Laksamana Sukardi
Kita harus menghela nafas ketika mengetahui terkuaknya kasus korupsi multi trilyun rupiah bagaikan angin putting beliung yang datang dan pergi memporak porandakan ekonomi dan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Ibarat ahli hipnotis dan ahli sulap, sirep dengan kata kata abrakadabra dan sim salabim, maka dana dengan mudah lenyap. Bukan digrogoti tikus tetapi lenyap semuanya, tersisa sedikit, oleh para pesulap yang mampu menghipnotis semua orang.
Kasus BTS di Menkominfo yang raib 80% dan kasus Waskita Karya yang menggunakan dokumen fiktif, ditambah lagi dengan kasus TPPU di Dirjen Pajak, Koperasi Indo Surya, Asuransi Jiwasraya dan Asabri semuanya berskala puluhan trilyun dengan mudah bisa menguap. Begitu mudah (atau memang dipermudah) seolah olah rumah tidak ada pagar dan kunci rumah diserahkan kepada maling oleh penjaga rumah. Hakim Agung ikut ikutan tertangkap. Penegak hukum pun tunduk kepada penguasa politik.
Seorang Profesor Hukum senior di Indonesia mengatakan kepada saya, sangat sulit bagi pejabat penyelenggara negara untuk selamat dalam sistim yang berlaku sekarang ini. Ibaratnya seperti judul film lawas “Bernafas Dalam Lumpur.” Mustahil untuk tidak menelan lumpur!
Mereka bekerja dikungkungi oleh predator penguasa politik yang seperti kelompok hewan hyena yang sedang fokus mengamati mangsa, meminta jatah atau memberikan rekomendasi kontraktor, pemasok sekaligus memberikan ancaman yang mematikan.
Para pejabat penyelenggara negara tidak bisa bekerja independen dan profesional, mereka terus menerus diganggu oleh para penguasa politik. Akhirnya demi karir dan jabatan, mereka turut berkolaborasi dan sekaligus menjelma menjadi predator, karena sebagian besar dari mereka diangkat dan ditugaskan untuk memperlancar misi para penguasa politik tersebut.
Penemuan dan proses hukum kasus mega korupsi yang banyak tersebut dapat dianggap sebagai sebuah kesuksesan, apalagi Menko Polhukam Mahfud MD sebagai seorang lone ranger berhasil membuat keributan, membuka paksa kotak pandora yang sebelumnya tertutup rapat.
Kesuksesan tersebut, sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai sebuah kegagalan dalam upaya pencegahan korupsi!
Kegagalan upaya pencegahan merupakan suatu keniscayaan, karena faktanya korupsi di Indonesia sangat mudah dilaksanakan karena didukung oleh sistim yang berlaku.
Para kader penguasa politik, telah mengalami “Salah Asuh.” Mereka diasuh untuk melakukan kapitalisasi rente ekonomi jabatan politiknya dengan takaran uang yang sebanyak banyaknya. Seorang pengusaha konglomerat pernah berujar kepada saya:”Semua pejabat ada price tag nya.”
Sedangkan “Salah Tata Kelola” dalam sistim penyelenggaraan pembangunan negara dibiarkan untuk memudahkan terjadinya penjarahan secara masif. Semudah mengatakan Sim Salabim dan Abrakadabra!
Dengan kondisi tersebut, dapat dikatakan mega korupsi trilyunan sim salabim, adakadabra, akan terus terjadi walaupun ada seratus orang seperti Mahfud MD. Kecuali kita mampu merubah sistim yang ada. Tidak hanya mampu, tapi niat atau tidak?
Benturan kepentingan yang masif.
Yang harus dirubah adalah “Salah Tata Kelola” yang membiarkan terjadinya benturan kepentingan berskala besar. Yaitu para penguasa, politikus (kader Parpol) dibiarkan terlibat dalam kegiatan bisnis dan makelar bisnis. Sementara itu para pedagang dibiarkan menjadi pejabat penyelenggara negara. Mereka diperbolehkan berusaha secara langsung maupun tidak langsung dengan mendukung perusahaan terafiliasi dan memberikan endorsement atau rekomendasi dalam keikutsertaan menjadi rekanan proyek pemerintah.
Fungsi regulator, pengawas dan pedagang telah bercampur baur tanpa diiringi rasa bersalah.
Dalam dunia perbankan, untuk mencegah tindakan pencucian uang diterapkan sistim Politically Exposed Person (PEP), yang mengharuskan bank melakukan penyelidikan mendalam terhadap calon nasabah yang pernah atau masih berpredikat politikus atau pejabat negara.
Didalam sistim pasar modal juga dikenal dengan pencegahan adanya “Pihak Terafiliasi” agar tidak terjadi benturan kepentingan dalam pengelolaan investasi dana masyarakat dipasar modal, sekaligus mencegah terjadinya kongkalikong.
Oleh karena itu alangkah baiknya jika pengelolaan dana dan pelaksanaan proyek pembangunan negara yang menggunakan APBN mengadopsi Tata Kelola Yang Baik, yaitu dengan menerapkan sistim yang melarang para politisi menjadi pengusaha baik secara langsung maupun tidak langsung. Politically Exposed Person dapat diganti dengan Politically Exposed Company guna mencegah adanya afiliasi perusahaan peserta tender atau kontraktor dengan orang orang yang memilik jabatan politik (partai politik) atau penyelenggara negara, baik langsung maupun melalui saudara dan handai taulan.
Jabatan politik penyelenggara negara dan elit politik harus dipisah jauh dari pekerjaan sebagai pengusaha (pedagang) dan sebaliknya para pengusaha tidak dijadikan pejabat penyelenggara negara. Dengan demikian tidak akan terjadi lagi korupsi multi trilyun sim salabim adakadabra dan konspirasi korupsi yang sangat mudah dan berkelanjutan.
Peraturan tersebut harus disertai dengan sangsi yang sama untuk semua yang terlibat. Tidak boleh ada perlakuan berbeda. Apalagi hukum disalah tafsirkan untuk membela penguasa politik.
Jika hal ini terjadi, maka akan timbul kesenjangan sosial, ekonomi dan politik yang membuat kemarahan rakyat dan meruntuhkan sendi sendi kehidupan bangsa dan negara.
Oleh karena itu, keadilan harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh, Fiat Justitia et Pereat Mundus.*