SUARA HATI GANJAR. Saya dua kali bertemu Ganjar Pranowo (GP). Pertama waktu dia masih Gubernur Jateng, rambutnya belum putih semua, di pesawat Jkt-Semarang, kelas ekonomi, hanya saling mengangguk. Kedua, sebulan lalu, waktu saya diajak Anto Baret, menerima kunjungan GP di Warung Apresiasi Bulungan, ngobrol sekitar satu jam dengan suguhan ubi, singkong, pisang rebus dan gultik.
Saya katakan padanya, “Mas Ganjar benar sudah berkunjung ke sini, mengenal Anto Baret, berbincang dengan akar rumput dan lumut yang bertumbuh di jalanan. Anto Baret bukan sekedar pendiri dan sesepuh Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) yang kini ada di penjuru Indonesia. Ia juga ronin jalanan yang sudah 45 tahun ‘berkantor’ di penjuru jalanan kehidupan. Ia rumput dan lumut kehidupan yang tetap tumbuh mandiri dan merdeka.”
“Iya, Mas. Terima kasih,” kata GP, kemudian khidmat mendengar penuturan Anto Baret tentang banyak hal.
Terbuka, hangat, humoristik dan spontanitas GP, juga saya saksikan ketika ia berkunjung di rumah Butet Kartaredjasa. Di tengah kalangan seniman Yogya yang full guyon, GP tampak bukan menjadi orang asing atau kandidat Capres. Ia tertawa senang waktu Encik Sri Krishna menyanyikan lagu “Njar Ji Njar Beh”, lagu populis yang kemudian diadopsi PDIP jadi lagu kampanye GP.
Apakah berarti saya akan memilih GP sebagai Presiden RI 2024? Saya, mungkin juga teman-teman seniman yang sudah bertemu GP, akan selalu mendengar suara hati. Saya akan mengikuti suara hati sebagai kebenaran sejati. Suara hati yang menampik fanatisme. Suara hati yang sepanjang hidup saya menjadi referensi dan energi. Suara hatiku. Suara hatimu. Suara hati kita. **
Harry Tjahjono
10/9/2023