Ada sebuah video di Tik Tok yang menampilkan gambaran sebuah kereta rakyat di Cina. Kereta api yang beroperasi sejak tahun 1970 itu benar-benar disediakan untuk rakyat. Tarifnya murah. Selain untuk penumpang, ada gerbong yang khusus disediakan untuk pelajar, di mana para mereka dapat belajar atau mengerjakan PR dalam perjalanan di atas kereta. Gerbong lain disediakan untuk pedagang, yang bisa menjual dagangannya untuk penumpang; lalu ada gerbong khusus untuk hewan. Penumpang yang membawa hewan bisa menaruh hewannya di situ tanpa biaya untuk hewan, hanya pemiliknya yang harus membeli tiket. Meski pun isi kereta itu bermacam-macam, tetapi penumpang tetap tertib.
Pemandangan serupa pernah terjadi di kereta api di Indonesia tahun 70-an. Ketika KA masih menggunakan lokomotif buatan Jerman yang melayani transportasi Bogor – Jakarta PP, pedagang buah, dan penumpang yang membawa beberapa ekor ayam masih diperbolehkan naik kereta. Banyak pedagang buah dari Depok, Citayam, Bojonggede, Cilebut dan sekitarnya yang membawa dagangannya ke Jakarta, untuk dijual di pasar-pasar tradisional Jakarta. Antara lain ke Pasar Rumput di Manggarai atau Pasar Boplo (sekarang di samping Stasiun Gondangdia).
Kalau keranjang buah tidak muat di dalam gerbong, pedagang mengikatnya di sangkutan besi yang ada di luar badan kereta. Sementara di dalam gerbong, pedagang kecil juga bisa menjajakan dagangannya, seperti kacang rebus, kacang tanah sangrai, jambu air, rokok, es lilin, dll. Stasiun kereta api juga dipenuhi oleh pedagang.
A. Rivai (almarhum), pembantu di PWI Sie Film dan Budaya tahun 80-an, menyebut orang yang suka bawa apa saja, dengan julukan “Kereta Api Mauk” Menurutnya Kereta Api Mauk bisa mengangkut apa saja, mulai dari penumpang, hingga keranjang berisi bagong. Saya tidak tahu apakah Kereta Api Mauk itu benar-benar ada, atau hanya cerita almarhum saja.
Kereta ekonomi dari Jakarta menuju stasiun-stasiun di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga masih dipenuhi oleh pedagang asongan. Di masa itu bisa mendapatkan tempat duduk adalah sebuah kemewahan. Bahkan toilet dan sambungan lorong dekat toilet dipenuhi penumpang. Saat itu, naik kereta ke Jawa, terutama di hari raya, sangat menyiksa. Perlu perjuangan!
Di era KRL Jabodetabek, pedagang buah yang membawa keranjang, tidak diijinkan lagi. Pedagang asongan masih boleh. Copet juga banyak. Tetapi setelah Ignasius Jonan menjadi Direktur Kereta Api, terjadi revolusi besar-besaran. Kereta hanya dikhususkan untuk penumpang. Gerbong-gerbong diberi AC sehingga terasa nyaman. Stasiun kereta api pun steril dari pedagang. Kesejahteraan karyawan kereta api ditingkatkan.
Saking pentingnya karyawan di mata perusahaan kereta, karyawan atas yang bawa mobil bisa memarkir mobilnya di area dalam stasiun, seperti di Stasiun Cikini. Sementara koridor ke luar masuk penumpang berada di luar badan stasiun, sehingga calon penumpang dan penumpang yang akan ke luar, bisa kehujanan bila ada hujan, dan kena panas bila hari panas. Dan penumpang pun harus berjalan jauh menuju pintu masuk. Tidak heran jika banyak penumpang — lelaki dan perempuan — yang melompati pagar untuk masuk stasiun.
Pedagang, masih dibolehkan, tetapi bukan pedagang asongan kumuh, melainkan pedagang-pedagang besar yang memiliki jaringan dan sudah terkenal mereknya. Kelas asongan tidak punya tempat. Apakah mereka mau dagang di gunung atau di laut, terserah. Akhirnya kebanyakan menempati pinggir jalan atau tempat-tempat publik seperti taman atau trotoar.
Jika melihat perbandingan perkeretaapian di Cina dan Indonesia, jelas negara kita tidak ada apa-apanya. Tetapi cara menghargai masyarakat (manusia), Cina jauh lebih baik. (hw)