Home / Esai

Rabu, 20 November 2024 - 19:52 WIB

Optimisme dari Banjar Penusuan

Jujur, saya adalah orang yang skeptis dengan masa depan Indonesia. Terlalu banyak alasan yang membuat saya begitu. Mungkin karena begitu banyak informasi negatif tentang negeri “Nyiur Melambai” Ini masuk ke otak. Perasaan itu makin mendengar cerita sahabat Dedy Loekhoen Susatio tentang kemajuan industri di Cina daratan. Gairah saya makin lemah.

Tetapi Dedy pula yang mengembalikan sedikit rasa optimisme saya terhadap negeri ini, setelah dia mengajak saya, Dimas Supriyanto dan Gunawan Wibisono, jalan-jalan ke Bali, sekaligus mencari peluang bisnis yang memungkinkan.

Bali adalah pulau di luar Jawa yang paling sering saya datangi. Baik hanya sekedar jalan-jalan atau untuk urusan pekerjaan. Tetapi kali ini, ada beberapa tempat dan cerita baru yang saya peroleh. Sehingga kesannya luar biasa. (Mohon maaf kepada rekan Dedy Loekhoen, Dimas Supriyanto dan Gunawan Wibisono, yang terpaksa memangkas durasi perjalanan di Bali, karena toleran dengan agenda saya yang harus lebih cepat kembali ke Jakarta).

Kalau soal keindahan alam, budaya dan sikap religiositas orang Bali tak usahlah diragukan. Sejak bangun tidur hingga malam hari, orang Bali yang beragama Hindu sudah menjalankan kewajiban terhadap agamanya. Hampir di setiap tempat, mulai dari sudut rumah, jalanan, tempat-tempat sunyi hingga ke Pura, dipenuhi oleh sesajian. Berbagai upacara dan ritual agama diadakan. Penghormatan terhadap alam dan makhluk hidup, mengalir dalam darah setiap orang Bali, sehingga tak ada tempat berpenduduk padat yang tetap asri terawat di Indonesia, selain di Bali.

Baca Juga  Anak Polah, Bapak Kepradah

Dari sekian banyak pengalaman baru yang saya temui di Bali, pertemuan dengan Pak Wayan, pimpinan Venus One Tourism Academy, menjadi klimaks dari kepuasan saya selama mengunjungi Bali kali ini.

Pak Wayan, lelaki berbadan kekar berusia hampir setengah abad, menyambut kami dengan ramah, di academi yang didirikannya di Banjar Penusuan (kata Venus merupakan plesetan dari Banjar tempatnya tinggal), Desa Tegallalang, Kecamatan Tegallalang, Gianyar.

Kami berempat diterima di sebuah ruangan yang sebagian berdinding kaca. Dari ruangan itu, sambil ngobrol, kami bisa melihat siswa-siswinya sedang melakukan praktek pembuatan kue. Ternyata kue itu kemudian disajikan untuk kami. Kue yang bukan saja indah penampilannya, tapi lezat rasanya.

Pak Wayan adalah seorang lelaki yang penuh semangat. Hampir sepanjang pertemuan dia bercerita tentang dunia pendidikan yang dikelolanya. Di samping itu dia juga membuat Virgin Coconut Oil (VCO) dengan parutan kelapa dan pemanfaatan magot (larva lalat black soldier fly). Larva ini merupakan pengurai sampah organik yang sangat efektif. Alat mengupas kelapa dan alat pemutar parutan dibuat sendiri. Hampir semua bagian kelapa sisa olahan, masih bisa dimanfaatkan. Potongan setengah batok kelapa yang di sini cuma jadi arang bakar, dijual ke pembuat kerajinan tangan dengan harga Rp.4000 – Rp 5000.

Baca Juga  Reza, Petugas Kawal Kereta jempol!

Kelapa yang jadi bahan utama, merupakan “uang kuliah” dari siswa-siswinya. Jadi dia tidak meminta bayaran uang, tetapi murid-murid diminta membayar dengan buah kelapa dari kebun orangtua mereka. Pak Wayan tidak pernah meminta uang ini / itu dari siswa-siswinya. Ia hanya ingin semua siswanya sungguh-sungguh belajar dan mendapat ilmu. Setelah lulus, ia pula yang mencarikan pekerjaan, bahkan sampai ke luar negeri. Nah, setelah mantan muridnya punya penghasilan, mereka boleh membayar hutang biaya pendidikannya.

Namun tidak hanya membayar hutang pendidikan, ada pula muridnya yang ingin mengikuti jejak Pak Wayan. “Ada yang mengatakan kepada saya, mereka ingin mengangkat anak asuh, membiayai satu atau dua anak tak mampu agar bisa menempuh pendidikan di tempat yang sama. Merinding saya kalau bercerita tentang mereka,” katanya.

Dunia pendidikan yang dilakoni Pak Wayan bukanlah pendidikan yang mengejar gelar. Apalagi sampai mengejar gelar Doktor seperti seperti kelakuan kebanyakan pejabat / orang Indonesia yang gemar pamer gelar. Pak Wayan memilih bidang vokasi, agar siswa-siswinya bisa langsung bekerja setelah lulus. Cukup mengantongi gelar D1. Tidak sedikit yang bekerja di luar negeri, karena Pak Wayan punya relasi baik di mancanegara.

Baca Juga  Kekerasan Seksual

Dari tangan Pak Wayan, sudah banyak anak-anak yang bekerja dan punya penghasilan. Dan ada banyak lagi yang akan menyusul.

Setelah bertemu dengan Pak Wayan, tumbuh sedikit rasa optimisme saya terhadap masa depan Indonesia. Apalagi dalam acara ngobrol-ngobrol pada Kamis malam (14/11/2024) lalu itu, gambaran Indonesia yang majemuk terjadi di situ. Berapa tidak, bila melihat agama atau kepercayaan yang kami anut, dari 5 orang yang terlibat pembicaraan, ada 4 agama terwakili. Pak Wayan sebagaimana umumnya orang Bali, beragama Hindu, Dimas Supriyanto beragama Islam (Abangan), Dedy Loekhoen beragama Budha; Gunawan dan saya beragama Kristen Protestan. Seharusnya 5 agama, jika Gunawan tidak murtad dari Katolik ke Kristen.

Selama hampir 2 jam ngobrol, tak sedikit pun kami menyinggung soal agama, apalagi mengeluarkan kata-kata yang tendensius sebagai penganut agama tertentu. Ternyata, Indonesia yang majemuk dan toleran, masih ada. Setidaknya pada malam itu. (herman wijaya)

Share :

Baca Juga

Esai

Alarm Stroke

Esai

Suryopranoto Menggugat!

Esai

Menyobek Bendera!

Esai

Saya Kangen Mas Ndo…

Esai

Terapi Pijat ke Pak Wiwin Cimacan

Esai

“Tidak Tepat Memberlakukan Dana Pensiun Tambahan”

Esai

AHY Move-On
WAGIMAN DEEP

Berita

Wawancanda Wagiman Deep: Suwiping Pejabat Umpetin Harta, Laskar Siapken Fentungan!