Home / Esai

Rabu, 10 Agustus 2022 - 23:51 WIB

Yoshua dan Kisah Runtuhnya Benteng yang Kokoh

Setelah hampir 40 tahun memimpin Bangsa Israel meninggalkan Mesir menuju Tanah Perjanjian, Musa yang telah tua memilih Yoshua sebagai penggantinya. Musa sendiri tidak pernah masuk ke Tanah Perjanjian. Musa dihukum Tuhan karena menolak perintah untuk mengeluarkan air dari mata air Meriba,  bagi kaum Yahudi yang kehausan di Gurun Zin.

Yoshua adalah pembantu  Musa. Dia menjadi salah satu dari 12 pengintai yang dikirim  Musa  untuk melihat tanah Kanaan (Bilangan 13).

Nama sebenarnya adalah Hosea bin Nun dari suku Efraim, tetapi Musa memanggilnya Yehoshu’a (Yosua) (Ktab Bilangan 13:16). Nama Yoshua kemudian lebih umum dipakai.

Peristiwa terbesar yang dialami Bangsa Israel ketika dipimpin Yoshua adalah merebut Benteng Yerikho yang sangat kokoh. Benteng itu roboh dengan sendirinya setelah Bangsa Israel mengelilinginya selama tujuh hari, dipimpin tujuh orang imam yang meniup terompet. Semua dilakukan atas perintah Tuhan (Yehuwa / Yahweh).

’Engkau dan tentaramu berbaris mengelilingi kota itu. Berbarislah satu putaran sekali sehari selama enam hari. Bawalah tabut perjanjian juga. Tujuh orang imam harus berjalan di depannya dan meniup terompetnya masing-masing,” perintah Tuhan kepada Yoshua.

’Pada hari ketujuh kamu harus berbaris mengelilingi kota itu tujuh kali. Kemudian perdengarkanlah tiupan trompet yang panjang dan suruhlah semua orang berteriak dengan pekik peperangan yang dahsyat. Maka tembok-tembok itu akan runtuh menjadi rata!”.

Yoshua menjalankan perintah Tuhan. Maka tembok benteng Kota Yerikho runtuh.

Hari-hari belakangan ini nama Yoshua kembali disebut-sebut orang. Tentu saja bukan Yoshua yang membawa Bangsa Israel memasuki Tanah Perjanjian (Kanaan) ribuan tahun lalu, melainkan Yoshua seorang Brigadir Polisi yang tewas di rumah atasannya sendiri, Irjen Pol. Ferdy Sambo (FS).

Baca Juga  Presidential Threshold Sang Tertuduh!

Kematian Brigadir Yoshua juga telah mampu meruntuhkan tembok benteng lain yang kokoh. Yakni benteng ego kekuasaan sebuah institusi yang selama terkesan sulit dijamah hukum.

Selama ini seolah-olah polisi adalah hukum itu sendiri. Tak ada institusi lain di luar kepolisian yang bisa melakukan tindakan,  apabila ada anggota Polri menyimpang dari tugasnya, atau melakukan pelanggaran hukum.

Meskipun pada dasarnya, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia itu tunduk pada kekuasaan peradilan umum seperti halnya warga sipil pada umumnya. Seperti tertulis dalam Pasal 29 ayat (1)Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia(“UU Kepolisian”).

Hal ini menunjukkan bahwa anggota Kepolisian RI (“Polri”) merupakan warga sipil dan bukan termasuk subjek hukum militer.

Namun, karena profesinya, anggota Polri juga tunduk pada Peraturan Disiplin dan Kode Etik Profesi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 2/2003”). Sedangkan, kode etik kepolisian diatur dalam Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia(“Perkapolri 14/2011”).

Tetapi sudah menjadi rahasia umum, jarang sekali polisi yang melanggar hukum disidangkan di peradilan umum. Kebanyakan hanya “diadili” melalui sidang etik. Itu pun jika pelanggarannya cukup berat dan menarik perhatian secara luas. Hukuman dari sidang etik, dalam pandangan masyarakat terkesan sangat ringan. Tidak sebanding dengan perbuatan oknum polisi yang melakukan pelanggaran. Yang sudah dipidana di peradilan umum pun, Polri ogah-ogahan memecatnya.

Baca Juga  Tetap Membaca dan Menulis, Meski Kepala Berat

Masyarakat juga seringkali merasa kecewa bila berurusan dengan polisi. Akibatnya, sebagian besar masyarakat enggan berurusan dengan polisi . Slogan polisi “Melayani dan Mengayomi”, seakan tanpa makna, karena yang dialami masyarakat seringkali jauh dari bunyi slogan itu. Tagar #PercumaLaporPolisi”, adalah salah satu manivestasi kekecewaan masyarakat.

Meskipun menerima laporan masyarakat adalah tugas yang tidak boleh ditolak polisi, belum tentu semua polisi mau menerima laporan. Atau pun kalau laporan diterima, kita tidak tahu bagaimana kelanjutannya. Melanjutkan atau menghentikan penyelidikan perkara menjadi hak subyektif polisi. Begitu pula dengan kewenangan untuk menahan atau melepaskan seseorang yang tersangkut hukum. Pelanggar pidana dengan ancaman 5 tahun ke atas bisa ditahan. Kurang dari itu tidak perlu ditahan. Tetapi faktanya bisa terbalik. “Diskresi” menjadi kata sakti di kepolisian.

Nah, ketika terjadi kasus kematian Brigadir Yoshua di rumah Irjen FS, polisi yang bertugas menangani, kembali menunjukan arogansi kekuasaannya. Berbagai dalih dibuat, untuk mengaburkan fakta, demi membebaskan pihak yang menjadi penyebab peristiwa. Keterangan-keterangan yang melawan akal sehat dikeluarkan, meski pun itu tidak sesuai fakta. Keluarga korban ditekan agar tidak mencari tahu penyebab kematian.

Tetapi kali ini polisi salah perhitungan. Masyarakat kompak mempersoalkan kematian yang mencurigakan itu. Media sosial menjadi saluran masyarakat untuk mengeluarkan pendapat  Berbagai komentar dari mulai yang sopan hingga bikin sakit kuping, terus muncul setiap saat. Hal mana membuat Presiden — yang menjadi atasan kepolisian merasa terusik.

Presiden lalu memerintahkan kepada Kapolri untuk mengusut tuntas kasus kematian Brigadir Yoshua, dengan jujur, transparan dan tidak ditutup-tutupi. Hasilnya seperti kita ketahui, bukan saja Bharada RE yang dijadikan tersangka, tetapi Irjen FS pun menjadi tersangka.

Baca Juga  Presiden Bertanggungjawab

Sempat ada  anggapan kepolisian sengaja melakukan buying time, mengulur-ulur waktu, agar masyarakat lelah, lalu tidak cerewet lagi.

Sebagian besar masyarakat juga sempat menjadi apriori, menyebut Bharada RE hanya pion yang dikorbankan untuk menyelamatkan pelaku sebenarnya, polisi berpangkat tinggi.

Ternyata kemudian giliran masyarakat yang kecele. Kapolri Listyo Sigit Prabowo, pimpinan tertinggi kepolisian, mengumumkan sendiri nama tersangka utama: Irjen FS. Selain itu disebutkan, ada 31 anggota polisi lainnya, mulai dari prajurit hingga perwira tinggi,  dikandangkan karena dinilai melanggar Kode Etik.

Langkah Polri kali ini luar biasa. Boleh saja orang mengatakan, itu bisa terjadi karena Presidennya Jokowi. Presiden adalah atasan langsung Polri. Tetapi bisa saja jajaran kepolisian mbalelo kepada presiden, seperti di masa Gus Dur menjadi penghuni istana negara.

Kasus kematian Brigadir Joshua pada gilirannya mampu  mampu membuat polisi mereformasi diri. Meskipun itu terjadi karena tekanan yang luar biasa dari berbagai elemen masyarakat dan presiden.

Joshua bukanlah nama sembarangan. Nama itu memiliki arti Yang Diselamatkan Tuhan (Ibrani). Jika Yoshua bin Nun berhasil meruntuhkan tembok benteng Kota Yerikho,  kematian Brigadir Nopriansyah Yoshua Hutabarat, telah meruntuhkan tembok benteng “Yerikho abad modern”, yakni benteng ego kepolisian yang selama ini dikenal sangat kokoh!

Kematian Brigadir Yoshua pada akhirnya
menyelamatkan Polri dari citranya yang nyaris terpuruk. (Matt Bento)

Share :

Baca Juga

Esai

Kereta untuk Rakyat di Cina

Berita

Pak Mahfud, Bersiaplah!
Laksamana

Berita

DI BALIK REFORMASI 1998: Komponen Sistemik PANCASALAH

Esai

AHY Move-On

Berita

Pulung Wahyu Makutharama
Laksamana

Berita

DI BALIK REFORMASI 1998: Detak Detik Sumbu Bom Waktu (IV):

Esai

Wani Piro Ingin Membawa Emil Mulyadi ke Indonesia?
Laksamana

Berita

DI BALIK REFORMASI 1998: Metastase Budidaya KKN