Jakarta, Defacto – Ruang Teater Arena Wahyu Sihombing Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Rabu (1/5/2024) malam dipenuhi oleh penikmat pertunjukan musik kontemporer yang menampilkan grup musik Horja Bius berkolaborasi dengan pemusik dan komposer Israel Varela. Israel adalah pemusik kelahiran Tijuana, Mexico, yang kini bermukim di Italia.
Antusiasme pencinta musik terhadap pertunjukkan musik kontemporer ini luar biasa. Semua kursi yang tersedia, baik di depan hingga di kiri kanan “stage” dipenuhi oleh penonton. Tidak sedikit pula yang duduk lesehan hingga mendekati pintu masuk. Sebagian besar penonton adalah anak-anak muda. Padahal sebagaimana umumnya pertunjukkan musik kontemporer, karya yang disajikan bukanlah jenis musik hiburan yang enak di kuping.
Ada 4 komposisi musik yang ditampilkan oleh Horja Bius. Masing-masing berjudul “Portibi 1”, “Portibi 2”, “Portibi 3” dan “Haminjon” (Kemenyan). Keempatnya ditulis oleh Komposer Mogan Pasaribu.
“Portibi” (Bahasa Batak yang berarti dunia) menggambarkan isi dunia dengan segala hiruk pikuknya. Ada kegembiraan, kesedihan, rasa bahagia dan bahkan kemarahan. Ekspresi itu seperti diwakili oleh bunyi-bunyian alat musik yang dimainkan. Sebagian adalah instrumen musik tradisional perkusi dan brass.
Pertunjukkan dibuka dengan duet Israel Varela (drum) dengan musikus muda Artdo Sitohang (sarune). Keduanya bermain kompak. Pukulan drum Israel, gagah menghentak, sementara tiupan sarung Artdo melengking-lengking seperti meneriakan sesuatu. Penonton memberikan aplaus yang meriah begitu keduanya menyelesaikan aksi mereka.
Personil Horja Bius lainnya masuk ke pentas untuk membawakan komposisi musik yang diciptakan oleh Mogang Pasaribu : Portibi 1, 2 dan 3, dan ditutup dengan Haminjon (Kemenyan). Pukulan Gondang Batak, drum, gong, garantung (alat musik khas Simalungun), hesek, dua alat musik modern: melodi gitar dan bass, saling mengisi untuk menghasilkan musik yang rancak, dan ambiens yang aneh. Namun semua penonton menikmatinya. Terbukti dengan tepuk tangan yang terdengar setiap kali sebuah komposisi yang dimainkan berakhir.
Pada lagu terakhir, Haminjon (Kemenyan) ditampilkan pula gambar-gambar multimedia yang memperlihatkan masuknya alat besar untuk meratakan tanah dari hutan-hutah Kemenyan yang dibabat habis. Dua orang petani memberikan testimoni (dalam bahasa Batak) tentang keluhan mereka terhadap pembabatan hutan Kemenyan (haminjon).
Di depan para pemusik ditampilkan performing art yang dimainkan oleh 4 lelaki dan 2 orang perempuan penari tor tor. Keempat lelaki itu merupakan simbolisme dari masyarakat setempat yang masih memelihara adat istiadat (lelaki bertelanjang dada) dan seorang lelaki memakai jaket kulit yang terus-menerus mengayunkan kapak (simbol pengusaha pembabat hutan).
Pohon kemenyan (haminjon) , bagi masyarakat Batak, mempunyai makna sendiri. Selain memiliki nilai ekonomi yang tinggi, Masyarakat Batak percaya satu pohon kemenyan bisa menjaga keberlangsungan 10 tanaman hutan di sekeliling. Jika, satu kemenyan ditebang, 10 tanaman hutan akan mati. Begitu juga sebaliknya.
Getah kemenyan bisa untuk berbagai keperluan, harga jualpun cukup mahal. Untuk kemenyan kualitas bagus Rp250.000 per kilogram, . kualitas kasar dua Rp200.000, kemenyan kacangan, Rp150.000, kualitas jagungan Rp130.000 dan kualitas abu dan monis Rp100.000 per kilogram. Jika disatukan, harga kualitas jagungan, dan abu serta monis rata-rata Rp180.000 per kilogram.
Dulu, taraf hidup petani kemenyan diatas rata-rata. Bagaimana kondisi kini? Saya mengunjungi sejumlah daerah penghasil kemenyan di Sumatera Utara, seperti Humbang Hasundutan, dan Tapanuli Utara.
Sepuluh tahun lalu, katanya, setiap minggu bisa panen getah 50-100 kilogram. Sekarang, getah kemenyan baik sulit. Setiap pohon hanya bisa menghasilkan tak lebih lima kilogram.
Penurunan ini diduga dampak dari operasi PT Toba Pulp Lestari, yang menebang kayu kemenyan di hutan dan mengubah jadi eukaliptus.
Komposisi musik yang diciptakan oleh Mogan Pasaribu untuk Hoja Bius, adalah bentuk keresahan dari fenomena berkurangnya hutan kemenyan di Tapanuli.
“Kami hanyalah makhluk urban yang coba melihat tanah leluhur kami,” kata Mogan Pasaribu usai pertunjukkan.
Penonton mungkin tidak memahami keresahan Mogan Pasaribu sebagai makhluk urban, yang mencoba menyuarakan keluhan para petani kemenyan di tanah leluhurnya. Yang jelas penonton yang hadir di Teater Arena Wahyu Sihombing, begitu menikmati pertunjukkan Horja Bius bersama Israel Varela. Cukup setengah jam durasi total penampilan grup musik ini, mereka seakan terbius oleh komposisi musik yang unik tapi bisa dinikmati.
Yang menggembirakan, empat dari 10 pemusik yang tampil adalah anak-anak muda. Artinya, musik kontemporer seperti inipun masih memiliki harapan kelangsungan hidupnya. Dan mereka sudah berkeliling di beberapa negara di Eropa.
Para personil Horja Bius terdiri dari Anna Febiola Bethania Hutapea (taganing / hesek), Didit Alamsyah (sarune), Goldy Nathanael Langitan (garantung / hesek), Ramansyah (hasapi), Oniel Abednego Mangoli (taganing), Andrey George Foreman (taganing / garantung), Artdo Sitohang (sarune / sulim). (hw)