Defacto – Oppenheimer terpukul setelah mendengar begitu besar korban yang ditimbulkan akibat bom yang dijatuhkan Amerika di Hirosima dan Nagasaki. Ia tidak bahagia ketika orang-orang Amerika merayakannya dengan gembira. Oppenheimer justru merasa seperti sedang menginjak tubuh yang gosong, kulit terkelupas, orang yang muntah-muntah karena radiasi, bahkan melihat kehidupan yang lenyap seketika; sementara orang-orang di depannya tertawa gembira, bertepuk tangan, dan meneriakkan namanya berulang-ulang.
Julius Robert Oppenheimer adalah seorang fisikawan yang ditunjuk oleh pemerintah Amerika Serikat memimpin sekelompok ilmuwan di Amerika, untuk membuat bom. Bom itu akan digunakan untuk menghentikan agresi Jerman yang semakin luas di Eropa.
Dibutuhkan waktu 3 tahun, biaya jutaan dolar dan membangun sebuah kompleks khsus di Los Alamos untuk mewujudkan proyek besar pembuatan bom atom, dengan tingkat kerahasiaan yang tinggi. Secara tidak langsung, fisikawan Albert Einstein dan Niel Bohr ikut terlibat.
Oppenheimer baru tahu pada saat-saat terakhir, jika bom itu kemudian digunakan untuk menghentikan Jepang. Negara yang sangat agresif melakukan ekspansi di Asia, terutama negara-negara kepulauan di Pasifik. Seorang jenderal Amerika mempresentasikan rencana pengeboman kota-kota di Jepang. Mulanya ada 12 kota, lalu menjadi 11 setelah Kyoto dikeluarkan dari daftar.
Tidak dijelaskan mengapa Amerika hanya menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. 70.000 orang tewas seketika, 150.000 menyusul akibat radiasi. Oppenheimer sangat terpukul. Cover majalah Time dengan foto dirinya dengan sebutan “Bapak Bom Atom” dan sanjungan yang begitu tinggi dari pemerintah dan rakyat Amerika, tidak membuatnya bangga.
Oppenheimer menyadari, bom yang dibuatnya bukan yang terakhir, masih akan ada lagi bom-bom lain yang lebih dahsyat dan mematikan. Dan ia yakin perlombaan pembuatan senjata pemusnah massal akan terjadi antara Amerika dan Uni Sovyet (Rusia), karena Rusia juga memiliki ahli-ahli fisika yang hebat.
Gambaran tentang kedahsyatan bom atom dan penyesalan Oppenheimer, digambarkan dengan luar biasa oleh sutradara Christopher Nolan dalam filmnya yang kini sedang beredar di Indonesia, “Oppenheimer”.
Pada 18 Februari 1967 Oppenheimer meninggal dunia dalam usia 62 tahun. Prediksinya tentang perlombaan senjata pemusnah massal antara Rusia dan negara-negara Barat (bukan hanya Amerika) terbukti. Saat ini Rusia memiliki 1.500 hulu ledak nuklir yang siap diluncurkan, baik dari darat, laut maupun udara. Begitu pula dengan negara-negara barat. Daya ledak bom nuklir saat ini jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan bom buatan Oppenheimer cs tahun 1942 lalu.
Memang belum pernah terjadi lagi ada bom diledakkan — selain dalam uji coba – setelah di Hiroshima dan Nagasaki. Tetapi kemungkinan itu tetap ada.
Dalam perang Rusia vs Ukraina yang dibantu anggota NATO, Rusia berulangkali mengancam akan menggunakan senjata nuklir. Terutama bila serangan balik Ukraina berhasil, dan keamanan Rusia terancam. Rusia rupanya hanya mau menghancurkan Ukraina, tetapi merasa dizolimi bila negaranya dirugikan dalam perang kali ini. Jika Rusia menggunakan nuklir, mustahil NATO hanya menonton.
Lalu apa yang terjadi jika terjadi saling serang dengan nuklir? Kiamat!
Sebelum pemusnahan manusia oleh senjata dari negara-negara adi kuasa, kiamat kecil sudah mulai. Cuaca panas dan kekeringan sudah mulai dirasakan di berbagai belahan dunia. Penduduk di pegunungan Papua bergelimpangan karena kelaparan.
Ancaman krisis pangan dunia juga sedang mengancam. Ekspor gandum Ukraine terancam terhenti karena Rusia membatalkan perjanjian biji-bijian yang mengijinkan ekspor gandum Ukraine. Gudang-gudang gandum Ukraina bahkan mulai dibom.
Untuk memperkuat ketahanan pangan di dalam negeri, India dan beberapa negara penghasil beras, mengurangi bahkan akan menghentikan ekspor berasnya.
Indonesia yang selama ini mengimpor beras dan terigu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri menghadapi ancaman serius. Padahal rakyat Indonesia sudah kadung menyukai makanan yang dibuat dari beras dan tepung terigu. Makanan rakyat kecil seperti cilok, bakwan, kerupuk, mendoan, mie bakso, lontong, nasi uduk, dan lain sebagainya, dibuat dari terigu dan beras. Belum lagi kedelai, bahan utama tempe — makanan utama di Indonesia — yang sebagian besar hasil impor. Jika makanan rakyat itu menghilang, atau harganya sulit terjangkau, berarti kiamat benar-benar sudah dekat bagi Indonesia.
Untungnya rakyat di negara nyiur melambai ini adalah jenis manusia-manusia santai yang tidak pernah pusing urusan di luar. Kita lebih suka berkelahi dengan bangsa sendiri untuk masalah yang tidak penting. (herman wijaya)