Defacto – Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah seorang tokoh ulama multi disiplin dari tanah Banjar. Kedalaman Ilmu agama dan Ilmu pengetahuannya mencakup aturan-aturan Fiqh maupun pengajaran ilmu Tasawuf.
Dengan kegigihannya beliau mampu mencerahkan masyarakat Banjar dari kurangnya literasi keagamaan berbahasa Melayu saat itu. Karyanya, khususnya Sabilal Muhtadin menjadi referensi pula bagi banyak negara tetangga. Kitab ini dikenal luas di kalangan kaum muslimin di kepulauan Nusantara, dan sampai saat ini masih banyak digunakan, khususnya di Kalimantan dan Sumatera.
Keahlian Ilmu Astronomi atau Ilmu Falak Syekh Arsyad saat memindahkan lokasi kiblat di salah satu masjid di Batavia serta mengukur kedalaman laut.
Kitab Sabilal Muhtadin karya Syekh Arsyad juga tersebar hingga Brunei Darussalam, Kamboja, Thailand dan Malaysia, bahkan tersimpan pula di berbagai perpustakaan besar di dunia Islam, seperti di Mekkah, Mesir, Turki dan Beirut.
Melalui kitab ini, Karel A. Steenbrink menyatakan bahwa Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari merupakan satu-satunya tokoh yang mengarang begitu luas dan sistematis di bidang fiqh dalam Bahasa Melayu.
Syekh Arsyad tercatat dalam sejarah sebagai penggaggas Mahkamah Syar’iyah yang kemudian menjadi cikal bakal Pengadilan Agama saat ini di Indonesia.
Rekam jejak Syekh Arsyad itu kini bisa disaksikan di layar lebar, lewat sebuah film
biopic yang diprosuksi oleh PT. Expressa Pariwara Media Production House, menjalankan amanah Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan. Film ini disutradarai oleh Ensadi Joko Santoso dan Zulkifli Anwar, dengan penulis skenario Irfan Wijaya.
Bertindak sebagai produser Chandra Purnama Restu,
Begitupula melibatkan pemain dan crew film putra – putri daerah Kalimantan Selatan seperti Yadi Muryadi, M. Syahriel dan Paman Birin (Dr. H. Sahbirin Noor, S.sos, M. H., Gubernur Kalimantan Selatan) beserta ASN Jajaran Instansi Kalimantan Selatan.
Film Feature Panjang Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari ini dimainkan hampir keseluruhan oleh putra-putri Kalimantan Selatan, diantaranya siswa sekolah Perfilman SMKN 2 dan SMKN 3 Banjarmasin untuk ikut Magang sebagai Crew Produksi Film. Melibatkan pula beberapa Zuriyat Syekh Arsyad sendiri baik sebagai pemeran film maupun sebagai narasumber. Begitupula Jajaran Instansi Pemerintahan Kalimantan Selatan ikut memeriahkan pada beberapa adegan film.
Aktor Billy Boedjanger dan Asrul Dahlan serta Afrizal Anoda ikut memperkuat karakter Tokoh dalam film ini.
Proses riset dilakukan untuk naskah melalui pengumpulan data literasi maupun keterangan lisan serta pembahasan materi film melalui Focus Group Discussion (FGD) antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, Akademisi dari berbagai disiplin Ilmu, Zuriyat dari Syekh Arsyad yang diadakan sebanyak tiga kali guna mendapatkan informasi seakurat mungkin.
Dengan permintaan khusus dari keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari maka sosok beliau tidak ditampilkan dalam Film Biopic Islamic ini. Gaya perfilman Jean Luc Godard seorang Sineas Perancis Swiss menjadi referensi Sutradara dalam menggambarkan adegan film melalui Point Of View Sang Tokoh Utama.
Film juga menampilkan pula Budaya asli dan keindahan alam Kalimantan Selatan dengan Geo Park Meratusnya diantaranya di Kawasan daerah Matang Keladan, Rian Kanan dan Loksado, serta Bumi Sholawat Kiram.
Produksi daerah
Menghabiskan biaya Rp.4 milyar, lahirnya film ini menjadi sesuatu yang menarik karena ada upaya daerah untuk menghidupkan dunia film dari pinggiran. Artinya produksi film tidak selalu didominasi oleh produser-produser dari Jakarta.
Hasilnya pun tidak jelek-jelek amat, meskipun belum maksimal. Film ini masih terasa kurang gambar, padahal fotografinya lumayan, terutama pada aspek pencahayaan.
Meniadakan gambar sosok Syekh Banjar juga membuat penonton tidak mendapat gambaran yang utuh. Tidak dijelaskan mengapa sosok penting yang kisahnya menjadi tokoh sentral dalam film ini justru tidak dimunculkan dalam film. Masalah kultuskah? Atau nenganggap Syekh Banjar setara dengan nabi yang tidak boleh diperlihatkan gambarnya? Ini masih misteri.
Hal lain yang luput dari perhatian adalah, bahwa film seharusnya jadi media komunikasi yang dipahami oleh semua penontonnya. Penggunaan bahasa Banjar — meski sebagian besar menggunakan kosa kata Melayu — agak sulit dipahami oleh masyarakat penonton non Banjar (Kalimantan Selatan).
Namun demikian upaya Pemda Kalsel dan Dinas Pendidikan Kalsel membuat film ini, menjadi sebuah inisiatif menarik yang bisa diikuti oleh Pemda-Pemda lainnya. Cuma satu hal yang perlu dipahami, penonton memiliki standar sendiri untuk menentukan film yang perlu atau tidak perlu ditonton. (matt bento)