Home / Esai

Minggu, 2 Januari 2022 - 19:03 WIB

Menunggu Para “Racer” Politik Berpacu…

Tahun 2024 mendatang, Indonesia harus memiliki presiden baru. Ir Joko Widodo (Jokowi) yang telah dua kali menjadi presiden, terbentur aturan undang-undang untuk mengikuti pemilihan ketigakalinya. Meski pun ada suara-suara yang menginginkan Jokowi maju untuk yang ketiga kalinya – mungkin bisa mengakali aturan undang-undang untuk mewujudkan itu – Jokowi sendiri menyatakan tidak ingin maju lagi.

Panggung politik pada tahun 2024 mendatang ibarat arena balap kosong melompong, yang siap diramaikan oleh para racer (pembalap) untuk memacu kendaraan mereka guna merebut trofi yang tersedia. Beban masing-masing pembalap untuk memperebutkan trofi boleh dibilang ringan karena tidak ada juara bertahan. Namun demikian, ini juga bukan balapan yang mudah, mengingat pembalap yang akan turun juga bukan kelas ecek-ecek, karena mereka sebelumnya juga dikenal sebagai pembalap tangguh di arena berbeda.

Satu hal penting yang membuat balapan ini benar-benar tidak mudah adalah, syarat untuk masuk ke dalam sirkuit itu sendiri. Yakni dukungan partai politik yang memenuhi syarat Presidential Threshold, ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden. 

Partai politik yang bisa menyodorkan nama untuk mencalongkan presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25% kursi di DPR atau 20% suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.

Tanpa dukungan itu, sehebat apapun sang pembalap (calon presiden), secanggih apapun mesin atau setelan kendaraan yang digunakan, tidak akan bisa membawa sang pembalap masuk ke arena. Sejauh ini presidential threshold adalah harga mati!

Jika melihat ketentuan Presidential Threshold, maka hanya sedikit calon saja yang bisa bertarung – bisa jadi hanya 2 sampai 3 calon – dalam Pilpres 2024 mendatang. PDIP memiliki peluang terbesar karena memiliki 19,33 % suara, disusul dengan Gerindra (12,57 %) dan Golkar (12,31 %).

Baca Juga  ISTRI (Puisi Harry Tjahjono)

Walau pun belum memenuhi ambang batas 20 % suara, paling tidak ketiga partai politik itu lebih mudah mendapatkan teman koalisi untuk mengusung Capres / Cawapres pada Pilpres 2024 mendatang. Ketiga partai itu cukup memilih 1 (satu) partai koalisi yang bisa melengkapi kebutuhan 20 % suara untuk mengusung capres / cawapres.

Sialnya presidential threshold tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Karena ini kesepakatan poltik yang dibuat oleh partai-partai di DPR, dan sudah terpatri dalam undang-undang. Menyingkirkan presidential threshold melalui mekanisme di DPR pasti sangat sulit. Karena selain butuh proses yang lama, pertarungan politik antara pihak yang pro (karena merasa diuntungkan) dan pihak yang anti (dirugikan) pasti akan panjang dan melelahkan. Jika kubu yang pro menjadi mayoritas di DPR, maka sia-sialah perjuangan menghapus ketentuan presidential threshold melalui DPR.

Satu-satunya mekanisme konstitusional untuk menyingkirkan hantu bernama presidential threshold itu adalah mengajukan judicial review (uji materi) pasal Undang-undang yang mengatur presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi.

Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur  Presidential Treshold sebelumnya pernah dimohonkan untuk judicial review ke MK. Namun, pada bagian amar putusan Mahkamah menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu secara serentak berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya. Termasuk tentang penggunaan Presidential Treshold yang dinyatakan konstitusional  berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017. Dalam putusan tersebut MK menegaskan bahwa Pasal 222 UU Pemilu tidak bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945.

Tetapi, dalam putusan MK tersebut terdapat dua orang Hakim Konstitusi yang memiliki pendapat berbeda  (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo  dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Dalam dissenting opinion dinyatakan bahwa dengan membaca formulasi perumusan Pasal 222 UU Pemilu, menjadi sulit dibantah bahwa pesan “tetap mendasarkan pada ketentuan UUD 1945” dalam Putusan MK 14/2013 terang-terangan diabaikan oleh pembentuk undang-undang.

Baca Juga  Kereta untuk Rakyat di Cina

Walau pun upaya judicial review ke MK sudah beberapa kali gagal, semangat untuk mengajukan judicial review tak pernah padam. Menjelang Pilpres 2024 ini ada beberapa tokoh yang mengajukan judicial review Pasal 222 UU Pemilu ke MK, di antaranya mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan beberapa anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Semangat mereka bisa jadi dipicu oleh keinginan yang kuat agar dirinya atau calon-calon yang mereka jagokan bisa ikut berpacu di arena balap politik pada Pilpres 2024 mendatang. Sebab sejauh ini hanya itulah satu-satunya jalan untuk menghapus ketentuan presidential threshold agar mereka bisa masuk arena. Salah satu tokoh yang juga terkesan kebelet bisa masuk dalam bursa Capres / Cawapres 2024 mendatang adalah Ketua DPR RI La Nyalla Mattaliti. Jadi jangan heran kalau banyak anggota DPD yang mengajukan judicial review pasal 222 UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.

Apakah keinginan mereka terwujud atau tidak, sangat tergantung pada putusan MK terhadap uji materi yang mereka ajukan!

Di luar arena sebenarnya, balapan-balapan uji coba sudah dilakukan. Para calon juga sudah serius melakukan latihan di arena yang lebih kecil.  Hasil pertandingan “tarkam” atau latihan para calon itu sudah bisa kelihatan, siapa calon-calon yang mendapat dukungan masyarakat untuk turun dalam arena sebenarnya. Dari liga tarkam yang dilakukan oleh Lembaga-lembaga survey, dukungan partai politik tidak beririsan dengan keinginan rakyat.

Bila kita melihat hasil polling Lembaga survey, setidaknya ada 10 nama yang didukung rakyat untuk menjadi Capres mendatang. Tiga di antaranya selalu menempati posisi tiga besar. Walau pun ada hasil polling yang tidak umum, karena menempatkan calon yang selalu berada di papan bawah tiba-tiba melesat di urutan atas. Itu biasa terjadi dalam kehidupan dunia politik, karena banyak Lembaga survey yang bisa disetel menurut keinginan pemberi order.

Baca Juga  Wawancanda Wagiman Deep: “Setuju Hukuman Diskon Rizieq Shihab Karena Beliyow itu Imam Jumbo Dunia”

Merujuk pada kebanyakan hasil polling, nama-nama Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan selalu berada di posisi tiga besar. Dari ketiga nama itu, hanya Prabowo yang sudah pasti mengantongi dukungan partai, mengingat dia sendiri adalah pimpinan partai.

Ganjar Prabowo yang berasal dari PDIP sejauh ini belum mendapat dukungan partai. Aktivitasnya di media sosial yang mampu mendulang dukungan moral dari masyarakat justru dikecam oleh internal partai. PDIP sendiri nampaknya menjagokan Puan Maharani, putri mahkota PDIP yang justru rendah elektabilitasnya.

Sedangkan Anies Baswedan bukanlah orang partai, dan sejauh ini belum ada partai yang terang-terangan berdiri di belakangnya.

7 (tujuh) nama lainnya yang kerap masuk dalam survey adalah Sandiaga Uno (Gerindra), Ridwan Kamil (non partai), Airlangga Hartarto (Golkar), Agus Harymurti Yudhoyono (Demokrat), Puan Maharani (PDIP), Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jatim), dan Muhaimin Iskandar (PKB).

Di luar itu sesekali masuk pula nama-nama Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan), Gatot Nurmantyo (mantan Pangab), Basuki Tjahaya Purnama / Ahok (Komisaris Pertamina) dan Susi Pudjiastuti (mantan Menteri KKP).  Nama Susi Pudjiastuti yang pernah menjadi Capres terkuat versi polling, sedikit demi sedikit menghilang karena aktivitasnya di pemerintahan maupun panggung politik telah surut.

Siapa pun yang akan masuk dalam daftar Capres / Cawapres mendatang, yang jelas pacuan ini akan menarik.  Calon terpilih akan menentukan perjalanan sejarah Bangsa Indonesia ke depan!

Oleh Matt Bento

Share :

Baca Juga

Esai

Susi Pudjiastuti Sang Pencinta Kehidupan
Politik

Esai

Nasihat Politik untuk Bukan Politikus

Esai

Suryopranoto Menggugat!

Esai

Pemerintah yang Dengki Terhadap Rakyatnya

Esai

Dilema Partai Politik Paska Reformasi

Esai

Negara Sedang Baik-baik Saja?

Berita

Suara Hati Ganjar

Berita

Muhaimin Iskandar Cethar