Sejak lama, nasib petani padi di Indonesia terus menghadapi persoalan klasik: harga gabah anjlok saat panen raya. Ironisnya, harga beras tetap tinggi dan konsumen pun tetap harus membayar mahal.

Kondisi ini mencerminkan adanya persoalan struktural yang serius. Maka, solusi tak bisa lagi sekadar kebijakan tambal sulam seperti subsidi pupuk dan benih di tingkat petani, atau operasi pasar di tingkat konsumen.
Kebijakan paket input seperti subsidi pupuk, benih, dan bantuan sarana produksi pertanian terbukti tidak mampu memperbaiki kesejahteraan petani. Operasi pasar untuk menstabilkan harga beras pun bersifat reaktif dan terbatas dampaknya.
Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah dan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras di tingkat konsumen pun kerap tidak efektif. Di lapangan, harga sering meleset dari ketetapan karena minimnya kemampuan Bulog menyerap gabah petani. Setelah revisi UU BUMN pada 2023, Bulog sebagai BUMN kini berorientasi pada laba, sehingga perannya sebagai penyangga harga kian melemah.
Selain itu, banyak petani sudah terjerat utang ke tengkulak atau rentenir pada musim paceklik. Ketika panen tiba, mereka praktis hanya membayar utang, tanpa memperoleh keuntungan.
Masalah semakin rumit saat musim tanam. Petani dihadapkan pada harga pupuk yang tinggi dan distribusi yang kacau. Subsidi sering tidak sampai ke tangan petani, bahkan kehadiran aparat penegak hukum dalam pengawasan distribusi justru menimbulkan masalah baru. Barang bersubsidi, yang merupakan barang publik namun disalurkan melalui mekanisme pasar bebas tentu berpotensi menimbulkan moral hazard.
Sementara itu, HET yang dimaksudkan untuk menjaga daya beli masyarakat dan menekan spekulasi serta kartel pangan terbukti tak efektif. Badan Pangan Nasional (Bapanas) sebagai pengarah kebijakan justru berpotensi menambah beban negara tanpa hasil nyata. Kasus beras oplosan yang belakangan mencuat menunjukkan bahwa kendali atas harga dan kualitas pangan masih di tangan mafia pangan.
Rekayasa Kelembangaan
Agar pendapatan petani tidak terus ditentukan oleh tengkulak ataupun pemilik pabrik penggilingan, perlu rekayasa kelembagaan berbasis koperasi yang kuat. Petani kecil harus menjadi pemilik usaha, mulai dari produksi pupuk dan sarana produksi hingga pengolahan dan pemasaran hasil panen.
Mereka harus berhimpun dalam koperasi yang demokratis, dengan prinsip satu orang satu suara. Koperasi ini berfungsi menciptakan nilai tambah dan mengembalikannya kepada anggota berdasarkan kontribusi masing-masing.
Kita bisa belajar dari India. Negara dengan populasi lima kali lipat dari Indonesia, dan konsumen beras terbesar, justru mampu mengekspor beras dan memastikan ketersediaan serta keterjangkauan pupuk. Kuncinya: koperasi.
IFFCO (Indian Farmers Fertilizer Cooperative), koperasi pupuk yang dimiliki petani India, didirikan tahun 1967 oleh 57 petani. Kini, koperasi ini dimiliki oleh 35.000 koperasi anggota dan melayani sekitar 50 juta petani. IFFCO menjadi perusahaan pupuk terbesar di India dan menduduki peringkat ke-66 versi Fortune India tahun 2021. IFFCO bukan hanya memproduksi pupuk murah dan berkualitas, tapi juga mengembangkan usaha lain seperti asuransi, logistik, hingga pengolahan hasil panen, semuanya berbasis koperasi.
Di Indonesia, pendekatan ini dapat dimulai dengan mengkonversi BUMN pupuk menjadi koperasi. Pemerintah tinggal menyerahkan sebagian besar sahamnya melalui mekanisme inbreng kepada koperasi yang dimiliki petani. Ini sejalan dengan amanat konstitusi: kekayaan negara dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Berbeda dari korporasi kapitalis, dalam koperasi setiap pemilik saham memiliki hak suara yang sama. Sistem ini menjaga agar koperasi tetap berada di tangan petani, bukan investor besar. Demokrasi ekonomi menjadi prinsip utama.
Contoh lainnya adalah koperasi Zen-Noh di Jepang, yang memiliki omset mencapai Rp600 triliun per tahun (ICA, 2023). Zen-Noh menunjukkan bagaimana koperasi pertanian yang kuat mampu membangun rantai nilai dari hulu ke hilir.
Setelah kelembagaannya mapan, koperasi petani bisa mengintegrasikan usaha lainnya. Bulog, RNI, Pertani, dan BUMN pangan lain dapat dikonversi menjadi bagian dari koperasi petani. Keuntungan koperasi dialokasikan ke dana cadangan, digunakan untuk investasi produktif seperti pengolahan dan pemasaran produk bersama, lalu berkembang ke sektor lain: asuransi pertanian, bank koperasi, hingga logistik.
Dengan koperasi, petani mendapat jaminan harga melalui asuransi pertanian. Akses pembiayaan dan pasar juga lebih mudah karena dikelola sendiri. Koperasi tumbuh sebagai ekosistem agrobisnis terpadu, sepenuhnya dimiliki dan dikendalikan oleh anggotanya.
Koperasi menjalankan fungsi subsidiaritas: membiayai, mengasuransikan, memproses, dan memasarkan produk petani. Seluruh keuntungan dibagikan kepada anggota berdasarkan partisipasi modal dan transaksi.
Dengan kekuatan koperasi, krisis pangan dan krisis regenerasi petani dapat diatasi. Lebih dari itu, sistem pertanian keluarga yang berhimpun dalam koperasi integratif akan menjadi penopang utama kedaulatan pangan nasional—bukan pertanian berbasis korporasi.
Koperasi Desa Merah Putih, meski masih jauh dari sempurna, bisa menjadi wahana untuk mewujudkan visi ini. Namun syaratnya, koperasi ini harus segera dide-ofisialisasi dan dikelola secara otonom oleh anggotanya.
Pemerintah dapat memperkuatnya dengan penyertaan modal, program pendidikan dan pelatihan yang sesuai kebutuhan petani, serta riset serius untuk pengembangan produk dan pasar. Setelah itu, pemerintah perlu mundur selangkah agar petani menjadi subyek, bukan lagi sekadar obyek proyek.
Oleh: Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR Federation), Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang.