11. SAYAP IRONI
DUDUK di kursi roda, Mbak Dien tampak mulai mengantuk. Beberapa kali matanya terpejam dan lehernya tertekuk ke depan, kemudian terkejut dan tersenyum. Mas Ar bangkit berdiri, minta ijin menidurkan Mbak Dien.

“Maaf ya, saya harus merebahkan Dien. Sudah kebiasaan, tak lama setelah saya mandikan, Dien selalu tidur. Maaf saya tinggal sebentar ya…,” Mas Ar mendorong kursi roda sementara Mbak Dien sudah duduk tertidur, melintasi ruang tamu dan masuk kamar.
Mas Tom menyulut rokok. Saya juga ikutan menyalakan rokok. Tadi, kami tak enak merokok di depan Mbak Dien. Takut asap rokok membuatnya terganggu.
“Mas Ar benar-benar suami yang hebat. Bukan hanya setia, melainkan bersedia mengurus istrinya sepenuh hati dan tulus “kata saya, dan tidak peduli apakah kata-kata itu tepat untuk memuji Mas Ar.
“Ya. Saya dan teman-teman dulu mungkin cemburu pada Arham yang sama sekali tidak mau mengikuti tabiat kami. Dia selalu kami olok-olok sebagai bukan laki-laki. Kami malah pernah menyebutnya banci karena tidak pernah mau bergaul dengan perempuan. Sekarang baru saya tahu persis bahwa sikap Arham itu benar. Kesetiaan pada istrinya dibuktikannya sampai hari ini. Arham itu suami langka. Dia itu ibarat malaikat yang tetap mau berteman dengan kami yang akrab dengan setan,” kata Mas Tom.
Malaikat. Mungkin itu pengibaratan yang berlebihan. Idiom yang mengingatkan saya pada masa remaja, ketika ada teman cowok yang menolak merokok. Pastilah si cowok antirokok itu disingkirkan, setidaknya disebut malaikat dalam konotasi buruk. Betapapun setelah itu merokok menjadi kebiasaan, adiktif, dan yang tidak merokok menjadi lebih sehat daripada yang merokok. Mas Ar termasuk malaikat itu, tapi yang kemudian terbang dengan sayap ironi menjemput masa tuanya yang tragis. Ah, saya merasa gamang menempatkan hidup Mas Ar berakhir tragis. Kesetiaan, keajaiban yang hanya dimiliki malaikat, saya pikir hanya menimbulkan rasa iri, menyulut api kecemburuan, pada mereka yang hidupnya ibarat bergaul dengan setan. Saya kira begitu.
“Permisi…, Mas Arham ada?”
Saya dan Mas Tom menatap perempuan usia 70-an tahun yang muncul di depan teras. Saya, juga Mas Tom, menyaksikan gurat kecantikan yang tersisa di wajahnya. Waktu masih muda, perempuan itu pasti jelita. Wajahnya tampak lembut dan senyumnya cenderung membujuk. ***