Defacto – 30 September 1965 yang sudah dimateraikan sebagai hari pengkhianatan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap negara Republik Indonesia pasca kemerdekaan, justru menjadi awal hari-hari yang sangat kelam bagi Bangsa Indonesia.
Setelah 7 orang Jenderal TNI Angkatan Darat dibunuh (militer menyebut dilakukan oleh pasukan pengawal Presiden Soekarno “Cakrabirawa” yang berafiliasi dengan PKI), pembunuhan demi pembunuhan yang jauh lebih kejam lagi terjadi di tengah-tengah anak bangsa.
Pengejaran dan pembinasaan terhadap mereka yang dituduh sebagai gembong, anggota, antek, bahkan masyarakat yang hanya bersinggungan sedikit dengan PKI tanpa pernah menyadari tindakannya, dilakukan secara sembrono.
Tentara, polisi, milisi bahkan ormas keagamaan bahu-membahu. melakukan penumpasan orang-orang yang terindikasi berkaitan dengan PKI. Pembunuhan secara masif dilakukan di mana-mana, dengan cara yang bahkan lebih kejam dari — kalau benar dilakukan oleh PKI sendiri — ketika membunuh para jenderal.
Penumpasan secara besar-besaran itu telah menghilangkan 300.000 – 500.000 jiwa dalam tempo relatif singkat. Mayat korban dibuang sembarangan. Bangkai manusia memenuhi Sungai Bengawan Solo yang telah memerah oleh darah. Di NTT, mayat-mayat dikubur hanya ditutupi tanah seadanya dan rumput-rumput supaya tidak digali anjing. Kekejaman yang terjadi luar biasa. Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Sarwo Edhie Wibowo (mertua mantan Presiden SBY) yang diperintahkan oleh Jenderal Soeharto melancarkan “real drive” ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, pada Oktober 1965 mengatakan kepada wartawan telah membunuh “tiga juta komunis”.
Belasan ribu orang tertudug PKI dikirim ke Pulau Buru, dan harus hidup dari tanah pertanian yang digarap tanpa alat. Itu pun hasil pertama jerih payah mereka dimakan oleh para komandan jaga yang mengawasi tahanan politik.
Kisah-kisah kejamnya pembantaian dan tragedi memilukan penumpasan “orang-orang merah” dan mereka yang tidak bersih lingkungan di masa itu, dirangkum dalam buku berjudul “Tuhan Menangis Terluka” karya penulis dan wartawan Martin Aleida. Isi buku tersebut dan beberapa buku lain karya penulis yang juga sempat mengalami pedihnya hukuman brutal rezim Orde Baru itu, Jum’at (13/1/2023) kemarin didiskusikan di Beranda Garuda Rakyat, Pinang Ranti Jakarta Timur. Tempat tersebut adalah kediaman pematung Doloros Sinaga.
Diskusi yang dimoderatori oleh sastrawan Eka Budianta, menghadirkan pembicara sejarahwan Asvi Warman Adam, mahasiswa FISIP Kris Subiantara, dan dibadiri oleh puluhan aktivis.
“Tuhan Menangis Terluka” merupakan tulisan yang dirangkum dari berbagai sumber, tentang pembinasaan “orang orang Merah” di seluruh tanah air. Buku ditulis dengan sentuhan dan kedalaman rasa oleh Martin Aleida. Sehingga buku ini enak dibaca dan membawa pembacanya masuk ke dalam peristiwa.
Di usianya yang telah memasuki 80 tahun, penulis kelahiran Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara itu masih segar, meskipun ia mengakui fisiknya sudah agak lemah, terutama di bagian kaki karena pernah ditabrak motor. HW