Kawah Ijen adalah salah satu obyek wisata unggulan di Banyuwangi Jawa Timur. Sesuai namanya, Kawah Ijen berada di Gunung Ijen, sebuah gunung berapi milik Pemerintah Banyuwangi yang terletak di perbatasan Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur..

Salah satu fenomena alam yang paling terkenal dari Gunung Ijen adalah blue fire (api biru) di dalam kawah yang terletak di puncak gunung tersebut. Blue fire merupakan api yang muncul dari lelehan larva panas. Warnanya terlihat biru, seperti api pada kompor gas yang terawat. Blue fire hanya bisa dilihat keindahannya saat langit sudah gelap. Ada beberapa titik blue fire yang terlihat, tetapi yang terbesar berada di pusat keluarnya belerang cair. Tidak jauh dari tempat tersebut terdapat sebuah danau berwarna tosca. Itulah Kawah Ijen sebenarnya.
Belerang akan segera membeku begitu terkena udara, dan setelah udara terang para penampang mengambil.bongkahan-bongkahan belarang beku, lalu di bawa ke atas, untuk dijual kepada pengepul. Setiap penambang bisa membawa 70 – 80 kg bongkahan belerang, dengan cara dipikul menaiki bibir kawah, menggunakan keranjang bambu.
Awal tahun 2016 saya bersama sahabat Tunggul Rajdipta mengunjungi Kawah Ijen, sambil merekam fenomena alam yang unik tersebut.
Untuk memasuki Kawah Ijen, dari Bayuwangi harus melalui pintu masuk di Paltuding. Tempat itu merupakan titik terakhir bagi pengunjung yang naik mobil. Ada tempat parkir yang cukup luas, beberapa warung kopi dan makanan ringan, serta beberapa buah loket untuk membeli tiket masuk ke Kawah Ijen.
Agar bisa melihat blue fire, kita harus berada di Kawah Ijen saat udara masih gelap. Pukul 24.00 sebuah jip Land Rover tua yang nampak gagah sudah datang menjemput kami, yang menginap di sebuah penginapan dekat Pelabuhan Ketapang. Walau pun mata masih berat kami harus berangkay malam itu juga.
Jip Land Rover membelah beberapa ruas jalan di Kota Banyuwangi, sampai kemudian menelusuri jalan berkelok-kelok. Terlihat beberapa penginapan di kiri/kanan kami lewati. Saya mengira itu sudah memasuki kawasan pegunungan.
Tidak lama kemudian jip yang kami tumpangi sampai di Paltuding. Udara sangat dingin. Untuk mengurangi rasa dingin, saya memakai jaket tebal, topi rajutan dan sarung tangan. Kami memesan kopi di situ untuk menghangatkan badan. Karena udara sangat dingin, kopi pun cepat dingin.
Pukul 03.00 WIB pintu masuk dibuka. Wisatawan yang ingin melihat blue fire langsung masuk. Kami menelusuri jalan selebar 2 meter yang terus menanjak. Jalannya agak licin karena berpasir.
Kurang dari satu jam kami sudah sampai di bibir Kawah Ijen. Di tempat itu harus memakai masker anti gas beracun yang bisa disewa seharga Rp.25 ribu. Kami lalu memakai masker sewaan. Di kiri kanan jalan terdapat papan-papan peringatan, agar pengunjung berhati-hati terhadap gas beracun.
Dituntun oleh pemandu, kami menuruni bibir kawah. Kami berjalan di antara bebatuan besar. Setengah jam kemudian kami sudah sampai di lokasi blue fire. Warnanya indah. Seperti api kompor yang biru. Tetapi kami tidak bisa terlalu dekat, karena asap belerang yang keluar membuat mata perih. Saya yang berada 50 meter dari titik pusat blue fire pun merasakan perih di mata, karena asap menyapu ke sana ke mari tertiup angin.
Saya terus memotret suasana di situ, sementara rekan kameraman Tunggul membuat video.
Setelah satu jam di tempat tersebut, langit mulai hampir terang. Para pengunjung naik ke atas kawah bersama pemandu. Sahabat saya, Tunggul, juga sudah naik. Saya cuma sendiri di tempat itu. Bersamaan dengan kepergian mereka, para penambang belerang mulai turun. Melihat moment menarik, saya tetap berada di tempat, bahkan mendekati pusat lelehan belerang, untuk memotret penambang yang mengambil bongkahan-bongkahan belerang. Mereka tidak menggunakan masker, hanya sehelai kain basah yang digigit di mulutnya. Luar biasa. Padahal asap belerang sangat menyakitkan bila terkena mata. Mereka hanya memalingkan wajah, atau mundur sedikit, bila asap belerang yang seperti asap cerobong pabrik menerpa mereka.
Setelah puas memotret, sekitar pukul 07.00 WIB, saya menaiki bibir kawah menuju ke atas. Saya berjalan di antara bebatuan. Rupanya jalur yang saya tempuh, bukan jalur yang biasa dilewati penambang. Entah bagaimana, kok saya terdampar di sebuah batu sebesar mobil truk. Saya menggantung di batu sambil membawa tas kamera dan tripod yang cukup berat, sementara di bawah, terdapat jurang penuh bebatuan yang sangat dalam sedang menganga. Kalau jatuh, selesai perjalanan saya di dunia.
Saya berusaha beranjak dari situ, tapi tidak bisa. Tidak ada batu lain yang bisa dipijak.
Selama 15 menit saya bergantung di batu besar tanpa tahu apa yang harus diperbuat. Tidak lama kemudian lewat seorang penambang memikul belerang berjalan dua meter di atas kepala saya. Saya memanggilnya untuk minta tolong. Ternyata dia pun tidak bisa meraih saya.
“Waduh, sampeyan ngapain sampe ke situ. Bahaya Mas!” katanya.
“Saya juga enggak ngerti Mas, kok bisa begini!” jawab saya.
“Coba sampeyan pegang batu kecil itu buat pegangan. Tapi tangannya harus kuat!”
Saya mengikuti sarannya. Saya memegang batu kecil yang menjorok. Seperti pendagi tebing saya lalu berpindah ke sebuah pijakan yang cukup jauh. Ternyata berhasil. Akhirnya saya terbebas dari batu besar yang menjebak itu, lalu naik mengikuti sang penambang.
Dalam perjalanan jantung saya masih berdegup keras. Saya membayangkan, apa jadinya bila tidak bertemu penambang tersebut. Lagi, ini menjadi pelajaran. Jangan takabur bila berada di gunung. (hw)