Defacto – Sampai dengan pertengahan tahun 90-an, kekuatan Orde Baru sebagai pengendali politik di Indonesia sangat absolut. Bila ada kekuatan lain yang mencoba mengkritisi, apalagi menjadi penyeimbang, akibatnya bisa gawat.
Saat itu suara-suara ketidakpuasan terhadap rezim Orde Baru yang otoriter, korup dan antikritik (anti demokrasi juga sebenarnya) sudah mulai bermunculan, walau masih sporadis dan tidak terkoordinasi dengan baik. Suara perlawanan dari individu maupun kelompok kecil sesekali ada. Tetapi dapat dipatahkan. Banyak aktivis yang ditangkap atau hilang tak tentu rimbanya. Upaya pemerintah membungkam aktivis yang lebih humanis adalah dengan menyelolahkan mereka ke luar negeri, lewar proyek beasiswa yang dikendalikan oleh Pangkopkamtib Laksamana TNI Sudomo.
Sejumlah politikus muda yang menginginkan pembaruan dalam sistem politik di Indonesia, menyalurkan aspirasi mereka melalui salah satu dari 2 partai boneka pemerintah: Partai Demokrasi Indonesia (PDI) partai yang dibentuk dari gabungan beberapa partai nasionalis.
Namanya partai boneka, tentu saja tak bisa menyalurkan aspirasi anggotanya yang meletup-letup ingin mengadakan perubahan. Sehingga partai itupun pecah, antara golongan konservatif yang dipimpin oleh Surjadi, dan kelompok reformis yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Megawati sendiri ditunjuk sebagai pemimpin, karena anak Presiden RI pertama Soekarno, yang dijatuhkan Orde Baru. Megawati hanya sebagai simbol.
Para politisi muda kelompok reformis yang berada di belakang Megawati itu antara lain Eros Djarot, Sophan Sophiaan, Mangara Siahaan (mereka berasal dari dunia film), Roy BB Janis (tokoh GMNI), Laksamana Sukardi (seorang bankir muda). Bersama mereka ada pula politisi senior seperti Soetardjo Surjoguritno dan Sabam Sirait.
Untuk meredam gerakan yang makin menguat, pemerintah menggunakan aparat dan kelompok-kelompok sipil untuk menyerbu kantor PDI di Jalan Diponegoro Jakarta, tempat membar bebas mengkritisi pemerintah, yang hampir tiap hari berlangsung. Penyerbuan terjadi pada tanggal 27 Juli 1996.
Pemerintah memang berhasil menghentikan gerakan di Jl. Diponegoro. Tetapi peristiwa itu justru membuat masyarakat makin sadar, dan berani mengambil keputusan. Pada Pemilu 1999 PDI meraih 33, 12% suara, dan mendapat 153 dari 500 kursi di DPR.
“Waktu itu, 33 tahun lalu PDI bukan apa-apa. Hanya partai kecil yang memiliki sumberdaya sangat terbatas. Dan saya yang sudah menjadi bankir memutuskan berhabung di situ. Waktu itu banyak kaum muda, rakyat Indonesia yang menginginkan sebuah pembaruan, perubahan dalam sistem politik di Indonesia. Mereka kelompok yang tidak bisa dibeli, sehingga mereka mau mendukung PDI,” ungkap Laksamana Sukardi, di kantor Partai Kebangkitan Nusantara, Selasa (21/2/2023) lalu.
Setelah Orde Baru tumbang, partai baru diperbolehkan berdiri, pendukung Megawati mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pada Pemilu 2004 PDIP meraih 19,82% suara.
Pada kongres PDI-P tahun 2005 terjadi perbedaan tajam dalam penentuan metode demokratis yang berlaku di partai. Sekelompok orang, termasuk di dalamnya Laksamana Sukardi dan Roy B.B. Janis, mengambil pandangan bahwa walaupun PDI-P adalah partai politik yang modern namun masih menggunakan metode lama otoriter, seperti memberikan hak istimewa mutlak kepada ketua partai dan hanya memiliki satu kandidat untuk posisi-posisi senior. Kelompok ini kemudian mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang mengambil sistem kepemimpinan kolektif dengan 35 orang dalam pimpinan kolektif nasional.
PDP kemudian terpecah menjadi 2 kubu, antara kubu Laksamana Sukardi dan Roy B.B. Janis. Selanjutnya partai ini tenggelam karena tidak mampu mencapai parliamentary threshold.
Selasa (21/2) Laksamana Sukardi datang ke Kantor PKN di Jl. Ki (KH) Mangunsarkoro, Menteng, Jakarta Pusat, dan menyatakan bergabung di partai tersebut. PDP diketuai oleh mantan anggota Partai Demokrat, I Gede Pasek Suardika, dengan pengurus inti yang juga alumni Partai Demokrat seperti Sri Mulyono (Sekjen), Mirwan Amir (Bendahara Umum), dan akan bergabung pula Anas Urbaningrum (mangan Ketua Umum Partai Demokrat), yang saat ini tengah menjalani sisa hukumannya di Lapas Sukamiskin.
Dengan menyatakan bergabung di PKN, mantan Menteri BUMN di masa Gus Dur dan Megawati itu berarti kembali ke dunia politik, setelah lama berhibernasi.
“Jadi kalau saya ingat 33 tahun lalu, saya masuk ke PDI, sebuah partai yang bukan apa-apa. Tapi saya percaya siklus tigapuluhtahunan, di mana kalangan muda mulai merasa tidak puas dengan kondisi bangsa, akan memilih suatu partai yang benar-benar menyuarakan aspirasi mereka. Dan PKN akan terus bersuara bila ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat. Itulah sebabnya saya memutuskan bergabung dengan PKN,” papar ekonom dan politikus kelahiran 1 Oktober 1956 ini.
Belum jelas apa jabatan Laksamana di PKN. Ketua Umum PKN Gede Pasek mengatakan akan ada tempat khusus bagi Laksamana Sukardi dan Anas Urbaningrum di partai ini. Anas sendiri sudah memberi sinyal akan kembali ke dunia politik, dengan banyaknya baliho bergambar dirinya dengan tulisan “Tunggu Beta Bale!”. Ngeri-ngeri sedap! (herman wijaya)