Defacto – Pemerintah Indonesia saat ini sedang berjuang untuk mempertahankan haknya, menangani hilirisasi tambang nikel yang coba diatur oleh negara-negara barat (Eropa). Nikel adalah bahan logam yang banyak digunakan dalam pembuatan berbagai produk industri. Mulai dari industri otomotif, elektronik, hingga digunakan di bidang militer, ruang angkasa dan kelautan.
Kebijakan Presiden Joko Widodo untuk menghentikan ekspor bijih nikel ke Uni Eropa sejak tahun 2020 hingga sekarang, ditentang negara-negara Eropa. Eropa menginginkan Indonesia mengekspor bijih nikel mentah, sedangkan Indonesia mau mengolahnya lebih dulu di Indonesia, untuk mendapatkan nilai tambah. Berdasarkan data BPS tanggal 18 September 2022, nilai ekspor komoditas turunan nikel meningkat 263 persen dari
USD3,40 miliar pada tahun 2019 menjadi
USD12,35 miliar pada semester I tahun 2022. Nilainya akan lebih besar lagi jika Indonesia memiliki smelter.
Eropa keberatan, karena itu akan membuat biaya impor mereka lebih besar.
Uni Eropa lalu mengugat Indonesia melalui World Trade Organization (WTO) pada awal tahun 2021. Indonesia kalah. Saat ini sedang mengajukan banding.
Tindakan Uni Eropa membawa sengketa nikel ke WTO terdengar lucu, sekaligus membuat geram. Indonesia yang punya barang, tapi dipaksa jual murah ke mereka. Indonesia ibarat petani singkong yang hanya boleh menjual singkongnya saja, tidak boleh membuat tape, getuk, atau tepung tapioka.
Keberanian Uni Eropa membawa sengketa ke WTO, karena memandang Indonesia lemah. Ketika Rusia menyetop ekspor gasnya ke Eropa, negara-negara Uni Eropa tidak membawanya ke WTO. Karena itu akan sia-sia. Sanksi ekonomi mereka saja terhadap Rusia, tak terlalu berpengaruh.
Pemerintah Rusia memang sudah menjalankan proses penarikan secara sepihak dari serangkaian keanggotaan dari badan internasional. Rusia akan keluar dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Kami memiliki pekerjaan untuk merevisi kewajiban internasional kami, perjanjian yang hari ini tidak membawa manfaat, tetapi secara langsung merugikan negara kami. Kementerian Luar Negeri mengirim daftar perjanjian tersebut ke Duma Negara,” kata Tolstoy, dikutip dari Politico, Kamis (19/5/2022).
Saat berpidato di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Peringatan 45 Tahun ASEAN-Uni Eropa di Gedung Europa, Brussels, Rabu (14/11/2022), Presiden Joko Widodo mengatakan terus terang, agar kemitraan yang dibangun harus setara. Jangan karena merasa standar Eropa lebih baik, Eropa bisa menekan Indonesia seenaknya.
Presiden Joko Widodo bersama pemerintahannya nampak berjuang sendiri menghadapi Uni Eropa yang coba menerapkan imperialisme baru. Tidak terdengar dukungan dari kalangan politisi atau tokoh-tokoh Indonesia yang biasanya garang di dalam negeri. Kalangan mahasiswa yang suka demo — meski kadang tidak paham tujuan demo — tidak terusik sama sekali dengan gaya imperialis Uni Eropa dalam sengketa nikel. Mungkin mahasiswa juga tidak paham hal ini.
Seorang pemimpin yang memperjuangkan nasib rakyatnya memang seringkali tidak populer di mata rakyatnya. Apalagi ketika “invicible hand” asing mulai bermain, serangan terhadap pemerintah makin gencar.
Khadafi, pemimpin yang berhasil menaikkan taraf hidup bangsa Libya, melawan barat untuk menjaga martabat bangsanya, justru dibunuh oleh rakyatnya sendiri, setelah kediamannya dibombardir oleh jet-jet NATO.
Kini Lybia porak-poranda. Pertikaian antarfaksi terus terjadi. Geng-geng milisi bersenjata berkeliaran. Rakyat Libya menyesal telah menghabisi Khadafi. HW