Nama Komeng menjadi viral, setelah mendapat suara terbanyak — 1,7 juta suara — dalam Pemilu 2024 ini. Pelawak bernama asli Alfiansyah Bustami ini maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) DPD RI daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat. Ironisnya, peraih suara terbanyak calon anggota DPD dari Jabar ini, mengaku tak benar-benar mengerti tugas anggota DPD. Ini bisa dimaklumi. Jangankan Komeng, mungkin dari 270 juta rakyat Indonesia, tidak sampai 0,1 persen yang paham tugas DPD.
Dalam hal kesuksesan Komeng, pemilihnya kebanyakan asal coblos. Tidak pernah mendegar visi / missi sang caleg, atau tidak pernah tahu sosialisasi yang dilakukan.
“Waktu gua buka kertas, ada tampang Komeng. Lucu banget, ya gua coblos aja!” kata seorang pemilih lansia di Bogor.
Terpilihnya Komeng merupakan fenomena menarik. Masyarakat tidak peduli soal politik. Masyarakat merasa politik adalah urusan orang-orang atas. Wilayah mereka yang punya pengaruh dan duit, atau milik kalangan pesohor. Ketika masyarakat awam memiliki hak untuk menentukan wakilnya, maka dipilihkan yang paling dekat dengan dirinya. Secara pribadi masyarakat mungkin tidak dekat dengan Komeng, tetapi Komeng lebih sering dilihat, dan sering hadir menghiburnya. Bahkan sampai ke kamar tidurnya.
Dengan terpilihnya Komeng, dipastikan suasana di DPD akan semakin meriah. Semakin lucu. Dan rakyat tidak peduli. Toh selama ini DPD RI hanya dianggap sebagai kosmetik politik saja. Keputusan politik yang penting ada di DPR RI, walau pun dalam sidang paripurna, banyak anggota DPR RI yang mangkir.
Terpilihnya Komeng seperti menyiratkan bahwa negara ini memang komeng. Dalam KBBI arti “Komeng” adalah terlalu kerdil, agak kecil. Komeng dalam masyarakat Betawi adalah sebutan untuk buah yang bentuknya kecil, tidak sempurna, atau sedikit gepeng. Belakangan kata itu juga digunakan untuk menyebut orang berbadan kurus.
Di negeri komeng, rakyatnya cenderung mengabaikan hal-hal yang serius; tidak mementingkan mutu; lalu membanggakan hal-hal yang instan, juga bukan karena hasil usaha sendiri. Celakanya, dalam memilih pemimpin pun dicari yang instan. Ketua Parpol instan, Wakil Presiden instan.
Mentalitas komeng terjadi di berbagai sektor kehidupan. Sebuah turnamen olahraga selebritas yang kemampuan artisnya dalam berolahraga hanya pas-pasan, mendapat tempat penting (prime time) di televisi tertentu, karena penontonnya banyak, dan iklannya bejibun. Sementara pertandingan olahraga yang lebih bermutu, minim penonton, dan tidak mendapat tempat terhormat di televisi.
Dalam cabang sepakbola, mayoritas anak muda penggemar sepakbola, bangga dengan kenaikan peringkat Timnas Indonesia di daftar peringkat FIFA. Mereka tidak peduli hasil itu dicapai karena kehadiran pemain-pemain naturalisasi. Kehadiran pemain naturalisasi selalu disambut hangat. Secara sadar, kita mengakui kelemahan anak-anak bangsa yang berlatih di dalam negeri, dan pasrah bongkokan dengan kebijakan naturalisasi.
Sementara pelatih yang ingin memprioritaskan pemain lokal (local pride), dihina habis-habisan. Ini menunjukkan bahwa generasi muda pencinta sepakbola kita memang telah sadar menjadi bangsa yang kalah. Bayangkan jika Jepang menjadi bangsa yang putus asa setelah dibom atom oleh Amerika, pasti Jepang tidak bisa bangkit menjadi negara maju.
Bangsa kita cenderung menghina kemampuan bangsa sendiri. Dalam banyak hal, produksi dalam negeri tidak dianggap, bahkan dicemooh, karena kualitasnya sudah pasti kalah dengan produk impor. Dampaknya orang malas untuk melakuan riset, membuat sesuatu yang baru, atau bahkan sekedar berinisiatif, karena tidak akan dihargai. Kalimat, “ngapain susah-susah bikin, kalau bisa beli”, telah sukses membunuh kreativitas anak bangsa.
Itu semua menunjukkan mental masyarakatnya yang komeng, membuatnegeri ini semakin komeng. Uhuuuy… (herman wijaya)