Usulan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letjen TNI (Pur) Agus Widjoyo menempatkan Polri di bawah Kementerian Keamanan Dalam Negeri, dapat dianalogikan seperti hembusan angin pada bukit karang di laut, yang tidak memiliki pengaruh apapun pada institusionalisasi Polri. Usulan ini akan membentur bukit karang yang kokoh terkait regulasi dan praktek politik yang rumit.
Sebab, sesuai pasal 30 ayat 4 UUD 1945 tertulis, “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.” Sementara dalam TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden. Sedang pasal 8 UU NO. 2 Tahun 2002 ditetapkan dengan jelas bahwa institusi Polri berada dibawah Presiden sebagai Kepala Negara.
Bila usulan Gubernur Lemhannas tersebut hendak diwujudkan akan ada proses panjang perubahan atau amandemen Konstitusi, Pencabutan Ketetapan MPR dan revisi UU POLRI. Selain itu akan menghadapi proses politik rumit dan penuh dengan bargaining-bargaining politik dengan partai partai besar dan pimpinan Partai untuk dapat mendorong usulan Gubernur Lemhannas tersebut.
Memperhatikan polemik terkait usulan tersebut, justru IPW menilai usulan Gubernur Lemhannas ini hanyalah sebagai suatu momentum mengingatkan masyarakat, politisi bahkan Presiden tentang isu “dwifungsi polri” yang makin menguat pasca reformasi. Terutama peran sospol yang sangat nyata dan menjadi sorotan kelompok dwifungsi ABRI yang dulu ada dan sekarang sudah selesai tersebut. Sehingga nampak ada pergeseran sentrum kekuatan dari dwifungsi ABRI pada masa orde baru, menjadi “dwifungsi Polri” pada era reformasi saat ini.
Istilah “dwifungsi Polri” sendiri memang tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi nyata teraplikasi berdasarkan pasal 28 UU 2 Tahun 2002 tentang Polri. Oleh karenanya,hal ini harus menjadi satu pemikiran serius dari pimpinan Polri.
Wujud dari “dwifungsi Polri” itu muncul pada penempatan polisi-polisi aktif dengan penugasan oleh kapolri pada lembaga-lembaga sipil, kementerian dan BUMN.
Disamping itu, adanya potensi tahun politik dimana menurut kemendagri sedikitnya ada 272 kepala daerah akan habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023 harus diisi oleh pelaksana tugas (Plt). Sementara pelaksanaan pilkadanya akan berlangsung serentak pada 2024 dan membutuhkan keamanan dalam negeri.
Dalam penunjukan pelaksana tugas, pemerintah selalu mempertimbangkan orang yang mampu untuk menjaga keamanan hingga selesainya pilkada. Sektor keamanan dalam negeri menjadi prioritas utama dan adalah tupoksi Polri.
Dalam praktek politik pernah terjadi preseden pada Pilkada Jabar 2018. Saat itu, pemerintah menunjuk perwira tinggi Polri yang juga sebagai Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional Komjen Pol. Mochamad Iriawan atau Iwan Bule sebagai pelaksana tugas (Plt) Gubernur Jabar. Penunjukkannya sendiri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 106/P Tahun 2018 tentang Pengesahan Pemberhentian Dengan Hormat Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Masa Jabatan Tahun 2013-2018 dan Pengangkatan Penjabat Gubernur Jawa Barat yang ditandatangani Presiden Jokowi, pada 8 Juni 2018. Namun, banyak kalangan yang memprotesnya tapi pemerintah tetap melantik karena jaminan bisa menjaga keamanan wilayah.
Memperhatikan hal ini menurut IPW, pimpinan polri harus cermat, hati-hati dan mawas diri terkait isu “dwifungsi Polri” Agar tidak terjadi kecemburuan dari institusi lain.
Dengan bergulirnya usulan Gubernur Lemhannas yang menurut IPW memiliki relasi dengan isu “dwifungsi Polri” maka IPW meminta Presiden memberikan atensi khusus agar tidak terjadi sikap kebablasan dari institusi Polri yang berpotensi munculnya riak riak politik dari kelompok yang merasa tertinggal.