FX Rudy adalah kader setiap PDI Perjuangan. Ia pernah menjabat sebagai Walikota Solo pada 2005 – 2012 mendampingi Ir. Joko Widodo atau Jokowi. Setelah Jokowi menjadi gubernur DKI Jakarta FX Rudy menjabat sebagai walikota Surakarta antara 2012 dan 2015 serta 2016 tingkat 202.

FX Rudy pulalah yang mengusulkan kepada PDIP Perjuangan untuk mengusung Jokowi sebagai Calon Presiden RI.
Setelah menjabat sebagai walikota kembali dalam kehidupan sebagai rakyat biasa. Sehari-hari kesibukannya mengantar cucu sekolah atau sibuk di bengkel Ias. Ia juga kerap mendidik orang-orang yang ingin belajar las.
Dalam keseharian, tidak terkesan ia pernah menjadi orang nomor satu di Surakarta. Penampilannya apa adanya. Kerap bercelana pendek dan memakai sandal jepit.

Sebagai kader partai Ia tetap loyal dan ingin memberikan yang terbaik untuk partainya.
Namun demikian tidak jarang yang berbeda pendapat dengan kader partai lainnya yang merasa mendapat mandat lebih besar dari partai. Salah satunya dengan Ketua PDI DPP Jawa Tengah yang kini menjadi Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Riyanto alias Bambang Pacul. Masalahnya Rudy terang-terangan mendukung Gubernur Jawa Tengah Ganjar pranowo, untuk calonkan diri menjadi presiden RI tahun 2024.
Akhir Juli 2021 lalu Herman Wijaya dari deFACTO bersama beberapa jurnalis dari Komunitas Kandang Ayam Rawamangun, menemui FX Rudy di rumahnya, di Pucangsawit Solo yang berada di tepian Bengawan Solo. Kami mewawancarai di tepi sungai Bengawan Solo yang kini telah disulapnya menjadi taman bernama “Sunan Jogokali”. Taman itu terbuka untuk masyarakat.
Berikut wawancaranya.
Jadi apa saja kegiatan Anda setelah tidak jadi Walikota?
Setiap pagi saya bangun pukul setengah empat pagi, lalu pukul empat keluar rumah untuk melihat-lihat keadaan. Setengah enam sampai rumah, istirahat sebentar, mandi, lalu ngantar cucu ke sekolah…Nanti cek pekerjaan, Begitu aja..
Tidak merasa kehilangan setelah berhenti jadi Walikota?
Oh kalau itu sebelum jadi walikota saya sudah berpikir, bahwa yang namanya derajat, pangkat itu hanya sambilan. Harta hanya titipan, nyawa itu hanya pinjaman. Itu yang menjadi komitmen saya.
Jadi sejak saya jadi wakil sampai jadi walikota, harus punya prinsip, punya sikap dan punya komitmen. Prinsip untuk berjuang meraih sebuah kekuasaan, sikapnya melayani, dan komitmennya menyejahterakan rakyat.
Setelah selesai dari Walikota saya tidak pernah merasa malu jadi tukang las, menata pinggir Bengawan Solo. Dan ini untuk masyarakat banyak, saya tidak mengambil untung apapun, Ini biaya sendiri sendiri, sebagian saya gunakan barang bekas. Dan ini sekarang ini mencari tempat yang bukan wisata ya, ya menjadi tempat tujuan lah tujuan untuk masyarakat melakukan berbagai kegiatan.
Kegiatan sehari-hari ya antar-jemput cucu, ngajarain orang ngelas, agar bisa mencari nafkah sendiri, sehingga hidup ini harus bermanfaat bagi orang lain.
Mengapa harus menjadi tukang las?
Ya sebetulnya saya hanya ingin mengambil makna dari pada ngelas itu sendiri. Saya kepingin menyatukan dua benda yang keras ini menjadi satu. Indonesia ini kan harus disatukan lah jangan sampai semua ada yang keras-keras. Kalau jadi satu menjadi lunak. Saya mengambil ilmu dari aljabar dulu, kalau plus kali min akan jadi min, min kali min akan jadi plus.
Ngelas itu menyatukan dua benda yang keras menjadi satu untuk membangun Solo, membangun Indonesia.
Sudah berapa banyak orang yang Anda didik jadi tukang las?
Oh Ya lumayanlah. Yang tadinya tukang batu bisa ngelas membuat pagar, membuat pintu halaman. Siapa yang mau belajar saya berikan mesin dan alatnya?
Ilmu ngelas itu dari mana?
Wah saya jadi buruh 23 tahun, di Konimex. Karena dulu enggak ada yang bisa ngelas. Waktu itu saya ditanya oleh manajer, bisa ngelas enggak? Saya bilang bisa. Ya ngelas seminggu mata saya jeles dulu, kalau tidur mata saya mbrebes mili (ke luar air mata) dan mata seperti kena pasir. Namun setelah seminggu saya bisa ngelas, sampai sekarang.
Waktu itu ngaku bisa karena memang bisa atau cuma ngomong saja?
Iya kalau saya mana sih pekerjaan yang nggak bisa? Ya belajar dulu! Kalau mau bisa ya harus belajar dulu. Belajar seminggu saya. Mesin bubut juga sama, belajar satu minggu buka manualbooknya saja, bisa. Milling, itu di Konimex semua, ilmu yang saya dapatkan.
Dari Konimex kok ujug-ujug ke PDIP?
Lha kalau PDI sejak tahun 1977 saya sudah di PDI segilima kok. Tahu 82 sudah jadi pengurus di tingkat Kelurahan, 87 saya menjadi Sekretaris Komcad, 98 jadi Ketua PAC, tahun 2000 jadi Ketua DPC sampai sekarang. Dan saya belum pernah menjadi anggota partai lain. PDI terus, lalu ke PDI Perjuangan sampai sekarang, ndak pernah berpindah ke mana-mana.
Dulu kalau rapat kita rapat ditungguin Babinsa, Babinkamtibmas. Jaman PDI segilima kalau rapat hanya 8 – 15 orang. Namun tujuan utamanya bagaimana untuk menunjukkan bahwa PDIP masih ada.
Kemudian digempur Orde Baru, di masa reformasi berubah jadi PDI Perjuangan. Tetapi balik lagi: Ketika PDI ibaratnya orang berdiri aja susah, setelah diberi kemenangan berlari tak mau berhenti. Akhirnya banyak yang terjerat korupsi.
Ini yang yang harus jadi pengalaman hidup dan pengalaman berorganisasi. Jadi perjuangan itu adalah sesuatu yang harus kita capai untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk diri sendiri. (Bersambung)