Home / Berita

Kamis, 16 Desember 2021 - 22:57 WIB

Penelope Cruz, “Dunia Butuh Film dan Bioskop”

DeFacto.id – Penelope Cruz pertama kali jatuh cinta pada akting saat ia masih kecil. Setidaknya itulah yang ia lakukan saat bermain dengan teman-temannya.

Itu yang ia kisahkan saat berdiri di depan podium saat menerima penghargaan atas dedikasi dan karirnya sebagai aktris dalam gala tahunan Film Benefit Museum of Modern Art (MoMa), New York, Selasa 14 Desember silam waktu setempat.

“Saya akan berpura-pura menjadi orang lain. Karakter yang berbeda. Terkadang dari film yang pernah saya tonton, kadang dari imajinasi saya sendiri.”

Cruz dibesarkan di pinggiran kota Madrid, di mana ia menemukan kecintaannya pada film dengan memutar film di Betamax milik ayahnya.

“Saya jatuh cinta pada Audrey [Hepburn] di ‘Love in the Afternoon,’ saya menangis ketika Meryl [Streep] harus membuat keputusan terberat, saya ketakutan melihat ‘Jaws,’ saya sesegukan bersama Shirley MacLaine dan Debra Winger, saya belajar menari dari John Travolta lewat ‘Saturday Night Fever,’” katanya.

Setelah menonton film Pedro Almodovar “Tie Me Up! Tie Me Down!” untuk pertama kalinya, Cruz pun lari ke penyewaan video dan menyewa setiap film Almodóvar yang ada di situ.

Baca Juga  Pengembangan BRT di Cekungan Bandung agar Masyarakat Gubakan Transportasi Massal

“Cara Pedro menulis karakter wanita kompleks sangat luar biasa, betapa Pedro mencintai dan menghormati wanita,” katanya.

“Saya tidak akan berada di sini malam ini, jika saya tidak pernah punya kesempatan istimewa bekerja dengan sutradara brilian yang telah menginspirasi saya, mengajari saya, membantu saya tumbuh sebagai seorang seniman dan sebagai pribadi. Saya ingin berterima kasih kepada semua malam ini, dan terutama Pedro.”

Pedro Almodovar adalah sutradara legendaris Spanyol yang menerima penghargaan yang sama dari MoMa satu dekade lalu, telah bekerja dengan Cruz dalam delapan film layar lebar. Kolaborasi terbaru duo ini, “Parallel Mothers,” mendapat pujian setelah diputar perdana di Festival Film Venice, di mana Cruz membawa pulang penghargaan aktris terbaik.

“Saya terus belajar darinya, sesuatu yang baru tentang akting, tentang cara bercerita, tentang dunia, tentang perilaku manusia” lanjut Cruz.

Almodóvar yang tak dapat hadir malam itu berterima kasih kepada Cruz atas kerja keras dan dedikasinya dalam pesan yang telah direkam sebelumnya. Sementara beberapa teman Cruz, seperti aktri Rebecca Hall, Rosalía dan Ricky Martin hadir untuk berbicara tentang sang aktris. Selain mereka, daftar tamu yang hadir di gala tahun ini juga termasuk Anne Hathaway, Kristen Wiig, Riley Keough dan Pom Klementieff.

Baca Juga  Frederick Fleet, Pelaut Yang Pertama Melihat Gunung Es, Sebelum Menabrak Titanic.

“Penelope adalah orang yang hangat, di layar maupun di luar layar,” kata Hall di atas panggung. “Dia, bagi saya, adalah definisi bintang film. Ketika kita melihatnya di layar kita bisa merasakan emosinya, karena kamera bisa menangkap apa yang dia rasakan. Dia juga punya sisi glamor, dan keanggunan yang tak banyak dimiliki aktris lainnya.”

Hall, yang berbagi layar dengan Cruz dalam “Vicky Cristina Barcelona” (2008), menyebut lawan mainnya “pemain watak jagoan dan aktor sejati.”

Acara The Film Benefit dipersembahkan oleh Chanel, sponsor utama divisi film di MoMA. Chanel telah mendukung program eksibisi film MoMA sejak 2009, yang bertujuan untuk melestarikan koleksi arsip film yang terus bertambah.

Baca Juga  KPK Makin Fokus Dalami Formula E, yang Memperkaya Diri Bakal Jantungan

“Ketika berbicara tentang Penelope Cruz, dia mungkin bukan seorang wanita. Dia itu bak seorang dewi,” kata Hathaway kepada wartawan di atas karpet. “Saya merasa penampilannya aspiratif, dan juga mudah didekati. Saya merasa memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang apa artinya menjadi seorang wanita berkat Penelope.”

Pada Selasa malam kemarin, Cruz juga meluangkan waktu untuk bicara singkat tentang perubahan keadaan perfilman, yang terganggu oleh pandemi COVID-19 dan distribusi baru film lewat streaming.

“Saya pikir kita semua sadar saat ini dunia sedang terluka, ketakutan dan terbelah, kita membutuhkan semua bentuk seni, bahkan mungkin lebih dari sebelumnya,” kata Cruz di atas panggung. “Kita butuh film untuk melihat bukan hanya cerita kita sendiri, tapi kisah-kisah lain dari segala penjuru dunia.”

Berakhir dengan nada optimis, Cruz mengatakan bahwa ia percaya bahwa industri bioskop akan bertahan. “Saya merasa pengalaman menonton film di teater akan bertahan,” ujarnya. “Saya tidak bisa membayangkan dunia tanpa film dan bioskop.”*Ayu Gendis Sulistyowati

Share :

Baca Juga

Berita

Ganjar Pranowo Jadi Presiden Kalau Mampu Naikan UMP 2021 di Jateng

Berita

Belum Ada Musisi Indonesia yang Dibayar 100 Ribu Dolar

Berita

Nyoblos Pilgub DKI Bareng Megawati, Puan: Insyaallah Semua Berjalan Baik Sesuai Harapan
Menhub

Berita

Indonesia–Korea Selatan Bangun Menara Suar dan Rambu Suar

Berita

Konser “Chrisye” Peringati 30 Tahun Balai Sidang

Berita

Operasi Lilin 2024 Akan Dimulai 21 Desember 2024 Hingga 2 Januari 2025
deFACTO.id -- dalam rentang waktu lima tahun belakangan ini Kota Pagaralam mulai dikenal dunia sebagai salah satu sentra penghasil kopi terbaik. Padahal, kopi - atau kawe - masyarakat setempat menyebutnya - sudah ditanam sekurangnya sejak tahun 1918. Hal itu dimungkinkan karena terbukanya arus informasi berbasis IT serta mulai tergeraknya hati generasi muda petani kopi Pagaralam untuk memproses dan membranding hasil kopi mereka - dari sebelumnya yang hanya menjual mentahan. Berpuluh-puluh tahun lamanya kopi robusta dari Pagaralam dijual mentahan, diangkut dengan truk, dijual ke luar - dan dikapalkan pelalui pelabuhan Panjang (Lampung). Itulah barangkali sebabnya mengapa kopi Pagaralam (plus Lahat, Empatlawang dan sekitar gugusan Bukit Barisan) selama ini dikenal dengan julukan Kopi Lampung. Tak puas dengan stigma ini, anak-anak muda Pagaralam tergerak melakukan banyak terobosan, mulai dari memperbaiki sistem penanaman, panen, pascapanen, hingga branding. Tak puas dengan itu, mereka pun melengkapi "perjuangan" mereka dengan membuka kedai-kedai kopi, dilengkapi dengan peralatan semicanggih, - meski secara ekonomis usaha mereka belum menguntungkan. Di antara para "pejuang kopi" Itu bisa disebut misalnya Miladi Susanto (brand Kawah Dempo), Frans Wicaksono (Absolut Coffee), Sasi Radial (Jagad Besemah), Azhari (Sipahitlidah Coffee), Dian Ardiansyah (DNA Coffee), Wenny Bastian (Putra Abadi), Efriansyah (Rempasai Coffee), Dendy Dendek (Kopi Baghi), Hamsyah Tsakti (Kopi Kuali), Iwan Riduan (Waroeng Peko) dan banyak lagi. Dalam banyak lomba dan festival, lingkup nasional maupun internasional, kopi Pagaralam banyak dipuji dan diunggulkan - baik secara kualitas maupun orang-orang (petani & barista) yang ada di belakangnya* HSZ

Berita

Pagaralam Punya Kopi, Lampung Punya Nama

Berita

Menhub Resmikan Stasiun Pondok Rajeg, Jabodetabek Semakin Terhubung