Home / Berita / Esai

Kamis, 4 November 2021 - 08:25 WIB

Jaksa Agung Tuntut Hukuman Mati untuk Koruptor

HUKUMAN MATI

HUKUMAN MATI

Oleh HARRY TJAHJONO

Para pelaku tindak pidana mega korupsi layak was-was. Sebab, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin sedang mengkaji penerapan hukuman mati dalam penuntutan perkara dugaan tindak pidana korupsi. Utamanya kasus mega korupsi setara kasus PT Asabri yang mencapai Rp 22,78 triliun dan PT Jiwasyara sebesar Rp 16,8 triliun, misalnya.

“Selain karena menimbulkan kerugian keuangan negara, Jaksa Agung mempertimbangkan dampak luas yang diakibatkan perkara korupsi.Jaksa Agung mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan. Tentu penerapannya harus tetap memperhatikan hukum positif yang berlaku serta nilai-nilai HAM,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Kamis (28/10/2021).

Sejumlah pakar hukum, anggota DPR dan aktivis antikorupsi menyambut baik niat Jaksa Agung menerapkan hukuman mati bagi koruptor. Tapi sebagian menganggap kajian Jaksa Agung sekadar gimmick belaka.

Hukuman mati untuk koruptor, mungkin hal yang sudah lama diharapkan masyarakat luas yang sudah muak dengan perilaku korup yang massif terjadi di segala bidang. Tapi, benarkah hukuman mati merupakan pilihan yang adil dan tepat? Tidakkah hal itu hanya menggarisbawahi amsal bahwa barangsiapa memiliki kekuasaan, cenderung senang berpura-pura menjadi Tuhan? Tak terkecuali penguasa atheis sekalipun. Lebih celaka lagi jika vonis mati terjadi di dalam peradilan yang bisa jadi sesat atau disesatkan.

Sejarah mencatat sejumlah peradilan sesat di penghujung abad 19 telah mengakibatkan puluhan orang tak bersalah dieksekusi mati—seperti yang diceritakan Gerhart Hermann dalam buku Peradilan yang Sesat, terbitan Grafiti Press 1983. Bahkan peradilan sesat di Amerika Serikat yang perangkat dan penegakan hukumnya relatif tidak sekusut Indonesia, dalam kurun waktu 1990-2004 telah menyuntik mati 10 terpidana mati yang setelah dieksekusi ternyata terbukti tidak bersalah (angkatigabelas.com).

Di Indonesia, peradilan sesat dan atau disesatkan kiranya juga terjadi. Sampai sekarang.

Baca Juga  Menghidupkan Remy Sylado melalui Pementasan "Tampang Kampung Rezeki Kota"

Hapuskan Hukuman Mati

Menimbang kemungkinan terjadinya peradilan sesat, atau digunakan sebagai alat politik dan sejumlah alasan lain, maka pidana mati pun dihapuskan di Vincounsin (1859), Columbia (1864), Costa Rica( 1880), Italia (1890), Norwegia (1902), Swedia (1921), Chili (1930), Denmark (1933), New Zealand (1941), Venezuela (1949), Portugal (1976), Nicaragua (1979), Perancis (1981), Spanyol ( 1995), Equador (1995), dan Belgia (1996)—(Roeslan SalehMasalah Pidana MatiJakarta, Aksara Baru, 1978).  

Hingga Juni 2006, hanya 68 negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati, termasuk Indonesia. Sedangkan 129 negara atau lebih dari separuh jumlah Negara di dunia telah menghapus hukuman mati. (wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati).

Di Indonesia, tuntutan dihapuskannya hukuman mati mulai disuarakan pada tahun 1980, dipicu rencana rezim Orde Baru (Orba) mengeksekusi mati Kusni Kasdut—veteran pejuang yang setelah RI merdeka jadi “perampok budiman” bak Robinhood. Awalnya, disuarakan  tokoh-tokoh aktivis hak asasi manusia, kemudian menjadi gerakan masyarakat sipil bernama Aliansi Hapus Hukuman Mati (HATI). Adam Malik, Wakil Presiden RI saat itu, adalah salah satu tokoh Aliansi HATI yang mengambil risiko bertentangan dengan kebijakan resmi pemerintah. Toh, Kusni Kadut tetap dieksekusi dan sampai sekarang Indonesia masih mempraktikkan hukuman mati.

Di era reformasi, suara Aliansi HATI terbungkam seruan ormas antinarkoba, lembaga keagamaan, LSM antikorupsi, sejumlah tokoh masyarakat dan pakar hukum yang gencar menuntut agar koruptor dan penjahat narkoba dihukum mati. Bahkan Henry Yosodiningrat, advokat dan Ketua Umum GRANAT, pernah menyatroni Kejakgung guna menuntut semua terpidana mati kasus narkoba segera dieksekusi. Alasannya, antara lain, untuk menimbulkan efek jera supaya negeri ini terbebas dari jerat narkoba.

Naluri Sadistis Publik

Salah satu tujuan dipraktikkannya hukuman mati, kita tahu, supaya orang takut melakukan perbuatan yang bisa membuatnya divonis mati. Oleh karena itu, di masa silam pelaksanaan eksekusi hukuman mati dilakukan di muka umum. Dengan menyaksikan sendiri bagaimana terpidana mati digantung atau dipenggal kepalanya, diharapkan tak ada lagi orang yang berani berbuat kejahatan serupa.

Baca Juga  IPW Apresiasi Penghentian Penyidikan Aiman Witjaksono

Dalam buku Krisis Kebebasan terbitan Yayasan Obor Indonesia 1988Albert Camus menulis esai panjang yang muram dan sedih berjudul Merenungkan Gilotin (1957). 

Di Perancis, kata Camus, “Eksekusi di depan publik untuk terakhir kalinya dilakukan tahun 1939 terhadap Weidman, pelaku pembunuhan berganda yang memang dikenal keji. Sekelompok besar orang ramai berkumpul di Versailles, termasuk sejumlah juru foto. Antara saat Weidman dipertunjukkan ke hadapan orang banyak dan saat kepalanya dipenggal, orang diperbolehkan memotret. Beberapa jam kemudian Paris Soir menerbitkan satu halaman khusus tentang peristiwa yang sungguh menggugah selera itu.”

Anehnya, pemerintah menganggap publisitas yang menakjubkan itu justru menimbulkan akibat jelek dan menuduh pers mencoba memuaskan naluri sadistis para pembacanya. Akibatnya, diputuskanlah bahwa eksekusi tidak akan lagi dilakukan di hadapan orang banyak.

Padahal, lanjut Camus, “Apabila hukuman memang ditujukan untuk memberi contoh, maka tidak hanya jumlah juru foto saja yang harus ditambah, tapi peralatan hukuman juga harus dipasang di Place de la Concorde pada pukul dua siang, seluruh penduduk Perancis diundang, dan upacaranya disiarkan langsung lewat televisi. Karena suatu hukuman haruslah menimbulkan rasa takut agar benar-benar menjadi contoh. Bagaimana bisa suatu pembunuhan yang dilakukan diam-diam pada suatu malam di halaman penjara dapat disebut memiliki nilai sebagai contoh?”

Tahun 1983, dengan dalih memberantas premanisme, rezim Orba membentuk pasukan rahasia Penembak Misterius (Petrus). Hasilnya, ratusan mayat preman bertato dengan luka tembak terbungkus karung digeletakkan di tempat-tempat umum di mana orang ramai lantas berkerumun dan tercekam rasa ngeri. Pada awalnya, pemerintah menyebut mayat-mayat bertato dalam karung itu sebagai korban perang antargeng preman. 

Baca Juga  Ana de Armas Menggantikan Scarlett Johansson di Film Ghosted

Tapi, belakangan Pak Harto sendiri mengakui bahwa Petrus merupakan kebijakan pemerintah untuk sekadar memberikan “shock therapy” agar preman yang masih hidup bertobat dan Indonesia terbebas dari premanisme.

Rezim Orba, kita tahu, memang penganut faham, “Diperlukan pemandangan mengerikan agar rakyat bisa dikuasai,” yang dianjurkan Tuaut de le Bouverie, politisi Perancis abad 18 pendukung pelaksanaan eksekusi mati di depan umum.

Dalam jangka pendek, Petrus memang berhasil bikin ciut nyali para preman. Tapi, begitu rezim Orba runtuh, premanisme kembali bangkit, bahkan lebih banyak dan lebih ‘songong’ dari sebelumnya. Eksistensi dan pertarungan berdarah kelompok preman dan sejumlah preman berbaju ormas, cukup menjelaskan bahwa “shock therapy” ala Petrus terbukti bukan solusi jitu membasmi premanisme.

Pelajaran dari Tiang Gantungan

“Hukum yang haus darah”, kata Camus, “Melahirkan kebiasaan yang haus darah pula.” 

Saya pikir Camus benar. Bagi saya, urusan mencabut nyawa manusia sederhana  sajaitu sepenuhnya merupakan wewenang Tuhan, dan untuk melaksanakannya Tuhan telah menugasi Malaikat Maut. Pasalnya, barangsiapa memiliki kekuasaan cenderung senang berpura-pura menjadi Tuhan, antara lain dengan menentukan kapan, di mana dan bagaimana  seseorang mesti dicabut hak hidupnya.  

Tapi, seandainya saya atheis sekalipun, saya tetap akan mendukung dihapuskannya hukuman mati.

Sebab, seperti kata Francart  yang  dikutip Camus dalam esai Merenungkan Gilotin yang muram dan sedih itu, “Pelajaran dari tiang gantungan yang kita terima adalah, hidup manusia tidak lagi dianggap mulia ketika membunuhnya menjadi lebih berguna.” *

Share :

Baca Juga

Berita

Menhub Ingatkan Pengemudi Transportasi Online Tingkatkan Keselamatan Berkendara

Berita

PWI Pusat Copot Andi Gino, Marganas Nainggolan Ditunjuk sebagai Plt Ketua PWI Kepri

Esai

Orang Film
Bandara Kertajati

Berita

Bandara Kertajati, Pengembangan Angkutan Kargo dan Pemeliharaan Pesawat
Nigeria

Berita

Museum Nasional Seni Afrika di Washington Mulai Kembalikan Perunggu Benin ke Nigeria
Wagiman Deep

Esai

Wawancanda Wagiman Deep: “Istri Ngomelin Suami Bikin Trauma Seumur Hidup”

Berita

Kolonel Edward Shames, Anggota Terakhir ‘Band Of Brother’ Tutup Usia. Curraheee….!

Berita

Gibran Anak Ratu Petruk