Frasa “orang film” biasanya ditujukan untuk menyebut orang-orang yang bekerja di perfilman, terutama dalam produksi. Bisa artis (aktor) atau karyawan film. Dalam setiap produksi film terdapat banyak kategori pekerja. Mulai dari Penulis Skenario, Pembantu Umum, Sopir (di film biasa disebut driver), Unit Produksi, Art Director hingga stafnya, Juru Rias (make up), Penata Lampu (lighting), Pencatat Skrip, Co Director (Asisten Sutradara / Astrada), Sound man, Juru Kamera hingga Sutradara. Nanti setelah selesai shooting, masih ada lagi pekerja lain yang menangani pasca produksi, yakni Penyunting Gambar (Editor), Penata Musik (Music Director), belum lagi yang menangani sound effect atau efek-efek gambar untuk film jenis tertentu, pengisi suara (dubber) untuk mengganti suara aktor yang kurang pas, dlsb.
Untuk menghasilkan sebuah film hingga sampai ke bioskop, dibutuhkan begitu banyak pekerja. Oleh karena itu membuat film butuh biaya yang sangat besar. Akan tetapi besarnya biaya dan sumberdaya itu bukan jaminan produk yang dibuat diminati penonton.
Sampai hari ini, setelah ratusan tahun film dibuat, tak ada satu pun orang yang berani memastikan bisa membuat film laku. Yang bisa membuat film bagus banyak. Film bagus belum tentu laku. Tetapi kalau Anda bawa uang banyak, dan menyatakan ingin membuat film, akan muncul orang-orang film yang akan mengeluarkan segudang teori. Baik dalam aspek produksi maupun pemasaran. Yang penting dana bisa keluar. Apapun caranya. Bahwa kemudian produksi mangkrak di tengah jalan, atau filmnya jeblok, itu soal lain. Kasus semacam ini sudah banyak terjadi di lingkungan film.
Seorang teman, sutradara film laga (kini sudah almarhum) dengan yakin mengatakan bisa membuat film seperti “Kungfu Hustle” (Steven Chow). Dia akan membuktikan apabila ada produser yang serius. Sayang niatnya tidak pernah kesampaian.
Beberapa tahun lalu juga ada sinetron laga yang membuat adegannya mirip “Crouching Tiger Hidden Dragon” yang dibintangi Chou Yun Fa, Michelle Yeoh dan Zhang Ziyi. Saking bangganya sang produser, launching sinetron itu dilakukan di bioskop. Setelah tayang di televisi, ternyata hanya bertahan beberapa hari, lalu didrop oleh pihak televisi. Ratingnya kecil.
Menjadi orang film adalah kebanggaan bagi banyak orang. Terlepas bahwa sebutan itu kurang relevan lagi baginya, karena pekerjaan di perfilman sudah lama tak menghampiri. Meski demikian sebutan bergengsi itu harus tetap dipertahankan. Jangan heran kalau saat ini ada 5 (lima) organisasi artis bahkan lebih, organisasi produser ada 3 (tiga), organisasi pekerja film juga banyak, terlebih jika dihitung dengan bidang-bidang khusus yang ditangani oleh para pekerja.
Sejauh mana mereka masih eksis di dunia perfilman, bisa dicek di kantor-kantor organisasi perfilman yang ada di lantai 4 Gedung Pusat Perfilman H. Usmar Ismail (PPHUI) di Jl. HR. Rasuna Said Jakarta. Di sini ada kantor sekretariat artis (PARFI), kantor produser (PPHUI) karyawan film (KFT), kantor film keliling (PERFIKI), kantor sekretariat gabungan bioskop (GPBSI), gabungan studio film (Gasfi), Sinematek dan sekretariat wartawan film.
Di Lt. II Gedung Film, Jl. MT. Haryono, Jaksel, ada kantor sekretariat artis sinetron (PARSI), sekretsriat kine klub (SENAKKI), kantor sekretariat asosiasi rekaman video (ASIREVI), kantor sekretariat artis iklan (kalau tidak salah akronimnya PAPFINDO), dan di lantai dasar ada Badan Perfilman Indonesia dan PARFI faksi Soultan Saladin.
Bicara orang film, saya punya teman baik, orang Betawi, yang selalu menyebut dirinya orang film. Padahal keahliannya di bidang otomotif. Dia mengenal dan memahami kinerja sparepart kendaraan roda empat. Karena keahliannya itu, dia pernah dipercaya untuk merawat dan memperbaiki kendaraan operasional dan milik pejabat Dewan Film Indonesia (DFI). Itu tahun 90-an. Kini DFI sudah dibubarkan. Sempat dibonsai menjadi Badan Pengembangan Perfilman Nasional (BP2N) lalu dikerdilkan lagi menjadi BPI.
Sejak mengenalnya, saya tidak pernah melihat dia bekerja di perfilman, meskipun dia bisa bercerita sangat menarik tentang masa lalu aktor Deddy Mizwar, El Manik, juga produser-produser masa lalu yang kini semuanya sudah almarhum seperti Abdul Madjid, Bucuk Soeharto dan lain-lain.
Suatu hari saya pernah mencari rumahnya di kawasan padat dekat Stasiun Depok Baru. Di kawasan yang dulu bekas kebun kangkung itu, tinggal berbagai macam pekerja informal. Para pengamen yang suka berjoget di lampu merah seperti boneka teletubies, manusia silver hingga mereka yang suka berorasi di jalan dengan modus mencari dana untuk korban bencana, tinggal di situ.
“Malahan ada satu keluarga yang semuanya pengamen,” kata teman tersebut.
Usaha saya mencari rumah teman tersebut tidak berhasil. Padahal saya sudah jelaskan ciri-cirinya dan pekerjaannya sebagai montir mobil. Semua orang yang saya tanya menggeleng.
Beberapa hari kemudian saya ketemu dengan teman tersebut. Saya jelaskan betapa susahnya mencari rumah beliau.
Lalu dia menjawab dengan ringan, “Lu sih nanyanya kerja di bengkel. Sebut dong nama gua, orang film! Pasti semua orang di situ tau!”. (herman wijaya)