Defacto – Beberapa hari lalu anak-anak keluarga Koes Ploes, di antaranya Sari (anak Yok Koeswoyo), David (anak Yon Koeswoyo), Damon (anak Tony Koeswoyo) dan Rico (anak Murry / drummer Koes Plus) mengeluarkan pernyataan melalui instagram, yang melarang grup musik Ti Koes membawakan lagu-lagu Koes Plus. Penyebabnya mereka merasa tersinggung, karena Ti Koes tidak membela / meluruskan, ketika seorang purnawirawan merendahkan keturunan keluarga Koes Plus dalam bermusik. Sehingga kesempatan untuk “melestarikan” lagu-lagu karya Koes Plus yang sangat banyak dilakukan oleh grup musik lain. Salah satunya Ti Koes.
Sebetulnya masih ada beberapa grup musik lagi pelestari lagu-lagu Koes Plus selain Ti Koes. Yakni Neo Jibles dari Purwokerto, Koes on Seven dari Malang, JNBK Community dari Bandung, dan Ji Plus dari Semarang. Cuma dalam pernyataan Sari bersama sepupunya dan anak Mury, hanya Ti Koes yang dilarang membawakan lagu-lagu Koes Plus baik dalam bentuk komersil maupun non-komersil.
Yang jadi pertanyaan adalah, benarkah anak-anak keturunan personil Koes Plus melarang Ti Koes hanya gara-gara marah karena personil Ti Koes tidak membela ketika ada pihak lain yang merendahkan mereka?
Jawabnya bisa iya, bisa pula tidak. Masa’ hanya gara-gara pernyataan orang lain yang merendahkan, dan personil Ti Koes tidak membela, sampai begitu jauh dampaknya. Pelarangan itu jelas akan menutup sumber rejeki personil Grup Ti Koes — jika itu satu-satunya (membawakan lagu-lagu Koes Plus) sumber nafkah mereka.
T Koes sendiri merupakan sebuah grup band yang terdiri dari tiga bersaudara, Fajaru Al Azhari, Galifa Al Baladi serta Jim Qory Al Ghifari, dan juga ayah mereka, Agusta, yang menduduki posisi sebagai drummer. Grup ini didirikan pada 2007 silam dan kala itu para personelnya masih duduk di Sekolah Dasar.
Berbekal kibor seharga Rp.300 ribu, Agusta Marshall mengajar anak-anaknya memainkan musik dan menyanyikan lagu-lagu Koes Plus. Konon Agusta sejak lama dekat dengan anggota Koes Plus Yon Koeswoyo. Dalih Agusta ketika itu adalah, agar anak-anak muda tidak hanya menggemari lagu-lagu barat, tetapi harus mencintai lagu-lagu negeri sendiri seperti milik Koes Plus.
Ternyata grup yang diberinama Ti Koes cukup sukses membawakan lagu-lagu Koes Plus. Mereka mulai kebanjiran order dari mana-mana, terutama untuk kegiatan off air. Maklum penggemar fanatik Koes Plus masih banyak.
Keberhasilan itu ikut membangkitkan ekonomi keluarga mereka, dan mengangkat kehidupan Agusta dan anak-anaknya yang pernah tersungkur karena gagal dalam bisnis. Sebagai rasa syukur, Ti Koes juga kerap berbagi untuk kegiatan amal dan membantu korban bencana.
Harus diakui, berkat grup-grup musik pelestari lagu-lagu Koes Plus, nama Koes Plus masih tetap dikenang, dan lagu-lagunya masih sering terdengar. Dan para pelakunya juga mendapatkan manfaat ekonomi dari kegiatan tersebut.
Anak-anak personil Koes Plus juga banyak yang terjun ke dunia musik. Chicha dan Sari ketika kecil menjadi penyanyi cilik yang digemari. Damon sampai saat ini masih bermusik, walau kerap tampil di panggung musik rock. Anak-anak personil Koes Plus juga pernah membawakan lagu-lagu Koes Plus yang legendaris, tetapi mereka tidak sesukses pemusik-pemusik non keliarga Koes Plus seperti Ti Koes dan lain-lain.
Pelarangan Sari Yok Koeswoyo bersama sepupu-sepupunya dan anak Murry melarang Ti Koes membawakan lagu-lagu Koes Plus, tentu akan sangat merugikan baik bagi Ti Koes atau kelestarian lagu-lagu Koes Plus sendiri. Terlepas dari sikap Ti Koes sebagaimana yang dituduhkan, grup musik ini telah ikut berjasa menjaga nama Koes Plus dan melestarikan lagu-lagu Koes Plus.
Penulis mencoba melihat lebih jauh mengapa pelarangan itu sampai terjadi. Bisa jadi ada motif ekonomi di balik ini semua. Ti Koes bisa hidup dan berkibar namanya karena membawakan lagu-lagu Koes Plus. Tetapi apa dampak ekonominya bagi keluarga Koes Plus sebagai pewaris karya cipta orangtua mereka. Apakah Ti Koes sudah berbagi? Mereka membayar royalti yang sesuai dengan keinginan keluarga Koes Plus? Nah ini yang perlu diluruskan. Jangan sampai Ti Koes menikmati keuntungan dari jerih payah orang lain, tetapi pemilik haknya tidak dapat apa-apa. Ibarat pepatah, “Kerbau punya susu, sapi punya nama”. Grup Ti Koes atau lainnya yang membawakan lagu-lagu Koes Plus tidak boleh hanya berlindung di balik kata pelestari, seperti yang selama ini dimaklumkan.
Sebelum muncul pelarangan oleh anak-anak keluarga Koes Plus, Ahmad Dhani pernah melarang Once Mekel membawakan lagu-lagu Dewa, jika tidak berijin dan berbagi penghasilan secara proporsional. Once Mekel mengaku sudah membayar royalti sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Gitaris Grup Padi Piyu juga melarang Ari Lasso membawakan lagu-lagunya tanpa ijin. Alasan Piyu, dia tidak mendapatkan keuntungan yang cukup dari lagu-lagu ciptaannya yang dibawakan orang lain. Setahun ia mengaku hanya mendapat royalti sebesar Rp.130 ribu dari Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang mengumpulkan dan membagi royalti kepada para pencipta lagu.
Jika hanya berpegang pada UU Hak Cipta, pendapatan antara users dan pencipta memang sangat timpang. Misalnya Arie Lasso dalam sekali tampil dibayar Rp.300 juta, sedangkan pencipta hanya dapat Rp.130 ribu / tahun, seperti diungkapkan Piyu.
“Saat ini, pada sejumlah pasal di UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terdapat ketimpangan dan bertentangan satu dengan yang lainnya,” tutur Doadibadai Hollo atau yang dikenal dengan sapaan Badai eks Kerispatih, pada Focus Group Discussion (FGD) Pembahasan Rancangan Peraturan Perundang – Undangan terkait Pengelolaan Hak Ekonomi Pencipta/Pemegang Hak Cipta atas Penggunaan Karya Cipta Lagu pada Layanan Publik Bersifat Komersil di Hotel Gran Melia, Jakarta tanggal 11 Mei 2023.
Para komposer merasa pemanfaatan lagu dan/atau musik (hak ekonomi) tetap harus mendapatkan izin dari pencipta/pemegang hak cipta. Hingga sampai saat ini para komposer/pencipta lagu masih merasa dirugikan secara ekonomi dan/moral karena banyak performer telah memanfaatkan lagu/musik tanpa izin.
Dari kasus antara Ahmad Dhani vs Once Mekel, Piyu vs Ari Lasso, dan terakhir antara anak-anak Koes Plus melawan Ti Koes, memang harus ada keseimbangan baru dalam pembagian penghasilan yang perlu diatur dalam Undang-undang. Pengawasan dan penegakkan hukumnya juga perlu diperketat. Jangan sampai pencipta hanya mendapatkan bagian yang jumlahnya justru jauh lebih kecil daripada saweran di panggung dangdut dari LMK. Itu pun kabarnya suka tak jelas. Sementara jumlah LMK terus bertambah. (herman wijaya)