Jakarta, Defacto – “Mencintai Indonesia”, adalah tema yang diangkat dalam event launching Program baru DAAI Tivi, yang dikemas dalam ramah tamah dan diskusi budaya yang menampilkan narasumber Riri Riza dan Yoyo Yogasmara, serta dipandu oleh moderator Donny de Kezer, Selasa (27/8/2024).
Acara ini dihadiri oleh perwakilan komunitas dan kampus-kampus di Jakarta ini, dibuka dengan menyanyikan Indonesia Raya dan penampilan Maegan, murid Sekolah SMK Cinta Kasih Tzu Chi yang membawakan petikan alat musik khas Dayak, yaitu sape atau sampek. Penampilan Maegan yang memukau, dimeriahkan dengan dua penari orang penari dari Dayak.
Edy Wiranto, Direktur Utama DAAI TV dalam sambutannya mengatakan bahwa acara ini diharapkan bisa mengajak setiap orang untuk menggali dan memahami kekayaan budaya Indonesia. “Ada begitu banyak komunitas adat di Indonesia yang mempunyai nilai-nilai kearifan lokal bagaimana mereka memperlakukan alam dan sesama. Dengan dokumentasi visual yang dilakukan oleh DAAI TV, kami berharap akan semakin banyak masyarakat kita yang mengetahui dan bisa bersama-sama menyebarkan kecintaan terhadap nilai budaya dan tradisi Indonesia”.
Pendokumentasian cara hidup dan nilai kearifan lokal masyarakat adat di Indonesia dalam seri dokumenter ‘Pelindung Alam’ diharapkan bisa menjadi warisan visual yang bisa terus disaksikan dari generasi ke generasi.
Film ini selanjutnya juga akan diputarkan di kampus-kampus atau komunitas anak muda, sebagai Upaya agar semakin banyak generasi muda yang terpapar dan mengetahui kekayaan budaya Indonesia. “Karya film dokumenter Pelindung Alam ini adalah kontribusi DAAI TV untuk mendukung upaya pelestarian budaya dan nilai-nilai kearifan lokal Indonesia”, pungkas Edy Wiranto, Board of Director DAAI TV.
Sementara itu dalam diskusi budaya, Yoyo Yogasmara yang akrab dipanggil Kang Yoyo, juru bicara masyarakat adat Cipta Gelar, menceritakan tentang tradisi tanam padi yang masih dilestarikan di Kampung adat Ciptagelar di lereng Gunung Halimun-Salak, Sukabumi, Jawa Barat. “Setiap warga Ciptagelar mempunyai tugas untuk menanam padi, sebagai sarana untuk menjaga alam dan generasi selanjutnya.”
Kasepuhan Ciptagelar berdiri pada tahun 1368. Kasepuhan ini berasal dari Kerajaan Pajajaran-Bogor yang diyakini oleh masyarakat adat setempat, berada di seputar Batu Tulis, Bogor. Ketika Kerajaan Pajajaran ditaklukan oleh Sultan Maulana Yusuf dari Banten, sebagian dari keturunan dari kerajaan ini memilih mengungsi ke Lebak Binong, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Selama periode yang Panjang itu komunitas Kasepuhan Ciptagelar beberapa kali berpindah tempat.
Komunitas adat Ciptagelar dikenal dengan kearifan lokalnya dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Mereka percaya pada pentingnya menjaga harmoni dengan alam dengan tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan.
Riri Riza, sutradara dan produser Indonesia, juga mengemukakan sudut pandangnya tentang bagaimana sebuah film bisa menjadi media pembelajaran dan penyebaran informasi yang efektif. “Indonesia bisa membuat karya dengan keahliannya masing-masing dan mengisi lumbung padi Indonesia dengan karya terbaiknya.”
Dalam sesi diskusi juga hadir Novi Basuki, Sekjen INTI Candra Jap, perwakilan dari Wahana Visi Indonesia dan Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain, Kurnia Setiawan.
Dalam acara ini juga ditampilkan karya desain mahasiswa Untar yang bercerita tentang keindahan alam Indonesia. “Setiap tahun, mahasiswa FSRD UNTAR menggarap tugas dengan tema menjadi Indonesia.
Mereka meriset dan menggali keunikan budaya wilayah-wilayah di Indonesia untuk dituangkan dalam desain produk yang bisa dipakai sehari-hari”, jelas Kurnia Setiawan.
Seri Dokumenter “Pelindung Alam” DAAI TV
Serial dokumenter “Pelindung Alam” menceritakan tentang bagaimana komunitas adat yang tersebar di Nusantara, masih melestarikan tradisi dan budayanya untuk hidup harmonis dengan alam.
Sebanyak 13 episode tunggal dan 1 episode kompilasi, telah rampung diproduksi. 13 Episode ini bercerita tentang kearifan local Suku Kanume di Merauke, suku Mollo di Nusa Tenggara Timur, Suku Sasak di Bayan Lombok, Suku Toraja di Sulawesi Selatan, Suku Bajo di Wakatobi Sulawesi Tenggara, Suku Nias diSumatera Utara, Suku Bali, Suku Dayak Iban, Suku Sunda Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat, Suku Haruku, Suku Kajang di Bulukumba Sulawesi Selatan, Suku Sumba Marapu Sumba Tengah dan Suku Baduy – Kabupaten Lebak, Banten.
Film seri dokumenter Pelindung Alam bisa disaksikan setiap hari Kamis, pukul 19.30 WIB di saluran televisi DAAI serta bisa juga diakses melalui Youtube @daaitvindonesia dan aplikasi DAAI+.
Acara ini dihadiri oleh perwakilan komunitas dan kampus-kampus di Jakarta ini, dibuka dengan menyanyikan Indonesia Raya dan penampilan Maegan, murid Sekolah SMK Cinta Kasih Tzu Chi yang membawakan petikan alat musik khas Dayak, yaitu sape atau sampek. Penampilan Maegan yang memukau, dimeriahkan dengan dua penari orang penari dari Dayak.
Edy Wiranto, Direktur Utama DAAI TV dalam sambutannya mengatakan bahwa acara ini diharapkan bisa mengajak setiap orang untuk menggali dan memahami kekayaan budaya Indonesia. “Ada begitu banyak komunitas adat di Indonesia yang mempunyai nilai-nilai kearifan lokal bagaimana mereka memperlakukan alam dan sesama. Dengan dokumentasi visual yang dilakukan oleh DAAI TV, kami berharap akan semakin banyak masyarakat kita yang mengetahui dan bisa bersama-sama menyebarkan kecintaan terhadap nilai budaya dan tradisi Indonesia”.
Pendokumentasian cara hidup dan nilai kearifan lokal masyarakat adat di Indonesia dalam seri dokumenter ‘Pelindung Alam’ diharapkan bisa menjadi warisan visual yang bisa terus disaksikan dari generasi ke generasi.
Film ini selanjutnya juga akan diputarkan di kampus-kampus atau komunitas anak muda, sebagai Upaya agar semakin banyak generasi muda yang terpapar dan mengetahui kekayaan budaya Indonesia. “Karya film dokumenter Pelindung Alam ini adalah kontribusi DAAI TV untuk mendukung upaya pelestarian budaya dan nilai-nilai kearifan lokal Indonesia”, pungkas Edy Wiranto, Board of Director DAAI TV.
Sementara itu dalam diskusi budaya, Yoyo Yogasmara yang akrab dipanggil Kang Yoyo, juru bicara masyarakat adat Cipta Gelar, menceritakan tentang tradisi tanam padi yang masih dilestarikan di Kampung adat Ciptagelar di lereng Gunung Halimun-Salak, Sukabumi, Jawa Barat. “Setiap warga Ciptagelar mempunyai tugas untuk menanam padi, sebagai sarana untuk menjaga alam dan generasi selanjutnya.”
Kasepuhan Ciptagelar berdiri pada tahun 1368. Kasepuhan ini berasal dari Kerajaan Pajajaran-Bogor yang diyakini oleh masyarakat adat setempat, berada di seputar Batu Tulis, Bogor. Ketika Kerajaan Pajajaran ditaklukan oleh Sultan Maulana Yusuf dari Banten, sebagian dari keturunan dari kerajaan ini memilih mengungsi ke Lebak Binong, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Selama periode yang Panjang itu komunitas Kasepuhan Ciptagelar beberapa kali berpindah tempat.
Komunitas adat Ciptagelar dikenal dengan kearifan lokalnya dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Mereka percaya pada pentingnya menjaga harmoni dengan alam dengan tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan.
Riri Riza, sutradara dan produser Indonesia, juga mengemukakan sudut pandangnya tentang bagaimana sebuah film bisa menjadi media pembelajaran dan penyebaran informasi yang efektif. “Indonesia bisa membuat karya dengan keahliannya masing-masing dan mengisi lumbung padi Indonesia dengan karya terbaiknya.”
Dalam sesi diskusi juga hadir Novi Basuki, Sekjen INTI Candra Jap, perwakilan dari Wahana Visi Indonesia dan Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain, Kurnia Setiawan.
Dalam acara ini juga ditampilkan karya desain mahasiswa Untar yang bercerita tentang keindahan alam Indonesia. “Setiap tahun, mahasiswa FSRD UNTAR menggarap tugas dengan tema menjadi Indonesia.
Mereka meriset dan menggali keunikan budaya wilayah-wilayah di Indonesia untuk dituangkan dalam desain produk yang bisa dipakai sehari-hari”, jelas Kurnia Setiawan.
Seri Dokumenter “Pelindung Alam” DAAI TV
Serial dokumenter “Pelindung Alam” menceritakan tentang bagaimana komunitas adat yang tersebar di Nusantara, masih melestarikan tradisi dan budayanya untuk hidup harmonis dengan alam.
Sebanyak 13 episode tunggal dan 1 episode kompilasi, telah rampung diproduksi. 13 Episode ini bercerita tentang kearifan local Suku Kanume di Merauke, suku Mollo di Nusa Tenggara Timur, Suku Sasak di Bayan Lombok, Suku Toraja di Sulawesi Selatan, Suku Bajo di Wakatobi Sulawesi Tenggara, Suku Nias diSumatera Utara, Suku Bali, Suku Dayak Iban, Suku Sunda Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat, Suku Haruku, Suku Kajang di Bulukumba Sulawesi Selatan, Suku Sumba Marapu Sumba Tengah dan Suku Baduy – Kabupaten Lebak, Banten.
Film seri dokumenter Pelindung Alam bisa disaksikan setiap hari Kamis, pukul 19.30 WIB di saluran televisi DAAI serta bisa juga diakses melalui Youtube @daaitvindonesia dan aplikasi DAAI+.
Teks Foto :
- Direksi DAAI TV Mansyur Tandiono, Edy Wiranto dan Hong Tjhin saat penampilan
- Edy Wiranto, Direktur Utama DAAI TV
- Salah satu tarian yang ditampilkan dalam acara launching