Home / Olahraga & Hiburan

Jumat, 21 Februari 2025 - 12:53 WIB

Film Berlatar Budaya Tionghoa Pasca Reformasi

Jakarta, Defacto – Adakah film Indonesia berlatar budaya Tionghoa pasca reformasi? Ternyata lumayan banyak jumlahnya meskipun bisa dihitung dengan jari tangan. Genrenya pun macam-macam, mulai dari drama, horor hingga komedi.

Film terbaru ada “Pernikahan Arwah (The Butterfly House)” karya sutradara Paul Agusta yang bakal tayang 27 Februari mendatang. Paul menyebut sejak lama dia ingin membuat film dengan latar budaya Tionghoa. Dia berharap film ini bisa memantik insan film lainnya untuk mengeksplorasi gagasan baru, terutama karena budaya Indonesia yang sungguh beragam.

Dikemas dalam genre horor, Paul mengangkat unsur budaya peranakan Tionghoa yang kental dalam desain produksinya. Dia memastikan representasi budaya dalam filmnya tetap akurat. Untuk itu dia melakukan riset agar proyeknya terasa otentik ketika menampilkan tradisi, busana, scoring, hingga propertinya

“Kami melakukan banyak riset untuk membantu dan memastikan juga detailnya seakurat mungkin,” kata Paul kepada wartawan di Epicentrum XXI, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (20/2).

Diproduksi oleh Entelekey Media Indonesia dan Relate Films, “Pernikahan Arwah” dibintangi oleh Morgan Oey, Zulfa Maharani, Jourdy Pranata, Brigitta Cynthia, Puty Sjahrul, Amagerald, Alam Setiawan, Verdi Solaiman, hingga Bonita.

Baca Juga  Anggota DPRD Kota Bogor Sugeng Teguh Santoso, Berkah Kalau di-PAW

Filmnya berkisah tentang pasangan calon suami istri, Salim dan Tasya, yang memindahkan proses foto pre-wedding mereka ke rumah keluarga Salim. Ternyata Salim harus mengurus pemakaman bibinya dan melakukan ritual di sana. Ternyata kehadiran orang baru di rumah itu membuat arwah leluhur muncul dan mulai meneror.

Bagaimana dengan film berlatar budaya Tionghoa lainnya? Berikut ini beberapa di antaranya.

“Ca Bau Kan” (2002) – Nia Dinata
Adaptasi novel Remy Sylado, menampilkan drama romantis antara perempuan pribumi, Tinung (Lola Amaria) dengan Tionghoa perantauan di zaman kolonial. Cerita cinta tiga zaman hingga pasca kemerdekaan di tahun 1960-an. Sebuah perjuangan identitas, cinta yang terhalang norma sosial, plus pergolakan di era kolonial. Endingnya yang pahit menjadi gambaran nasib banyak perempuan yang terjadi di masa itu.

“Gie” (2005) – Riri Riza
Kisah drama biopik tentang aktivis mahasiswa Tionghoa-Indonesia yang legendari, Soe Hok Gie, dalam perjuangannya melawan ketidakadilan. Sebuah cerita yang mengacu dari buku “Catatan Harian Seorang Demonstran”, kumpulan catatan harian Gie. Digambarkan bagaimana anak bangsa dari etnis minoritas yang mencintai negaranya dan berjuang melawan kezaliman.

Baca Juga  Rekaman Kekejaman Penumpasan Orang-Orang Merah dalam "Tuhan Menangis Terluka" karya Martin Aleida

“Karma” (2008) – Alan Lunardi
Sebuah film horor psikologis Indonesia dengan nuansa mistis. Kisahnya menampilkan dengan unsur kepercayaan reinkarnasi dalam budaya Tionghoa di Indonesia. Banyak dialog dalam Bahasa Mandarin dan penggunaan simbol-simbol yang menambah aura mistis yang ada di dalamnya.

“Ngenest” (2015) & “Cek Toko Sebelah” (2016) – Ernest Prakasa
Dua kisah yang jujur dan kadang personal dari Ernest Prakasa. “Ngenest” adalah adaptasi dari buku Ernest yang mengangkat pengalamannya ketika tumbuh sebagai minoritas Tionghoa di Indonesia dan realitas yang dihadapi. Bisa dibilang biopik dengan bumbu komedi. Satunya lagi sebuah realitas keluarga etnis Tionghoa yang mengalami konflik dalam menjalankan bisnis toko. Bagaimana ketika si anak mulai dewasa dan kuliah yang bagus namun berakhir kerja di toko milik keluarganya sendiri.

Baca Juga  TPF PEN Film: Sejumlah Kurator Kerja Fiktif

“A Man Called Ahok” (2018) – Putrama Tuta
Ada lagi film biopik. Kali ini profil politisi yang sedang moncer di masanya, yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ketika itu dia sedang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sutradara menampilkan kisah masa kecil Ahok di Belitung yang kental dengan budaya Tionghoa dan memelihara budaya Konfusianisme. Di sini penonton diajak melihat bagaimana keluarganya membentuk karakter seperti yang kita lihat saat ini.

“Susi Susanti: Love All” (2019) – Sim F.
Lagi-lagi drama biopic, kali ini tentang pahlawan bulu tangkis Indonesia Susi Susanti. Bagaimana dinamika sebagai perempuan yang berasal dari keluarga Chindo yang berjuang sejak usia remaja. Puncaknya dia mampu mengharumkan nama bangsa dengan meraih emas pertama di arena Olimpiade. Setelah sejauh itu ternyata dia masih juga harus mengalami diskriminasi. Serupa halnya seperti yang dialami oleh etnis Tionghoa lainnya di negaranya. (*/BB)

Share :

Baca Juga

Olahraga & Hiburan

Heru Pujihartono Calon Tunggal Ketua PGSI Jakarta

Olahraga & Hiburan

3 Pemain Naturalisasi akan Perkuat Timnas dalam Uji Coba ke Turki

Olahraga & Hiburan

Terkenal dan Berduit, Syarat Jadi Ketua PARFI Daerah! (Bagian II)

Olahraga & Hiburan

10 Film Indonesia Box Office Paruh Awal 2024: Genre Horor Masih Merajai
Ana de Armas

Berita

Ana de Armas Menggantikan Scarlett Johansson di Film Ghosted
Mayangsari

Esai

INSTAGRACE: Keseharian Cinta Bambang Trihatmojo dan Mayangsari
Tom Cruise

Olahraga & Hiburan

Paramount Kembali Tunda Jadwal Tayang “Mission: Impossible 7 dan 8” Selama Satu Tahun

Olahraga & Hiburan

Dunia Musik Indonesia Masih Memiliki Harapan