21. JALAN HIDUP
SAYA ingin minum. Mulut saya terasa kering karena terlalu banyak mengisap rokok. Tapi, minuman hanya ada di ruang tamu. Apa boleh buat, saya terpaksa menahan kehausan. Dan terus merokok.
“Maaf…, Mas sudah menikah berapa lama?” tanya Bu Susan.
“Bulan depan sudah 45 tahun. Anak saya tiga, laki-laki semua. Dua sudah berumah tangga. Cucu saya enam. Sekarang saya tinggal dengan istri saya dan anak bungsu yang belum menikah,” jawab saya lengkap, dengan maksud mengunci pertanyaan basa-basi yang biasanya muncul beruntun dalam percakapan seperti ini.
“Oya? Hampir 45 tahun? Pasti pernikahan yang bahagia,” gumam Bu Susan.
“Saya pikir iya. Kalau tidak, pasti tidak dapat sampai 45 tahun,” jawab saya enteng.
“Betul. Pernikahan saya, paling lama tujuh tahun. Yang kedua, ketiga, keempat lebih pendek lagi, masing-masing kurang dari lima tahun. Perkawinan kedua hanya berlangsung dua tahun. Saya putuskan bercerai setelah mengalami KDRT. Semua perkawinan saya memberikan satu anak, dan semuanya dibawa suami,” kata Bu Susan, kemudian menarik napas lumayan dalam.
Saya menatap wajah Bu Susan yang sedang menerawangi tikungan jalan. Dan saya kembali memuji sisa-sisa kecantikan yang membekas di wajahnya. Raut mukanya agak terkesan keras, mungkin karena pernah terlalu lama bergulat di jalan hidupnya yang rumit. Tapi, saya menyangka, Bu Susan ini sebenarnya orang yang enak diajak bicara.
“Sebetulnya saya ingin cerita banyak pada Mas. Nanti saja, lain waktu, kalau Mas ke sini lagi. Saya ingin ada yang mau mendengar cerita saya. Di rumah ini, saya hanya bisa bicara dengan Mas Ar. Saya ini psikolog, Mas. Saya dulu bekerja di personalia, HRD perusahaan cukup besar. Saya dapat berdialog dengan banyak orang. Berhasil membantu menyelesaikan masalah orang lain. Tapi, saya gagal berdialog dengan diri sendiri….”
“Bu Susan psikolog?”
Bu Susan mengangguk. “Saya lulusan fakultas psikologi universitas terkemuka. Tidak usah saya sebutkan namanya. Saya profesional terhadap orang lain, tapi tidak mampu bersikap objektif terhadap jalan hidup saya sendiri….”
Saya terdiam, mengisap rokok dalam-dalam dan membuang puntungnya ke luar pagar. Saya tidak terlalu memahami ucapan Bu Susan. Profesional objektif, saya kira hal yang tidak bisa sekali didengar. Saya menyalakan rokok baru.
“Saya sudah empat kali kawin cerai. Dan sekarang, di umur 70 tahun ini, saya merasa butuh teman hidup. Saya inginkan teman hidup yang setia, yang seperti Mas Ar…”
Saya tersedak asap rokok. Agak kaget. Saya langsung terpikir pada kekhawatiran Mas Tom pada Mas Ar. ***