Home / Wisata & Budaya

Selasa, 12 Desember 2023 - 18:51 WIB

Bersepeda Motor Menembus Kegelapan Malam Pulau Weh (Bagian I)

Pulau Weh adalah sebuah pulau yang terletak di ujung Barat Indonesia. Pulau ini masuk ke dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ada satu kota yang sangat  terkenal, dan semua rakyat Indonesia pasti pernah menyebutnya, yakni Kota Sabang. Nama Sabang masuk dalam lirik lagu nasional, “Dari Sabang Sampai Merauke”. Dari lirik lagu itu jelas menunjukkan Sabang merupakan titik paling ujung negara Indonesia, selain Merauke di Timur, Miangas di Utara, dan Pulau Rote di Selatan.

Kota ini pernah berjaya ketika masih menjadi pelabuhan bebas. Barang-barang dari luar negeri yang sulit diperoleh di Indonesia, masuk melalui Pelabuhan Sabang, termasuk barang-barang mewah selundupan. Tahun 1985 status Sabang sebagai Pelabuhan Bebas ditutup.

Tahun 2017, bulan Februari, saya berkesempatan mengunjungi Pulau Weh, dan Kota Sabang tentunya. Saya datang ke Pulau Weh sendiri, setelah mengikuti acara sosialisasi Sensor Mandiri oleh Lembaga Sensor Film (LSF) di Kota Banda Aceh. Ini adalah perjalanan saya kedua ke Aceh. Sebelum berangkat tahun 2005, setahun setelah tsunami. Waktu itu Aceh masih berantakan. Sekarang keadaannya sudah rapi. Bangunan-bangunan yang hancur akibat diterjang tsunami, sudah tidak ada lagi.

Karena ingin mengunjungi Pulau Weh, saya minta tiket pesawat diundur sehari. Jadi saya tidak pulang bersama rombongan dari LSF.  Setelah check-out hotel pada pukul 12.00 waktu Banda Aceh, saya menitipkan koper di resepsionis, lalu naik becak bermotor (bentor) yang ada di depan hotel, ke Pelabuhan Ulee Lheue. Hanya setengah jam perjalanan dari hotel, bentor yang saya tumpangi sudah sampai di Pelabuhan Ulee Lhuee. Pelabuhan ini ternyata sepi. Hanya ada beberapa calon penumpang dan pedagang saja di sana. Jadwal kapal penyeberangan (roro ferry) ke Pelabuhan Balohan, pukul 15.00.

Baca Juga  Memparekraf Siap Berkolaborasi untuk Kembangkan Ekonomi Kreatif di Purbalingga

30 menit sebelum keberangkatan penumpang diijinkan naik ke kapal. Kapalnya cukup bagus. Bersih dan ber-AC.
Kapal berangkat sesuai jadwal. Dua jam kemudian sampai di Pelabuhan Balohan, Sabang. Suasana di Pelabuhan Balohan tidak terlalu ramai. Tidak menunjukkan tanda-tanda kejayaan pernah terjadi di sini.
Di ujung dermaga ada sebuah monumen berbentuk perahu, yang dibuat oleh seniman keturunan Cina. Monumen itu dibuat untuk mengingat peristiwa tenggelamnya sebuah kapal yang menewaskan puluhan penumpangnya.

Setelah turun dari kapal, saya mencari warung makan. Sambil makan saya menanyakan apakah ada bentor yang bisa mengantar saya ke tugu titik nol kilometer.
Bentor tidak ada, tapi ada seorang pemuda yang menawarkan motornya untuk disewa. Tarifnya Rp.150 ribu, bebas mau di bawa ke mana saja. Dan besok kalau dikembalikan, cukup dititipkan kepada pemilik warung. Saya setuju. Setelah membayar jumlah yang disepakati, pemilik motor memberikan kunci motornya.

Baca Juga  Destinasi Wisata Aceh yang Sepi

Setelah makan, saya langsung berangkat menuju tugu Nol Kilometer. Jalan di Pulau Sabang sepi. Saya hanya melihat kurang dari sepuluh kendaraan roda empat sore itu, dan beberapa buah sepeda motor. Di jalan saya sempat melihat ada beberapa ekor monyet duduk di pinggir jalan. Sepertinya monyet-monyet kelaparan yang berharap mendapat makanan dari manusia yang lewat.

Pukul 18.00  saya sampai di Tugu Nol Kilometer. Suasana juga tidak terlalu ramai. Di tempat itu saya menanyakan tempat penginapan terdekat untuk saya bermalam, kepada seseorang di sana. Dia memberikan nomor telepon pemilik penginapan di Pantai Iboih. Ada kamar kosong di sana, dan saya ditunggu malam ini.

Pukul 19.00 saya meninggalkan Tugu Nol Kilometer. Jam segitu langit masih terang di sana. Tetapi baru sekitat sepuluh menit saya mengendarai sepeda motor, keadaan sudah gelap. Celakanya lampu sepeda motor tidak terlalu terang.

Saya tetap berjalan menembus kegelapan menuju Pantai Iboih. Padahal arah ke pantai tersebut saya tidak tahu. Selama di jalan, tidak berpapasan dengan satu kendaraan pun. Baik kendaraan roda dua atau roda empat. Sambil jalan saya mencoba melihat petunjuk arah, tapi tidak kelihatan karena gelap. Sambungan internet juga tidak ada, sehingga tidak bisa menggunakan google maps.

Baca Juga  Menyebabkan Mabok

Selama perjalanan pikiran saya ke mana-mana. Bagaima kalau saya bertemu binatang buas di jalan, atau orang jahat, bahkan sampai membayangkan ketika Aceh masih dilanda konflik separatisme. Untuk menambah keberanian, saya menyanyikan lagu-lagu rohani sepanjang perjalanan. Dalam suasana begini biasanya Kidung Jemaat No.37A, “Batu Karang yang Teguh”, jadi andalan. Sialnya, dalam suasana seperti itu ada saja yang membuat jantung hampir copot. Sepotong ranting pohon kering menjuntai ke jalan. Sempat terbentur helm yang saya pakai. Suaranya lumayan keras.

Akhirnya saya sampai di sebuah tempat yang cukup terang.  Ada lampu penerangan jalan.  Meskipun terang, tidak ada orang kelihatan. Saya mengeluarkan HP dari dalam tas. Ternyata sudah ada beberapa misscall dari pemilik penginapan. Saya menelepon balik, dan memberitahukan posisi saya. Menurut dia, saya sudah kelewat jauh, harus balik lagi. Mak, saya harus kembali sambil melewati hutan yang gelap tadi. Tetapi mau tidak mau, saya harus kembali. Kali ini meskipun nyali agak ciut, saya memperlambat laju sepeda motor agar bisa melihat petunjuk arah ke Pantai Iboih. (hw/ Bersambung)

Share :

Baca Juga

Wisata & Budaya

Kemenpar Gelar FAM Trip bagi KOL India Promosikan Bali dan Lombok
Wayang kulit

Berita

Siswa SMP 2 Kabupaten Madiun Nyungging Wayang Kardus dengan Tatah Paku

Wisata & Budaya

SEABEF in Conjunction WITF 2024 Siap Digelar di Jakarta

Wisata & Budaya

Wamenparekraf : Perkuat Ekosistem Kuliner Melalui “FoodStartup Indonesia”
Nigeria

Berita

Museum Nasional Seni Afrika di Washington Mulai Kembalikan Perunggu Benin ke Nigeria

Wisata & Budaya

Ni Luh Jelantik Minta Pemerintah Turunkan Pajak Bisnis Hiburan
megalitik

Berita

Batu Megalitik di Pagaralam Terpuruk di Sawah dan Kebun Penduduk
Lima Perupa

Berita

Pameran Lukisan Datan Gingsir Sewu Warsa di Madiun Berakhir