Defacto – Sebagai sebuah lembaga modern, PSSI mundur seperti tahun 50-an. PSSI, jaman sekarang seperti kerajaan. Siapa yang jadi ketua umum, silahkan boleh mundur, tapi anggota lainnya tetap bertahan, dan menjadi penentu kebijakan.
“PSSI itu organisasi brengsek, dan tidak beretika! Bisanya cuman jadi mafia dan kartel. Menggelar kompetisi nggak beres, mencetak pemain nasional yang becus. Membina dunia kepelatihan yang ada yang pinter jadi pelatih. Trus, mau diapakan PSSI?” kata Anjas Asmara, Pemain Nasional 1973 – 1977.
Mantan premain nasional kelahiran 30 April 1952 yang pernah menjebol gawang tim nasional Uruguay 1974, di Senayan ini menyampaikan uneg-unegnya, seperti tertulis dalam siaran pers Komunitas Pencinta Sepakbola Nasional “We Are Football Family”.
“Ada yang paling parah dalam 30 tahun terakhir. PSSI tidak pernah melahirkan pemain nasional yang memiliki karakter dan intelegensia yang hebat. Dulu, Wiel Coerver, pelatih asal Belanda, bisa mendapatkan dan memilih pemain yang punya karakter kuat, yang bisa masuk tim nasional. Saat ini, nggak ada yang bisa seperti Iswadi Idris, Ronny Pattinasarany, Nobon, Suhatman, atau pun junaedi Abdillah,” tegasnya.
Fenomena saat ini, umumnya pemain sepakbola nasional memiliki mental lemah, sehingga skillnya sering tidak terasah dengan baik. Akibatnya ketika dikontrak tim luar negeri, lebih sering mengisi bangku cadangan. Padahal klub-klub asing yang mengontrak hanya berada di Divisi 2 atau 3.
Anjas Asmara merupakan salah satu pemain sepak bola Indonesia yang hampir mengantarkan Indonesia ke Olimpiade 1976. Bersama Suaib Rizal, kegagalan tendangan penaltinya ke gawang Korea Utara yang dijaga oleh Jin-In Chol pada final Pra Olimpiade di Stadion Senayan, Jakarta, membuyarkan impian Indonesia tampil di Olimpiade Montreal, Kanada. Kesibukannya saat ini adalah melatih My Team, yang merupakan kumpulan pemain muda non-amatir yang direkrut dan diseleksi dari 6 kota di Indonesia.
Legenda sepakbola asal klub Persebaya Ferril Raymond Hattu menungkapkan, lembaga-lembaga sepak bola di kawasan Asia Tenggara, sudah canggih, sudah modern, dan sudah sangat rapi. Saatnya, PSSI juga naik kelas, bisa berpikir dan berpola pikir, menyusun rancangan organisasinya, dengan rapi.
Oraganisasi PSSI, harus bernyali, dan berani cari sendiri secara mandiri, sebuah kantor sekaligus pusat database semua pemain di seluruh Indonesia. PSSI harus bernyali punya lapangan sendiri yang mewah dengan infrastruktur, sebagai pusat pelatihan semua pemain dari pelatnas U-16 hingga senior, termasuk futsal dan sepak bola wanita.
“Tanpa pernah berpikir maju, dalam membangun organisasinya. Jangan berharap bisa mencetak prestasi. Minimal, seperti di jaman saya,” tutur Kapten Indonesia, medali Emas SEA Games 1991 ini. (*/hw)