Tempe dan tahu menjadi lauk yang tak pernah absen dari menu makanan sebagian besar keluarga di Jawa. Rasanya yang gurih, bergizi dan bisa diolah menjadi berbagai varian masakan, membuat tempe menjadi makanan favorit.
Di Jawa tempe diolah dengan bermacam cara. Hanya digoreng kering, dibuat mendoan (dibungkus adonan tepung lalu di goreng setengah matang), dibacem, diorek atau dimasak kuah dicampur sayuran.
Karena harganya yang murah, banyak yang memandang rendah tempe. Tempe dianggap sebagai makanan rakyat jelata. Bahkan Bung Karno dalam dalam Pidato kemerdekaan tanggal 17 agustus 1963 dengan lantang mengatakan bahwa kita bukan bangsa tempe (bangsa yang lembek). Ada kesan merendahkan tempe dalam pidatonya itu. Padahal Bung Karno sendiri penggemar berat tempat. Konon ada dua jenis makanan yang tidak pernah absen dari meja makannya: tempe dan gule daun singkong.
Sejauh ini tidak ada makanan murah yang lezat seperti tempe. Bayangkan, dengan sepotong tempe mentah seharga Rp.5.000,- sebuah keluarga kecil sudah bisa makan dengan lauk yang cukup untuk menjadi teman nasi. Antara tahun 1945 – 1960an, tempe berhasil menyelamatkan rakyat Indonesia dari bahaya kekurangan gizi.
Karena begitu diminatinya tempe, maka kebutuhan kedelai di Indonesia juga sangat tinggi. Jumlahnya mencapai jutaaan ton per tahun. Dan kebutuhan itu hanya bisa dipenuhi oleh impor.
Kementerian Pertanian (Kementan) memperkirakan impor kedelai untuk tahun ini mencapai 2,6 juta ton. Impor ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi atau untuk tahu dan tempe.
Sementara itu, Kementerian Pertanian memperkirakan produksi kedelai Indonesia terus menurun sejak 2021 hingga 2024. Pada tahun ini, proyeksi kedelai yang dihasilkan dari dalam negeri mencapai 613,3 ribu ton, turun 3,01% dari tahun lalu yang mencapai 632,3 ribu ton.
Produksi kedelai Indonesia diperkirakan kembali turun 3,05% menjadi 594,6 ribu ton pada 2022. Setahun setelahnya, produksi kedelai bakal berkurang 3,09% menjadi 576,3 ribu ton. Sementara, kedelai yang berasal dari Indonesia turun 3,12% menjadi 558,3 ribu ton pada 2024.
Ironi Bangsa Tempe
Bila melihat kebutuhan akan kedelai sebagai bahan baku makanan dan membandingankannya data produksi kedelai di Indonesia, apa yang dialami oleh bangsa ini sangat ironis. Kita sangat menggemari makanan yang berbahan dasar kedelai, tetapi lebih dari 80 % bahan bakunya harus impor.
Ada apa dengan negeri yang oleh grup musik legendari Koes Ploes digambarkan “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman…” ini. Mengapa produksi kedelai, bahan baku makanan yang begitu dibutuhkan justru sangat sedikit?
Kementerian Pertanian memprediksi penurunan tersebut disebabkan persaingan ketat penggunaan lahan dengan komoditas lain yang juga strategis, seperti jagung dan cabai. Hal tersebut pun berimbas pada penurunan luas panen sekitar 5% per tahun, lebih tinggi dibandingkan proyeksi produktivitas kedelai yang naik 2% per tahun.
Selain itu, Luas lahan tanam kedelai terus berkurang akibat alih fungsi lahan. Menurut data terbaru tahun 2018, hanya ada sekitar 680.000 hektare yang menanam kedelai, sedangkan yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan dalam negeri dibutuhkan setidaknya 2,5 juta hektare.13 Jan 2021
Peneliti dari Institut Pertanian Bogor, Prima Gandhi mengatakanproduktivitas petani kedelai lokal rendah karena berbagai macam faktor yang membuatnya cukup rumit untuk dibenahi.
Luas lahan tanam kedelai terus berkurang akibat alih fungsi lahan. Menurut data terbaru tahun 2018, hanya ada sekitar 680.000 hektare yang menanam kedelai, sedangkan yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan dalam negeri dibutuhkan setidaknya 2,5 juta hektare.
Selain itu petani pun menghadapi harga kedelai lokal yang mereka anggap rendah saat panen, ini karena biaya untuk menanam kedelai yang tinggi pun membuat keuntungan petani semakin tipis.
Pemerintah telah mematok harga jual kedelai Rp 8.500 per kilogram di tingkat petani, namun dengan biaya produksi Rp 6.500 per kilogram membuat keuntungan untuk petani cukup tipis.
“Hal ini membuat para petani malas dan tidak mau menanam kedelai lokal. Para petani lebih memilih menanam palawija,” ujar Prima.
Sementara itu menurut Kepala Riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, produktivitas kedelai lokal yang rendah juga dipengaruhi oleh iklim di Indonesia.
Kedelai adalah tanaman yang sebenarnya merupakan tanaman sub-tropis. Tanaman ini mendapatkan suhu harian dan musiman yang lebih beragam dari daerah tropis, sehingga pertumbuhan di daerah tropis yang hanya memiliki dua musim seperti Indonesia menjadi tidak maksimal. Iklim adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas.
Selain itu, kedelai adalah jenis tanaman yang membutuhkan kelembapan tanah yang cukup dan suhu yang relatif tinggi untuk pertumbuhan yang optimal. Sementara itu di Indonesia, curah hujan yang tinggi pada musim hujan sering berakibat tanah menjadi jenuh atau penuh air
Selain itu drainase atau pembuangan air yang buruk juga menyebabkan tanah juga menjadi kurang ideal untuk pertumbuhan kedelai. Permasalahan lahan yang terbatas juga perlu diperhatikan.
Menurut Felippa, lahan yang cocok untuk ditanami kacang kedelai harus memiliki kadar keasaman yang netral dengan kedalaman minimal 20 sentimeter. Jenis lahan seperti ini tidak tersedia di semua wilayah Indonesia.
Permasalah lain, kedelai nasional kualitasnya kalah dengan kedelai impor yang harganya lebih murah. Akibatnya panen petani lokal tidak mudah diserap pasar.
“Swasembada kedelai bisa tercapai asalkan ada political will dari pemerintah untuk menambah luas lahan tanaman kedelai, menemukan varietas baru, serta meregulasi tata niaga meliputi regulasi harga dan pengendalian impor, karena selama ini bebas impor dan bahkan bebas bea masuk,” ujar Prima.
Untuk meningkatkan produksi kedelai nasional, sudah waktunya pemerintah mengerahkan segala daya upaya untuk menghasilkan kedelai berkualitas, menyediakan lahan terpilih yang cukup untuk penanaman kedelai.
Jika peneliti di Indonesia tidak mampu menemukan varietas kedelai unggul yang bisa meningkatkan produksi kedelai berkualitas, Indonesia bisa menyewa tenaga pertanian asing yang mampu melakukan penelitian untuk menghasilkan kedelai varietas unggul yang bisa ditanam di Indonesia.
Ahli-ahli pertanian Israel mampu mengubah padang gurun jadi lahan pertanian yang subur; oetani Thailand telah lama menghasilkan tanaman hortikultura berkualitas; ahli-ahli Cina mulai mengembangkan tanaman gandum anti penyakit; dan Sejak awal Maret 2020 lalu sekelompok peneliti asal Norwegia menanam semangka dan berbagai sayuran serta tanaman lain di gurun pasir Uni Emirat Arab. Gurun pasir di Dubai pun disulap menjadi kebun pertanian nan hijau dan menghasilkan buah serta sayuran segar.
Jadi swasembada kedelai bukan hal mustahil dilakukan di Indonesia. Yang penting adalah political will pemerintah. Pemerintah jangan membiarkan lagi rakyat menanam kedelai sendirian. Harus ada campur tangan pemerintah dalam penyediaan lahan dan teknologi.
Jika takdir sudah menggariskan Indonesia tidak bisa berswasembada kedelai, harus dicari alternatif pengganti kedelai untuk membuat makanan seperti tahu dan tempe.
Pekan lalu penulis diundang ke Watulumbung Culture Resort di Bantul, Yogyakarta. Oleh tuan rumah penulis disediakan tempe berbahan dasar buah koro (kara), jenis biji-bijian yang masih satu keluarga dengan kedelai. Rasanya enak, walau tidak segurih tempe kedelai.
Tahun 2014 penulis juga pernah bertemu dengan seorang lelaki anggota Jemaah An Nazhir di Gowa, Sulsel, yang menunjukkan sekarung biji-bijian dengan ukuran lebih besar dari kedelai. Menurutnya tanaman itu dihasilkan sendiri di lahan petanian milik komunitas, dan bisa dibuat tempe dan lain-lain.
Mengapa jenis biji-bijian itu tidak dicoba untuk dikembangkan?
Herman Wijaya