DeFacto.id – Setelah melalui penerbangan yang melelahkan, dari bandara Kabul, Afganistan, menuju pangkalan AU-Amerika di Ramstein, Jerman, para pengungsi Afganistan kemudian melanjutkan perjalanan menuju Amerika.

Sebuah pesawat berbadan lebar milik United Airlines, salah satu perusahaan penerbangan swasta besar di Amerika, sudah siap menunggu untuk mengangkut para pengungsi ke tempat aman.
Kejutan mengagetkan
Yang menarik, di pintu gerbang, seorang pria berambut hitam keperakan berusia sekitar 53 tahun, berkemeja putih rapi, menyambut setiap orang dengan senyum mengembang tulus.
Ia menyapa dengan ramah, “selamat datang!”, “mari masuk dan semoga penerbangan ini menyenangkan!”
Para pengungsi Afganistan ini kaget bukan main. Bukan karena senyum dan keramahan si pria berkumis ini, tetapi ia menyapa setiap orang dengan bahasa Pashto, bahasa yang umum dipakai di Afganistan!
Semua orang keheranan. Bagaimana mungkin seorang ‘penyambut tamu’ maskapai penerbangan Amerika bisa menyapa setiap orang menggunakan bahasa Pashto dengan logat yang kental?
Akhirnya jati diri si ‘penyambut’ terungkap, ia adalah pilot pesawat yang akan membawa pengungsi menuju Amerika! Bernama Zak Khogyani , dan ia memang lahir di Afganistan!
Yang membuat semua penumpang terkejut adalah, 44 tahun silam, Zak Khogyani sendiri terbang ke Amerika juga sebagai pengungsi!
Keruan saja hari itu pilot ramah ini dihujani banyak pertanyaan oleh penumpangnya sendiri. Bagaimana bisa jadi pilot? Ceritanya seperti apa? Saya akan dibawa kemana? Tinggal dimana nanti? Anak saya bisa sekolah di Amerika? Apa ada pekerjaan tetap buat saya disana?
Khogyani tentu tidak bisa menjawab semua pertanyaan. Semua orang tentu penasaran seperti apa sebenarnya masa depan mereka di tempat yang baru kelak?

Contoh nyata ada di depan mata
Bagi para pengungsi, masa depan memang masih misteri, namun semua penumpang bisa melihat contoh yang benar-benar nyata dan contoh itu ada di depan mereka: pilot hebat yang dahulu juga berstatus sebagai pengungsi bernama Zak Khogyani!
Menjadi pengungsi memang sulit, hidup terpuruk dan tak memiliki apa-apa, namun bila memiliki tekad yang kuat dan niat untuk mengubah nasib, semua orang juga bisa sukses!
Benar, 44 tahun silam, tahun 1977, saat Khogyani masih berusia 9 tahun, secara mendadak ayah dan ibunya membawanya menuju bandara.
Sebuah tas kecil ia pegang erat. Isinya makanan anak-anak seadanya. Tak ada barang berharga, foto atau pakaian ekstra yang dibawa ayah dan ibunya. Semua pakaian hanya yang melekat di badan.
Afganistan dilanda perang saudara. Yang masih setia dengan monarki bentrok dengan yang ingin membawa perubahan berdasarkan hukum agama. Dilain pihak, komunisme mulai bangkit di negara itu karena disponsori Uni Sovyet.
“Suasana sangat mencekam saat itu. Tak ada yang berbicara ketika mobil dilarikan yang kemudian ternyata menuju bandara. Semua membisu. Ibu saya juga tidak mengatakan apa-apa pada saya” kenang Khogyani.
Semua serba tergesa-gesa. Tak ada yang bisa dibawa. Kakek Khogyani adalah seorang hakim merangkap senator, sementara ayahnya menjabat sebagai gubernur besar karena ia membawahi 3 provinsi sekaligus.
Perubahan politik yang terjadi tiba-tiba bisa mengancam nyawa kakek dan ayahnya yang menjadi tokoh publik. Keluarga ini segera mengungsi ke luar negeri secepat mungkin. Sayangnya, disaat terakhir, sang kakek menolak untuk pergi ia lebih memilih untuk bertahan di Afganistan.

Beruntung keluarga ini akhirnya bisa mengungsi dan terbang keluar negeri sampai akhirnya mendarat di Amerika.
Waktu itu akses tak semudah sekarang dan keluarga pengungsi ini melewati masa adaptasi yang sulit dan lama hingga akhirnya mereka terbiasa hidup di tempat baru.
Semua orang bisa sukses!
Kehidupan di rantau mulai menunjukkan kemajuan, “namun, sampai sekarang, saya tak pernah berjumpa dengan kakek saya lagi, juga saudara-saudara lainnya yang masih di Afganistan” ucap Khogyani “entah mereka ada dimana”
Afganistan semakin kacau. Perang saudara berkecamuk. Pasukan Uni Sovyet juga menggelontor masuk dari utara dengan membawa mesin perang yang paling baru.
Sebaliknya, di Amerika, para pengungsi Afganistan semakin maju. Pendidikan terbuka lebar, “ini tanah harapan, orang bisa bercita-cita apa saja dan dapat meraihnya asal bekerja keras” tutur Khogyani yang akhirnya tertarik dalam dunia penerbangan dan menjadi pilot.
Khogyani selalu mewanti-wanti anaknya, “tak ada yang buruk dengan menjadi pengungsi dan berstatus imigran. Perusahaan besar di Amerika seperti Apple, Google dan Amazon didirikan oleh imigran atau oleh anak-anak imigran. Semua orang memiliki kesempatan untuk sukses!”
Misi Pribadi
Waktu terus bergulir. Ketika Taliban merebut dan menguasai Afganistan pada pertengahan Agustus lalu kekacauan terjadi dimana-mana.
Banyak orang takut hidup dan tinggal di Afganistan di bawah rezim Taliban. Semua ngeri karena pernah berpengalaman dengan masa pemerintahan Taliban yang kaku dan keras ketika mereka berkuasa di negeri itu 20 tahun silam.
Maka, sejak Taliban berkuasa hampir semua orang Afganistan berusaha kabur ke luar negeri secepatnya! Bandara Kabul jadi kacau karena ribuan orang hendak mengungsi!
Ketika presiden Amerika, Joe Biden, memerintahkan maskapai penerbangan swasta Amerika agar membantu pihak militer untuk mengevakuasi warga Afganistan, dengan segera hampir semua maskapai besar di Amerika mengambil bagian.
United Airline tentu membutuhkan pilot sukarelawan yang akan membawa mengungsi terbang keluar dari Jerman menuju Amerika.
“Tanpa pikir panjang saya langsung mendaftar. Melayani saudara-saudara saya dari Afganistan merupakan misi pribadi bagi saya. Saya harus melayani mereka sebaik mungkin!”
Untuk itu kita melihat tadi Khogyani menyambut semua orang dengan ramah, menyapa dengan bahasa ibu mereka dan mereka kaget dan langsung terharu!
Saat ini ada 50.000 pengungsi Afganistan yang masih tinggal sementara di tempat penampungan. Belum ada kemajuan berarti memang, namun, setidaknya hidup mereka sudah lebih tenang, tidak was-was dan anak-anak juga mulai sekolah. Murid pria dan wanita berhak atas pendidikan yang sama.
Para pengungsi ini, kelak, juga akan seperti Khogyani: menjadi warga negara Amerika.

Cermin diri
Ketika pintu pesawat ditutup dan Khogyani tengah berjalan menuju ke ruang pilot, tiba-tiba ia melihat seorang anak laki-laki sedang bermain di tempat duduknya, dengan mainan baru yang dibagikan oleh awak kabin.
Khogyani menatapnya sekilas, ia tercekat dengan penuh haru. Ia seperti sedang bercermin: melihat dirinya sendiri yang tengah bermain, 44 tahun silam, di dalam kabin pesawat juga, dengan baju yang hanya melekat di badan, tiga hari belum mandi dan perutnya kelaparan.
Khogyani memandang lekat wajah anak itu, ia nampak kebingungan, lelah juga ketakutan. Persis seperti dirinya puluhan tahun silam, “tabahkan hatimu, nak, masa sulit pasti akan berlalu” ia membatin. Air matanya mengambang. *Gunawan Wibisono
* Zak Khogyani mengungsikan seribu orang lebih warga Afganistan menuju tempat yang aman.
Sumber: liputan John Blake, CNN, foto-foto: CNN