketidakstabilan politik,
• paralisis birokrasi,
• penggunaan proses pidana sebagai alat balas dendam politik,
• menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi.
Dalam situasi seperti ini, pejabat publik terdorong melakukan “defensive governance”—mengutamakan keselamatan hukum diri sendiri alih-alih kepentingan publik.
Kriminalisasi Business Judgement
Prinsip bahwa “pertimbangan kebijakan publik tidak dapat dipidana” juga berlaku dalam ranah korporasi. Dalam hukum perusahaan, hal ini dikenal sebagai “business judgment rule”, yaitu doktrin yang melindungi direksi, komisaris, dan manajemen dari pertanggungjawaban pidana atau perdata hanya karena suatu keputusan bisnis berujung pada kerugian.
Hukum korporasi membedakan secara tegas antara kesalahan penilaian bisnis dan perbuatan melawan hukum
Kerugian usaha tidak otomatis menunjukkan adanya tindak pidana (apalagi jika kerugian interpretatif).
Pertanggungjawaban pidana hanya muncul jika terdapat: penipuan, korupsi, benturan kepentingan yang tidak diungkap, penggelapan, manipulasi laporan, atau kelalaian berat yang mendekati kesengajaan.
Tanpa unsur itu, keputusan bisnis tidak dapat dipidana
Dunia usaha inheren dengan risiko: fluktuasi pasar, kompetisi, gangguan rantai pasok, perubahan teknologi, hingga kondisi makroekonomi. Keputusan yang dibuat dengan itikad baik dapat tetap menghasilkan kerugian.
Karena itu, hukum perusahaan menghindari hindsight bias—menilai keputusan di masa lalu dengan kondisi masa kini yang sudah berubah.
Hukum korporasi membedakan:
• keputusan yang salah secara bisnis sebagai bagian normal dari risiko usaha,
• perbuatan salah (fraud, korupsi, manipulasi) sebagai ranah pidana.
Tanpa pemisahan ini, korporasi tidak dapat berfungsi sebagai entitas yang mengambil risiko untuk tumbuh dan berinovasi.
MENGHITUNG KERUGIAN
Dalam dunia usaha, siapa yang seharusnya menentukan apakah sebuah transaksi komersial menimbulkan kerugian? Jawabannya jelas: profesional keuangan. Namun, di beberapa kasus, jaksa kini kerap mengklaim kewenangan untuk menghitung “kerugian” akibat transaksi bisnis yang sepenuhnya sah—dan menjadikannya dasar kriminalisasi.
Tren ini bukan sekadar keliru. Ia berbahaya bagi dunia usaha dan merusak fondasi negara hukum.
Kerugian komersial bukanlah perkara tafsir hukum pidana. Angka-angka itu lahir dari dinamika pasar, metode valuasi, standar akuntansi, risiko usaha, dan strategi korporasi. Semua itu adalah ranah akuntan, auditor, dan penilai independen—bukan aparat penegak hukum.
Tatkala jaksa merasa berwenang menentukan kerugian bisnis, masalahnya tidak hanya teknis. Masalahnya struktural.
Pertama, jaksa terlatih untuk mencari kesalahan, bukan menghitung neraca. Naluri institusional mereka adalah menuduh. Begitu hasil bisnis merugi, risiko komersial segera berubah menjadi “kerugian negara” atau “kerugian perusahaan,” dan keputusan bisnis yang wajar tiba-tiba menjadi “indikasi pidana.” Ini membalik presumpsi tak bersalah dan mengkriminalisasi inti dari dunia usaha: yaitu pengambilan risiko.
Kedua, kerugian tidak identik dengan kejahatan. Dalam hukum perusahaan di seluruh dunia, “business judgment rule” melindungi direksi dan manajemen dari tuntutan hanya karena keputusan bisnis—yang dibuat dengan itikad baik—berakhir merugi. Pasar berubah, teknologi bergeser, selera konsumen berganti. Itu bukan kriminalitas melainkan realitas bisnis.
Ketiga, membiarkan jaksa menyusun perhitungan kerugian sendiri membuka pintu bagi kriminalisasi yang sewenang-wenang, politis, dan inkonsisten. Tanpa disiplin standar finansial—IFRS, PSAK, prinsip fair value—“kerugian” bisa menjadi apa pun yang diinginkan penegak hukum. Itu bukan negara hukum, tetapi kriminalisasi berbasis persepsi, karena kerugian merupakan persepsi bukan kenyataan.
Solusinya sederhana: perhitungan kerugian harus dilakukan oleh profesional independen, bukan oleh jaksa. Dalam sektor privat, ini berarti akuntan publik, auditor, dan penilai bersertifikasi. Dalam sektor teregulasi, regulator (BPK RI / BPKP) dapat berperan. Tetapi jaksa tetap harus berada pada posisi yang sesuai: pengguna keterangan ahli, bukan kalkulator keuangan.
Jika memang ada fraud, korupsi, atau penggelapan, harus dibuktikan. Itu kewenangan jaksa. Namun jaksa tidak boleh—dan tidak berhak—menciptakan tindak pidana dengan memaksakan interpretasi keuangan mereka sendiri atas risiko bisnis yang normal.
Negara yang membiarkan jaksa menghitung kerugian bisnis adalah negara yang menakut-nakuti para pelaku usaha, investor, manajemen, dan pada akhirnya ekonominya sendiri. Pesannya menjadi jelas: yang membuat bisnis berbahaya bukan lagi pasar, melainkan penegak hukum.
Tidak ada iklim usaha yang dinamis dapat hidup di bawah bayang-bayang ketakutan seperti itu.
Sudah saatnya kita mengembalikan batas yang tegas antara keputusan bisnis yang buruk dan perilaku yang buruk.
Yang pertama milik pasar.
Yang kedua, barulah milik ruang sidang.
Presiden Prabowo, penegak hukum dan Mahkamah Agung sudah saatnya melakukan koordinasi dan sinkronisasi mengenai kebijakan tersebut untuk menjamin iklim usaha yang kondusif agar mencapai pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan. Selain itu pemberantasan korupsi harus terus dilakukan dengan mengadili perilaku yang buruk bukan kebijakan publik dan judgement bisnis.@
Kebayoran Baru, Jakarta
27 November 2025









