Cerita Pendek HARRY TJAHJONO
KALAU saja bisa menangis. Kalau saja bisa menjerit. Kalau saja bisa menangis dan menjerit, ulu hati Emilia barangkali tidak terlalu ngilu. Perutnya mungkin juga tidak mendadak kembung, tiba-tiba mual, bahkan ususnya bagai terpilin sehingga sup Miso, tempura danseaweed yang belum lama ditelan kini mendesak naik mencekik leher. Maka dengan tangan gemetar Emilia meraih gelas kristal berisi air putih, lantas meneguk sedikit, sekadar membasahi rongga mulutnya yang kering dan pahit.
“Gimana, say? Kamu mengijinkan saya kawin lagi kan, say?” tanya Gulam. Lembut. Hangat. Seolah-olah sedang menawarkan sesuatu yang akan membuat Emilia bersuka-cita.
Mendengar suaminya mengulang kembali pertanyaan itu, tiba-tiba Emilia tak ingin menangis, tak ingin menjerit. Bahkan ulu hatinya tak lagi ngilu dan rasa mual di perutnya juga lenyap seketika. Pertanyaan yang berulang itu, telah membuat Emilia terbebas dari keinginan dikasihani.
“Kalau kamu ingin minta ijin menikah lagi, kenapa tidak kamu katakan di tempat lain? Kenapa harus mengajak saya makan malam di sini? Apa kamu lupa kalau tiga tahun yang lalu di tempat ini kamu meminang saya untuk jadi istrimu?” tanya Emilia. Datar. Dingin tanpa emosi.
Gulam tersenyum, atau mungkin menyeringai, lalu menyeruput jus tomat, baru kemudian menjawab lembut, “Sudahlah, say…, kamu kan tahu kalau saya memang pelupa. Tapi, di sini atau di tempat lain, toh yang akan saya katakan juga sama…, hanya minta ijin untuk kawin lagi. Iya kan, say?”
Emilia menatap lurus mata suaminya. Kemarahan, kepedihan hati dan perasaan terhina memang masih berkecamuk, tapi tidak sampai membuat akal sehatnya tersesat sehingga lepas kendali. Emilia justru semakin percaya diri ketika berkata, “Kalau kamu ingin menikah lagi, kenapa harus minta ijin saya?”
Gulam lagi-lagi tersenyum, atau mungkin menyeringai, lalu menyeruput jus tomat, baru kemudian menjawab lembut, “Memang harus dong, say…, harus minta ijin kamu. Itu karena saya tidak mau sembunyi-sembunyi. Itu karena tanpa seijin kamu maka perkawinan saya dengan Yeni tidak sah secara agama maupun secara hukum negara. Saya tidak mau berdosa karena melanggar norma agama. Saya juga tidak ingin dipenjara karena melanggar hukum negara. Kalau saya berterus terang minta ijinmu untuk kawin lagi, itu karena saya ingin hidup jujur kan, say?”
Emilia menarik napas dalam-dalam. Emilia paham, dirinya belum pernah dan mungkin tidak akan mampu menang berdebat dengan Gulam. Jangankan menang, untuk meladeni silat lidah Gulam yang pernah kuliah hukum lantas pindah jurusan sosial-politik, Emilia belum pernah sanggup.
“Jadi gimana, say? Kamu ijinkan atau bagaimana? Saya tidak akan memaksamu, say. Tapi, saya harus mengingatkan bahwa agama kita tidak melarang polygami. Iya kan, say?” kata Gulam. Lembut. Hangat.
“Ya…, saya tahu. Tapi, saya minta waktu untuk memikirkannya,” sahut Emilia. Datar. Dingin tanpa emosi.
“It’s okay. No problem. Tapi, saya minta kamu juga jangan terlalu lama memikirkannya.OK?”
Emilia mengangguk, lantas melambai waitress minta bill. Gulam pun bangkit dari duduknya, pamit ke toilet. Emilia membuka dompet, mengambil credit-card dan mengulurkan pada waitress. Setiap kali memang selalu begitu. Giliran ditagih, Gulam pasti pamit ke toilet atau pura-pura sibuk sampai akhirnya terlambat membayar. Sejak menikah, selalu saja Emilia yang menraktir suaminya.
Tapi Emilia tak pernah keberatan, apalagi merasa terbebani. Barangkali karena sejak sebelum menikah Emilia sudah berkarier di perusahaan asing dan gajinya lebih dari cukup—jauh lebih besar dari penghasilan Gulam yang berwiraswasta buka kios alat-alat listrik.
Emilia juga tidak pernah mengeluh meskipun gajinya terpakai untuk mencukupi semua kebutuhan hidup rumahtangganya. Toh biar sedikit masih tersisa untuk ditabung. Emilia ikhlas dan percaya suatu saat Gulam akan meraih sukses melebihi penghasilannya. Tapi, entah kenapa, malam itu Emilia merasa terpaksa dan tidak rela mengeluarkan uang untuk membayar makanan yang terlanjur ditelan Gulam.
Di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju pulang, Emilia memilih diam. Pikirannya menerawang jauh, mendahului laju mobil dan sampai di ranjang Iqbal, anaknya yang baru berusia tiga tahun, yang tentu sudah tidur dikeloni Lik Ni, baby sitter-nya.
“Kamu marah ya, say?” tanya Gulam, lembut, sambil menyetir.
Tapi Gulam seperti bertanya pada patung.
“Kamu melamun ya, say?”
Emilia menyusup ke dalam mimpi Iqbal.
Setelah beberapa kali bertanya sia-sia pada patung, akhirnya Gulam bersiul melantunkan lagu Love Me Tender-nya Elvis Presley yang lantas di-medley melodi Kemesraan-nya Iwan Fals.
Malam itu, Emilia tidur berdua Iqbal, berimpitan di ranjang selebar 90 sentimeter. Sedangkan Gulam bergegas turun ke dalam kios yang terletak di lantai bawah, lalu menyalakan komputer dan chatting sampai pagi.
Sambil mendekap Iqbal yang semakin lelap karena dipeluk ibunya, Emilia berharap bisa menangis. Tapi, kendati sangat ingin menangis sepuasnya, bola mata Emilia tetap kering. Memang terasa perih, tapi tak basah airmata. Kemarahan, kepedihan hati dan perasaan terhina, tampaknya telah menyumbat mampat mata air airmata Emilia.
Meskipun semalaman tidak bisa tidur, tepat pukul tujuh pagi Emilia sudah sampai di kantor. Sejak dulu selalu begitu. Tak pernah terlambat barang semenit. Padahal jam masuk kantor resminya pukul setengah delapan.
Tapi, sebagai sekretaris direksi, Emilia merasa tak patut tiba di kantor lebih lambat dari boss-nya. Maklum, boss-nya yang warganegara AS itu tinggal di apartemen seberang, lima menit jalan kaki dari gedung kantor. Tak heran jika pukul 07.10 pagi, boss Emilia sudah sampai kantor.
Maka, meskipun semalaman tidak bisa tidur, tepat pukul tujuh pagi Emilia sudah duduk di belakang meja lantas bekerja seperti biasa. Sikapnya wajar, pekerjaannya lancar, bahkan sesekali tawanya masih terdengar. Tak seorangpun melihat ada seuatu yang aneh pada diri Emilia—kecuali Sita, Mety dan Sephia, yang sudah lima tahun lebih berkarib erat dan saling curhat.
“Mata Lia kayaknya sembab ya,” bisik Sita.
“Ho’oh. Semalem habis nangis ‘kali,” sahut Mety, juga berbisik.
“Ngaco! Lia mana bisa nangis?!” sambar Sephia, senyaring bunyi dua losin piring kaleng jatuh di lantai.
Emilia menoleh, tersenyum geli melihat Sephia dikerubuti Sita dan Mety.
“Dasar ember! Kalo ngomong nggak bisa pelan!” gerutu Sita.
“Ngomong aja nggak bisa pelan, gimana kalau nyanyi?” timpal Mety.
“Merdu bo…, semerdu Katon Bagaskara,” sahut Sephia mantap.
Dan Emilia tertawa. Tapi, ketiga karibnya itu tak yakin Emilia benar-benar tertawa. Karena itu, waktu jam makan siang, Emilia langsung digelandang masuk Fleurie, resto tradisional Perancis yang terletak di lantai empat Plaza Senayan. Dan di pojok ruangan, agak terlindung dari mata pengunjung, Emilia diinterogasi ketiga sobatnya.
Emilia paham, berpura-pura di depan Sephia, Mety dan Sita, adalah perbuatan sia-sia. Berkeras mengaku tidak ada masalah dan baik-baik saja, juga hanya akan membuatnya kehilangan tiga sahabat setia tempat curhat. Tapi, untuk berterus terang, Emilia juga ragu. Sebab, “Apa yang saya alami sekarang ini bisa-bisa membuat kalian semakin takut menikah,” kata Emilia.
Sephia, Mety dan Sita, saling pandang. Emilia diam menunggu.
“Emang yang kamu alami sekarang ini apaan, sih?” tanya Sephia.
Emilia menelan ludah. Pandang matanya menerawang jauh.
Sephia, Sita dan Mety berdebar menanti.
“Emang kalian benar-benar ingin tau? Terutama Sephia. Kamu kan punya rencana tahun ini harus menikah. Iya, kan?” ucap Emilia.
“Iya, siih…, tapi kan baru rencana,” kata Sephia, tumben agak pelan.
Emilia kembali menelan ludah.
“Tapi Sita sama Mety kan juga punya rencana mau menikah tahun ini,” kata Sephia, kembali nyaring seperti biasanya.
“Huss!” tegur Sita dan Mety berbarengan.
Sephia nyengir.
“Ya udahlah. Lebih baik saya nggak usah cerita apa yang sekarang ini saya alami. Bukan apa. Saya nggak ingin pengalaman saya itu membuat rencana pernikahan kalian tertunda melulu, atau malah batal” kata Emilia.
Sephia, Mety dan Sita, saling pandang.
“Sebagai sahabat, saya hanya ingin kalian doakan supaya saya bisa tabah dan mampu mengatasi persoalan yang sedang saya hadapi,” kata Emilia.
Sephia, Mety dan Sita, kembali saling pandang. Lalu, secara serentak mereka bertiga memeluk Emilia. Sedetik kemudian, airmata Emilia mengalir bening di pipinya. Kemarahan, kepedihan hati dan perasaan terhina yang menyumbat mampat mata air airmata Emilia, dalam sekejap meleleh hanyut terbawa butiran bening yang mengucur deras di pipinya, dan sirna.
Sejak itu, rongga dada Emilia terasa lebih lapang. Batas kesabarannya juga semakin bertambah lebar. Ketegarannya menghadapi kepahitan hidup pun kian tak terguyahkan.
Maka, ketika Gulam menagih ijin ingin kawin lagi, dengan dingin Emilia menjawab, “Maaf, saya tidak mau memberi ijin. Saya juga tidak melarang kamu kawin lagi. Tapi, kalau kamu kawin lagi, saya akan menggugat cerai.”
Mendengar jawaban Emilia, sontak Gulam naik pitam. Tangannya meraih pigura foto keluarga yang tergantung di dinding, merenggutnya dengan sekali tarikan, lantas dibanting hancur. Nyali Emilia ciut. Tapi ia tak menyerah pada rasa takut. Emilia bahkan tak lagi punya perasaan apa-apa. Emilia hanyalah sekadar patung bernyawa.
“Kamu memang nggak bisa diajak ngomong baik-baik! Kamu memang istri yang lebih senang suaminya berzinah dan berdosa!” hardik Gulam, kakinya menendang kulkas.
Tiba-tiba Iqbal nyelonong sambil menangis ketakutan.
“Diam kamu! Diam!” bentak Gulam kalap.
Tapi Iqbal malah menjerit. Tangisnya menjadi-jadi.
“Diam! Kalau nggak diam Papa balik kamu!”
Iqbal meraung ketakutan. Gulam tambah kalap. Kedua kaki Iqbal ditangkap, lalu diangkat. Saat kakinya terangkat ke atas dan kepalanya bergelayutan di bawah, tangis Iqbal langsung berhenti. Lik Ni tergopoh datang, menyambut tubuh Iqbal lantas membawanya pergi.
“Kalau kamu nggak mengijinkan saya kawin lagi, berarti kamu menyuruh saya berzinah!” hardik Gulam, lantas pergi sambil menendang pintu kamar.
Di rumah, Emilia hanyalah sekadar patung bernyawa.
Di kantor, Emilia adalah perempuan mungil murah senyum dan lembut hati yang selalu didoakan Sita, Sephia dan Mety agar tabah lahir batin.
Doa seorang sahabat, apalagi tiga, memang mudah terkabul. Buktinya, Emilia punya ketabahan luar biasa. Bahkan ketika Gulam menjadikan Yeni karyawan kios miliknya, Emilia tetap tabah. Begitu pula ketika Gulam mengijinkan Yeni menginap dan kemudian tinggal di kios, Emilia seperti tak ambil pusing. Padahal, setiap malam Gulam selalu turun ke kios, katanya sih cuman chatting, sampai subuh.
Kalau Emilia bisa tetap tabah dan mampu bertahan, tentu bukan karena dirinya benar-benar sebuah patung bernyawa. Tapi, barangkali karena Emilia tak ingin mengecewakan Iqbal, juga tak mau kepahitan hidupnya membuat ketiga sahabatnya takut bahkan memutuskan tidak menikah.
Setidaknya, Emilia mampu bertahan karena ada yang dipertaruhkan: kebahagiaan hidup Iqbal dan ketiga sahabatnya. Sebab, sejak makan malam jahanam itu, Emilia terlanjur menganggap kebahagiaan hidupnya sudah tamat.*
*Catatan: CerIta pendek ini pernah dimuat di majalah femina, 2006