10. RUMAH LANSIA.
DI TIKUNGAN jalan cukup besar, Rumah Lansia itu berada di bawah pohon kecik manila yang besar. Suasananya teduh dan mengesankan kuno. Sebetulnya itu rumah tua zaman kolonial, direnovasi dan mempunyai 20 kamar uang dihuni 20 lansia. Kamar di dalam, lansia perempuan. Sedangkan kamar di samping Utara dihuni lansia laki-laki. Mas Ar dan Mbak Dien tinggal di paviliun kecil dan sederhana yang menempel di tembok rumah sebelah Selatan. Satu ruang tamu, kamar, dapur, WC dan kamar mandi di dalam. Di dekatnya tumbuh pohon belimbing sayur. Halaman Rumah Lansia itu cukup luas, sekitar 600 M2. Mas Ar dan Mbak Dien sudah tinggal di paviliun itu kurang lebih selama dua tahun. Kedua anaknya yang sudah berkeluarga tinggal di Kalimantan Tengah.

Saya dan Mas Tom diterima di teras depan. Pertemuan yang menyenangkan tapi sekaligus mengharukan. Mbak Dien ikut menemui, duduk di kursi roda di samping Mas Ar. Badannya kurus, tidak bicara, hanya memandangi kami yang tidak lagi dikenalnya. Mbak Dien terus-menerus tersenyum tanpa arti. Pandang matanya kosong.
“Sudah setahun ini Dien demensia, atau alzheimer, yang meruntuhkan memori mentalnya. Itu terjadi setahun setelah saya jual rumah untuk saya bagi pada dua anak saya, dan sisanya saya pakai untuk hidup di Rumah Lansia,” kata Mas Ar.
“Jadi kamu tinggal di sini itu bayar?” tanya Mas Tom.
Saya melirik Mbak Dien yang terus tersenyum dan bola matanya kosong. Saya menunduk, menatap lantai teras yang berwarna abu-abu dan sangat bersih itu.
“Mestinya tidak harus membayar. Tapi, uang menjual rumah saya sisakan 150 juta. Yang 100 saya serahkan pada Pak Amin dan Bu Tatik, pasangan dokter pemilik Rumah Lansia ini. Yang 800 untuk kedua anak saya, yang 50 juta saya simpan untuk keperluan sehari-hari. Cukup untuk selama 10 tahun sisa usia kami,” jawab Mas Ar.
“Kenapa rumah dijual, Mas Ar? Kenapa tidak ditempati saja selamanya?” tanya saya heran.
Mas Ar tersenyum. “Awalnya saya dan Dien juga berpikir begitu. Tapi kami khawatir nanti kedua anak saya jadi repot urusan warisan. Kami ingin mati dengan tenang. Kami juga ingin memberikan sesuatu, yang terakhir kali, kepada kedua anak dan cucu. Kami merasa lega setelah itu. Tugas kami sudah selesai,” kata Mas Ar sambil tersenyum tipis.
Saya menoleh, menatap Mas Tom yang memandangi Mas Ar dengan pandangan yang sulit dimengerti. Tapi, setidaknya, saya menduga Mas Tom tidak terlalu paham dengan pemikiran Mas Ar tentang rumah dan warisan. ***