DeFacto.id – Penelope Cruz pertama kali jatuh cinta pada akting saat ia masih kecil. Setidaknya itulah yang ia lakukan saat bermain dengan teman-temannya.

Itu yang ia kisahkan saat berdiri di depan podium saat menerima penghargaan atas dedikasi dan karirnya sebagai aktris dalam gala tahunan Film Benefit Museum of Modern Art (MoMa), New York, Selasa 14 Desember silam waktu setempat.
“Saya akan berpura-pura menjadi orang lain. Karakter yang berbeda. Terkadang dari film yang pernah saya tonton, kadang dari imajinasi saya sendiri.”

Cruz dibesarkan di pinggiran kota Madrid, di mana ia menemukan kecintaannya pada film dengan memutar film di Betamax milik ayahnya.
“Saya jatuh cinta pada Audrey [Hepburn] di ‘Love in the Afternoon,’ saya menangis ketika Meryl [Streep] harus membuat keputusan terberat, saya ketakutan melihat ‘Jaws,’ saya sesegukan bersama Shirley MacLaine dan Debra Winger, saya belajar menari dari John Travolta lewat ‘Saturday Night Fever,’” katanya.
Setelah menonton film Pedro Almodovar “Tie Me Up! Tie Me Down!” untuk pertama kalinya, Cruz pun lari ke penyewaan video dan menyewa setiap film Almodóvar yang ada di situ.
“Cara Pedro menulis karakter wanita kompleks sangat luar biasa, betapa Pedro mencintai dan menghormati wanita,” katanya.

“Saya tidak akan berada di sini malam ini, jika saya tidak pernah punya kesempatan istimewa bekerja dengan sutradara brilian yang telah menginspirasi saya, mengajari saya, membantu saya tumbuh sebagai seorang seniman dan sebagai pribadi. Saya ingin berterima kasih kepada semua malam ini, dan terutama Pedro.”
Pedro Almodovar adalah sutradara legendaris Spanyol yang menerima penghargaan yang sama dari MoMa satu dekade lalu, telah bekerja dengan Cruz dalam delapan film layar lebar. Kolaborasi terbaru duo ini, “Parallel Mothers,” mendapat pujian setelah diputar perdana di Festival Film Venice, di mana Cruz membawa pulang penghargaan aktris terbaik.
“Saya terus belajar darinya, sesuatu yang baru tentang akting, tentang cara bercerita, tentang dunia, tentang perilaku manusia” lanjut Cruz.
Almodóvar yang tak dapat hadir malam itu berterima kasih kepada Cruz atas kerja keras dan dedikasinya dalam pesan yang telah direkam sebelumnya. Sementara beberapa teman Cruz, seperti aktri Rebecca Hall, Rosalía dan Ricky Martin hadir untuk berbicara tentang sang aktris. Selain mereka, daftar tamu yang hadir di gala tahun ini juga termasuk Anne Hathaway, Kristen Wiig, Riley Keough dan Pom Klementieff.
“Penelope adalah orang yang hangat, di layar maupun di luar layar,” kata Hall di atas panggung. “Dia, bagi saya, adalah definisi bintang film. Ketika kita melihatnya di layar kita bisa merasakan emosinya, karena kamera bisa menangkap apa yang dia rasakan. Dia juga punya sisi glamor, dan keanggunan yang tak banyak dimiliki aktris lainnya.”
Hall, yang berbagi layar dengan Cruz dalam “Vicky Cristina Barcelona” (2008), menyebut lawan mainnya “pemain watak jagoan dan aktor sejati.”
Acara The Film Benefit dipersembahkan oleh Chanel, sponsor utama divisi film di MoMA. Chanel telah mendukung program eksibisi film MoMA sejak 2009, yang bertujuan untuk melestarikan koleksi arsip film yang terus bertambah.
“Ketika berbicara tentang Penelope Cruz, dia mungkin bukan seorang wanita. Dia itu bak seorang dewi,” kata Hathaway kepada wartawan di atas karpet. “Saya merasa penampilannya aspiratif, dan juga mudah didekati. Saya merasa memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang apa artinya menjadi seorang wanita berkat Penelope.”
Pada Selasa malam kemarin, Cruz juga meluangkan waktu untuk bicara singkat tentang perubahan keadaan perfilman, yang terganggu oleh pandemi COVID-19 dan distribusi baru film lewat streaming.
“Saya pikir kita semua sadar saat ini dunia sedang terluka, ketakutan dan terbelah, kita membutuhkan semua bentuk seni, bahkan mungkin lebih dari sebelumnya,” kata Cruz di atas panggung. “Kita butuh film untuk melihat bukan hanya cerita kita sendiri, tapi kisah-kisah lain dari segala penjuru dunia.”
Berakhir dengan nada optimis, Cruz mengatakan bahwa ia percaya bahwa industri bioskop akan bertahan. “Saya merasa pengalaman menonton film di teater akan bertahan,” ujarnya. “Saya tidak bisa membayangkan dunia tanpa film dan bioskop.”*Ayu Gendis Sulistyowati