13. HARI TUA
MAS TOM dan saya agak heran ketika melihat Mas Ar mengambil sebatang rokok milik Mas Tom yang ditaruh di meja. Menciumnya, kemudian mengambil korek dan menyalakannya.

“Kamu merokok?” tanya Mas Tom terkesan heran, juga kaget melihat Mas Ar merokok.
“Sejak Dien demensia, saya beberapa kali merokok. Tidak pernah beli. Hanya kalau ada teman yang datang dan merokok,” jawab Mas Ar. Asap rokok itu tidak diisap ke dalam kerongkongan. Hanya dikulum di mulut, lantas dikeluarkan, seperti orang mengisap cerutu.
“Kenapa kamu merokok?” tanya Mas Tom menegaskan.
“Iseng saja. Ternyata merokok itu enak juga. Saya belum bisa menikmati. Tapi rasanya jadi lebih tenang, tidak gelisah, tidak bingung,” sahut Mas Ar.
“Tapi sebaiknya nggak usah merokok, Mas Ar. Sampai umur 82 Mas Ar kan tidak pernah merokok. Paru-paru masih bersih. Sayang kalau sampai dirusak asap rokok,” kata saya memberi saran, terdengar ganjil, sekedar basa-basi.
Mas Ar tertawa. Mengisap rokok, terbatuk, dan baru menyahut, “Ya, secara fisik saya memang sehat. Sangat sehat, sehingga saya bisa dengan baik merawat Dien. Saya merasa beruntung bisa kuat merawat Dien yang setelah demensia benar-benar tergantung pada saya. Memandikan, memakaikan baju, menyuapi, menidurkan, menjemurnya setiap pagi, dan banyak lagi lainnya. Perlu fisik yang kuat untuk melakukan itu di usia saya yang sudah 82 tahun ini. Lalu apa salahnya merokok seminggu sekali supaya saya tidak selalu gelisah, tidak selalu bingung?”
“Kenapa selalu gelisah? Kenapa selalu bingung?” tanya Mas Tom, membuang rokok dan menyalakan yang baru.
Mas Ar menunduk, jemarinya mempermainkan rokok, “Tidak tahu. Mungkin karena saya uzur. Tapi, setelah Dien demensia, secara psikis saya merasa tidak seperti dulu lagi. Saya kehilangan tempat bersandar. Mungkin karena saya dulu sangat tergantung pada Dien, terlalu mengandalkannya. Kamu kan juga tahu, Tom…, apa yang dulu dilakukan Dien terhadap saya. Sejak Dien demensia, semuanya terbalik. Kadang saya merasa tidak siap menghadapinya. Ini hari tua yang tak pernah terbayangkan. Tak pernah terpikirkan….”
“Kamu mungkin perlu meminta kedua anakmu datang membantumu. Kamu sudah memberitahu mereka bagaimana kondisi Dien?” tanya Mas Tom.
Mas Ar menggeleng. “Mereka pernah sekali datang ke sini, waktu demensia Dien belum separah ini. Saya sengaja tidak memberitahu mereka kondisi Dien jadi begini. Ini hidup saya. Saya dan Dien sudah sepakat untuk tidak menganggu kehidupan mereka. Sisa hidup saya tinggal berapa lama lagi sih? Saya akan menjalaninya. Merawat Dien semampu saya. Di hari tua ini, saya ingin membalas kebaikan Dien. Saya bahkan tidak lagi memutar piringan hitam klasik yang saya sukai, karena entah kenapa selalu membuat Dien menangis. Sudah hampir setahun saya tidak mendengar Bethoven, Mozart…, tidak apa-apa. Untunglah dalam kondisi seperti ini ada Bu Susan. Perempuan itu sering datang menemani Dien…, menyemangati saya….”
Mendengar nama Bu Susan disebut, saya melirik Mas Tom yang menarik napas dalam-dalam. Mas Ar mengisap rokoknya, seperti mengisap cerutu. ***