“Hari gini bikin radio? Bisa tahan enggak tuh?”
Kalimat seperti itu meluncur dari beberapa orang yang dimintai pendapatnya tentang pembuatan “Radio Bola Koaidi”, sebuah siaran radio streaming yang didirikan oleh wartawan senior Yosep Erwiyantoro (Mbah Cocomeo) dan kawan-kawan.
Kalimat bernada pesimis — terkesan melecehkan — meluncur bukan dari orang-orang sembarangan. Yang mengatakannya antara lain Rico Ceper, yang dikenal sebagai penyiar Radio, kemudian ada presenter televisi Indi Rahmawati. Setidaknya begitu pengakuan pemberi komentar melalui audio, yang diperdengarkan saat peluncuran Radio Bola Koaidi, di Kandang Ayam, Senin (1/4/2024) malam.
“Kandang Ayam” adalah sebuah paviliun di Jl. Daksinapati Raya, Komplek UNJ Rawamangun, Jakarta. Tempat yang sehari-hari digunakan untuk berbagai kegiatan oleh Mbah Coco dan kawan-kawan. Dari tempat itulah, “Wartawan Bodrex” senior ini meluncurkan ide-idenya, terutama yang terkait dengan sepakbola, musik dan penerbitan buku.
Meskipun usianya sudah tak muda lagi, bahkan pernah dua kali terserang stroke, Mbah Coco tak mau menyerah. Apalagi sekarang sudah kembali bugar dan tetap menghabiskan 3 bungkus rokok Dji Sam Soe per hari. Sama dengan kebiasaan Aidit di film “Penghianatan G 30 S / PKI” karya sineas Arifin C. Noor.
Radio Bola Koaidi adalah mainan baru Mbah Coco. Radio ini bisa didengar dengan membuka website bernama www.radiobola.co.id. Acara dihadiri oleh seluruh pendiri radio. Selain Mbah Coco pendiri lainnya adalah Febrira Galib (Ipep), mantan penyiar Classic Rock FM; Mantan pengurus PSS Sleman Fatih Chabanto, Bois “Famous Maker”, Ahli IT Jeffry Aldiansyah dan Uud “Asalgoblek” Padmanto. Hadir pula konsultan radio, Yudhi Buster “Radio Most FM Jakarta” dan pendiri Radio Pensiunan Eddi Koko.
Sejumlah seniman musik dan wartawan juga datang ke acara peluncuran Radio Bola Koaidi ini. Di antaranya seniman dan penulis Harry Tjahyono, gitaris Toto Tewel, vokalis dan bassis grup musik De Paspal, Doni Winardi dan Edu Krenandefa; gitaris muda Krisna Trias, Kedua calon Ketua PWI Cabang Jakarta, Kesit Budi Handoyo dan Iqbal Irsyad; wartawan senior Rajapane, TB Adhi, Yon Moeis dan Isson Khairul, Ketua Umum Forwan Sutrisno Buyil, Ketua Masyarakat Sepakbola Indonesia Sarman El Hakim, sejumlah wartawan olahraga dan hiburan, serta undangan lainnya.
“Buat saya yang lama menjadi wartawan media cetak, juga pernah membidani lahirnya acara olahraga d televisi, Planet Footbal yang sampai hari ini masih ada, radio adalah mainan baru yang sangat menarik. Kebetulan ini Radio streaming yang bisa didengar di seluruh dunia, asal punya internet. Jadi saya bisa berkreasi mengeluarkan ide apa saja di sini,” kata Mbah Coco ketika membuka acara.
Meskipun jangkauannya bisa ke seluruh dunia, membangun radio streaming ternyata tidak membutuhkan biaya besar seperti membangun Radio konvensional. Radio lama menjadi mahal karena harus membangun menara pemancar dan daya listrik yang besar. Untuk radio streaming tidak butuh itu lagi. Listriknya bisa pakai token saja.
“Memang banyak Radio konvensional yang sudah tutup. Tetapi radio streaming bertambah terus jumlahnya di seluruh dunia. Buat saya radio ke depan akan terus hidup. Kenapa radio lama tutup, karena maintenancenya mahal. Biaya listriknya saja puluhan juta. Berat mengelola radio sekarang. Tetapi ke depan, radio streaming akan tetap hidup. Pada tahun 2029 radio streaming akan merajalela,” kata Eddi Koko.
Mendirikan radio boleh jadi impian lama bagi Mbah Coco, dan nostalgia bagi pendiri lainnya. Karena pada jamannya, radio memang jadi alat hiburan menarik bagi masyarakat, terutama di kalangan generasi baby boomers.
Namun masuknya teknologi internet, kejayaan radio-radio konvensional juga tergilas. Meskipun masih banyak stasiun radio yang bertahan, tetapi sebagai entitas bisnis, sudah tidak menarik lagi. Sama seperti media cetak, dan akan menyusul siaran televisi.
Tetapi kemajuan internet juga menjadi blessing in disguise bagi mereka yang masih produktif, dan menyiasati kemajuan jaman. Maka lahirlah siaran-siaran streaming baik televisi maupun radio, platform-platform digital atau berbagai media masa elektronik. Di situlah Radio Bola Koaidi masuk.
Tetapi mengapa namanya Radio Bola Koaidi?
“Awalnya kita ingin memakai nama radiobola.com. Tetapi setelah mempertimbangkan berbagai aspek, akhirnya diputuskan memakai dot co do aidi. Ini lebih eksklusif, tidak ada yang bisa memiliki lagi. Supaya enak diucapkan, maka dot co dot aidi, kita Indonesiakan menjadi koadi,” kata Febrira Galib (Ipep).
Kata Bola yang menyimpul di tengah-tengah, karena isi siaran radio ini selain musik, akan membahas, mereportse, wawancara dan lain sebagainya tentang dunia sepakbola. Sepakbola adalah bidang liputan yang digeluti Mbah Cocomeo, sebelum jadi wartawan Bodrex. (hw)