04. TITIK GENTING
SUARA detak jam dinding itu terdengar cukup jelas dalam kebisuan di ruang tamu yang kecil dan rapih ini. Saya menunggu Mas Tom bicara, ikut menyulut rokok dan memenuhi ruang tamu dengan asap yang konon menimbulkan banyak penyakit. Tapi, tanpa asap rokok, penyakit mungkin saja menyelinap dari penganan, minuman atau hal lain.
“Saya berhenti selingkuh setahun setelah anak ketiga, anak bungsu perempuan lahir. Tidak. Saya berhenti selingkuh bukan karena takut pada karma, meskipun itu pernah terpikirkan, melainkan pada saat yang sama saya mengalami peristiwa yang menempatkan saya di titik genting,” kata Mas Tom.
“Titik genting?” tanya saya tak paham.
Mas Tom mengangguk. “Ya. Titik genting. Saya bertemu dengan Mira, cinta pertama saya waktu SMP. Mira sudah menjanda lima tahun, suaminya meninggal dunia karena kecelakaan, anaknya satu, laki-laki remaja. Kami bertemu di mall, dipertemukan nasib atau entah apa. Cinta pertama yang terjadi 21 tahun silam itu tiba-tiba saja muncul lagi. Saya jadi sering mengunjunginya, menunjukkan simpati, berempati pada kesedihannya ditinggal suami, harus berjuang membiayai satu anaknya. Saya seperti tertelan dalam kehidupannya. Saya menikmati romantika cinta pertama. Saya terperosok dalam pengalaman masa lalu dan ingin merekonstruksinya. Ya… saya jatuh cinta lagi pada Mira. Saya berusaha keras meruntuhkan kesetiaan Mira pada almarhum suaminya. Dan saya berhasil melakukannya. Saya menciumnya, terbakar energi cinta pertama yang kembali menyala. Berkobar….”
Mas Tom menyedot rokok dan berulang kali menghembuskan asapnya, melepaskan segala perasaan yang memenuhi rongga dadanya. Saya juga menghembuskan asap rokok sehingga ruang tamu itu seperti berkabut. Saya tidak peduli pada asap rokok yang konon menimbulkan banyak penyakit. Ah, perselingkuhan tidak terjadi karena asap rokok. Penyakit yang timbul dari politik seks terkadang jauh lebih membahayakan. Dan cinta pertama yang sudah membusuk sekalipun dapat menimbulkan perselingkuhan sampai di titik genting.
“Setiap laki-laki, saya kira, pastilah pernah mengalami cinta pertama. Kisah cinta kekanak-kanakan tapi tentu yang paling berkesan. Sedangkan perkawinan, saya sudah menikah 21 tahun dan punya tiga anak, menempatkan saya pada posisi terasa seperti memanggul beban tanggung jawab dan kewajiban. Selama 21 tahun, dan mungkin untuk seumur hidup, saya harus bersama perempuan yang sama, yang semakin hari tambah cerewet, menjadi tua dan lain sebagainya. Pertemuan dengan Mira yang janda, tanpa saya sadari menimbulkan penilaian baru terhadap perkawinan yang sudah berlangsung 21 tahun. Itu tentu bukan lagi sekadar perselingkuhan biasa. Di titik genting itulah perkawinan saya dengan Ning menjadi guyah,” kata Mas Tom menerawang. ***