Oleh MAS NGADIRUN

Manusia, apa boleh buat, mustahil untuk tidak terlibat politik. Karena politik bukan sekadar ilmu dan cara meraih kekuasaan, atau sebatas penyelenggaraan tata laksana pemerintahan. Politik juga sebuah usaha yang ditempuh warganegara untuk mewujudkan kebaikan bersama, upaya bersama merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik.
Alhasil, besar atau kecil, sadar atau tidak sadar, setiap orang akan terlibat politik. Tak terkecuali siapapun. Sebab, seperti dinasihatkan oleh Pericles,“Hanya karena Anda tidak mengambil minat dalam politik, tidak berarti politik tidak akan mengambil minat pada Anda.”
Pericles (495 – 429 SM) adalah negarawan Yunani paling terkemuka dan berpengaruh besar pada masyarakat Athena. Seorang orator dan jendral besar Athena di Zaman Keemasan Athena. Pericles juga memupuk demokrasi Athena sehingga para kritikus menyebutnya seorang populis.
Dalam praksis politik, tidak penting beda antara tidak berfikir, diam saja, atau pura-pura tak mendengar, berlagak netral dan sok filosofis. Sebab, dalam konsep one man one vote, ketidakhadiran adalah nihil.
Maka mereka yang mendiamkan adalah mempercayai, atau setidaknya meloloskan politikus buruk tampil di depan hidung, Dan setelahnya terkejut, ketika yang berkuasa menang tanpa persetujuannya, dan akan menentukan masa depan atau hajat hidupnya.

Orang tidak berminat politik juga karena paham sangat besar ongkosnya. Maka wajar jika percaya pada omongan getir Will Rogers, komedian politik, bahwa,”Politik itu mahal. Bahkan untuk kalahpun kita harus mengeluarkan banyak uang.”
Will Rogers, yang bernama lengkap William Penn Adair Rogers, adalah koboi, komedian, komentator sosial, dramawan dan vaudevillian—penampil aksi akorbat, sulap, opera dan matematika. Terlahir di keluarga Indian, America Serikat, Will Rogers pernah tercatat di Guinness Book of World Records untuk tiga lemparan tali lariat yang menangkap leherkuda dan menjadikannya figur ternama di dunia.
Politik, kata Will Rogers, memerlukan biaya sangat besar. Benar adanya. Pilkada, Pemilu dan Pilpres adalah peristiwa politik yang memerlukan ongjos triliunan rupiah. Demi menegakkan demokrasi, daulat rakyat dengan entah apa lagi alasan yang diwacanakan dalam retorika politik.
“Biaya itulah yang kemudian ditanggung rakyat. Rakyat akan terkena imbasnya, bahkan sampai pada anak-cucu. Jika buruk pemimpin yang terpilih maka 5 tahun lamanya penderitaan yang dialami rakyat sampai menunggu pemilihan pemimpin berikutnya,” kata Berthold Brecht (1898–1956), seorang penyair Jerman, dramawan, sutradara teater terkemukan dunia.
Dan celakanya, “Salah satu hukuman karena menolak untuk berpartisipasi dalam politik adalah bahwa Anda berakhir diperintah oleh bawahan Anda. Siapa bawahan Anda? Yaitu orang-orang yg tidak memiliki kompetensi dan tidak memiliki integritas,* kata Plato (427-347 SM), filsuf dan matematikawan Athena, Yunani.
Murid Socrates ini juga dikenal sebagai penulis philosophical dialogues dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia barat. Plato juga diyakini peletak dasar agama-agama.
Tahun 2024 mendatang, tiga tahun lagi, rakyat Indonesia mau tak mau, suka tak suka, minat tak minat, akan kembali dilibatkan dalam politiki. Jika kita memilih untuk tidak memilih, maka bersiaplah menerima pemimpin yang tidak terpilih atas persetujuan atau tanpa persetujuan kita. Dan kita tetap harus ikut menanggung ongkos politiknya.
Meski baru akan berlangsung 3 tahun lagi, sudah satu tahun terakhir muncul gerakan politik yang berseliweran di depan hidung. Maraknya pembentukan relawan, pemasangan baliho, deklarasi capres dan banyak lagi kerja politik dilakukan banyak orang, partai politik dan tentu saja para petualang oportunis berlalu lalang.
Bagi kita, yang bukan politikus, nasihat Pericles, Will Rogers, Berthold Brecht dan Plato, kiranya berguna untuk didengar, atau dijadikan referensi. Setidaknya bisa menjadi pengingat. *