Sambo, Wowon dan Mario adalah tiga nama yang menghias media massa dan medsos dalam beberapa bulan ini.
Sambo terlibat kasus lebih dulu, dia menjadi otak dan pelaku pembunuhan Brigadir Joshua, ajudannya. Sambo sudah divonis mati.
Apakah Sambo benar-benar akan dieksekusi mati oleh regu tembak? Belum tentu. Masih ada banding dan PK. Baik Sambo maupun Kejagung sama-sama melakukan banding.
Wowon bersama komplotannya masih menjalani proses hukum. Wowon membunuh beberapa wanita — di antaranya isterinya sendiri — dan anak, untuk menguasai harta mereka.
Begitu pula Mario yang saat ini kasusnya sedang viral. Mario ditahan karena menganiaya David, anak pimpinan Banser.
Baik Sambo, Wowon maupun Mario melakukan kejahatan secara bersama-sama (berkomplot). Setidaknya ada orang lain yang ikut berperan dalam melakukan kejahatan.
Dari ketiga pelaku kejahatan itu, Wowon yang paling sadis. Ada 5 korban jiwa akibat perbuatannya. Satu di antaranya balita. Tetapi yang menjadi viral adalah Sambo dan Mario, bukan Wowon.
Masyarakat tidak tertarik dengan kasus Wowon, karena pelaku dan korban hanya orang-orang desa, miskin dan tidak menarik melihat gambarnya ditampilkan di media massa maupun medsos. Tidak ada tas mewah, mobil mewah atau gaya hidup yang berbeda masyarakat. Seperti di film Indonesia masa kini, cerita tentang orang miskin, sedramatis apapun, tidak menarik.
Kasus itu pun seperti luput dari perhatian masyarakat.
Sedangkan dalam kasus Sambo dan Mario, cerita terus bergulir seperti telenovela. Hampir semua bagian kehidupan Sambo dan Mario yang tidak ada urusannya dengan kasus, dikorek sampai ke akar-akarnya. Ternyata sikap kepo masyaarakat pada gilirannya justru
efektif dalam menggugah lembaga yang kelelahan atau malas bekerja dalam menertibkan pejabat korup di pemerintahan.
Dalam kasus Sambo, rekayasa institusi yang dilakukan untuk menutupi kasus akhirnya terbuka, sehingga presiden meminta pimpinan tertinggi institusi yang coba melindungi Sambo, melalukan tindakan tegas. Hasilnya, banyak yang dihukum dan kehilangan jabatan penting.
Dalam kasus Mario, pemberitaan terus-menerus terhadap keluarganya — termasuk gaya hidupnya yang mewah — akhirnya membuat Menteri Keuangan membuat keputusan membebastugaskan ayah Mario yang bekerja di Dirjen Pajak. Klub moge milik pegawai pajak pun diminta bubar, dan kekayaan karyawan pajak diperiksa.
Soal gaya hidup mewah ayah kandung Mario itu sebenarnya sudah dinilai tidak wajar. PPATK, menurut berita sudah meminta KPK menyelidiki. Sampai kasus Marko meledak, KPK “meneng bae”.
Mengapa kasus Sambo dan Mario menjadi viral sedangkan kasus Wowon tenggelam?
Sebenarnya masyarakat sudah muak dengan gaya hidup pejabat dan orang–orang kaya yang suka sok pamer dan seenaknya dalam berlaku. Bisa juga ada unsur lain yang mengakumulasi kebencian masyarakat.
Selama ini masyarakat tidak bisa apa-apa, karena pelaku hedonis dan pelaku tidak patut adalah orang-orang berpangkat dan berduit, yang seringkali begitu mudah lolos dari jeratan hukum, karena memiliki uang dan jabatan.
Perlu diwaspadai, kecemburuan sosial sudah sangat tinggi di kalangan masyarakat yang sedang susah. Apalagi mereka tidak bisa berbuat apa-apa ketika ketidakadilan berlangsung di depan mata mereka, atau bahkan mereka mengalaminya sendiri.
Untung ada medsos. Melalui medsos masyarakat dapat mengungkapkan uneg-uneg sekaligus melakukan kontrol sosial, walau pun harus diakui, banyak yang ngawur. Overlaping.
Di jaman tak ada medsos, kemarahan orang-orang miskin, pencemburu sosial, ditumpahkan dalam tindakan kekerasan seperti dalam peristiwa Gedoran di Depok pada tahun 1945, Kasus 1998 di beberapa kota besar di Indonesia, atau Revolusi Perancis pada awal abad ke-,18 yang mampu mengubah tatanan sosial dan politik di Eropa. (herman wijaya)