Home / Esai

Selasa, 14 Desember 2021 - 17:02 WIB

Buah Simalakama untuk Santriwati Korban Rudakpaksa Pimpinan Ponpes di Bandung

Pepatah “Sudah jatuh ketiban tangga” rasanya tidak cukup untuk menggambarkan penderitaan 12 orang santriwati yang dirudakpaksa oleh Herry Wirawan, pimpinan pondok pesantren di Bandung.

Bahkan jika di atas tangga itu terdapat sekeranjang penuh durian, yang jatuh bersama dengan tangga, itu pun belum cukup.

Betapa tidak gadis-gadis yang dikirim orangtuanya untuk menimba ilmu yang akan menjadi bekal ke sorga kelak, ternyata mendapati neraka dunia.

Para gadis belia itu bukan saja kehilangan kegadisan mereka, yang menyuramkan masa depannya, juga aib dan beban berkepanjangan. Apakah itu disebabkan trauma berkepanjangan, maupun beban sebagai ibu muda yang harus merawat anak yang lahir bukan dari hasil pernikahan yang sah.

Kejiwaan mereka benar-benar hancur. Mereka terperangkap dalam sebuah situasi dan kondisi yang tidak dipahami, atau diinginkan.

Baca Juga  Jalan Masih Panjang

Sebagai perempuan belum menikah, mereka tidak bisa lagi menjalani kehidupan sebagai individu yang bebas, karena ada anak yang harus diasuh, darah dagingnya sendiri, meski pun kehadiran bayi-bayi tak berdosa itu bukan keinginan mereka.

Sebagai santriwati yang pernah memperdalam ilmu agama, maupun pelajaran moral di pesantren, sudah barang tentu berat bagi mereka untuk menyingkirkan begitu saja jabang bayi yang lahir dari rahim mereka. Apalagi kini sudah diketahui khalayak, bahwa bayi-bayi yang selama ini mereka susui, mereka rawat adalah anak mereka.

Memang banyak kasus kita temui, terjadinya upaya pengguguran kandungan secara paksa — banyak praktek dokter ilegal atau dukun beranak yang bisa melakukan itu — bahkan tidak sedikit ibu muda yang membunuh bayi hasil hubungan gelap akibat sang pacar tidak bertanggungjawab.

Baca Juga  Sekutu Presiden Duterte, Pastor Quiboloy Tersangka Perdagangan Seks Perempuan di Bawah Umur!

Bagi 12 santriwati dari Bandung yang sudah merawat bayi atau anak hasil pembuahan paksa dari pimpinan pondok pesantrennya, rasanya tidak mungkin melakukan perbuatan keji itu.

Kini mereka harus memakan buah simalakama yang sangat pahit. Tidak dirawat, anak itu lahir dari rahimnya sendiri, dirawat akan membuat mereka harus menanggung penderitaan berkepanjangan.

Tidak mudah menghadapi lingkungan sosial yang masih hipokrit, masyarakat yang suka bergunjing, lebih suka mengurus urusan orang lain ketimbang urusan sendiri. Penderitaan juga dirasakan oleh orang tua mereka, dan mungkin juga anak-anak yang dilahirkan, jika anak-anak itu sudah sadar siapa dirinya kelak. Stigma buruk dan vonis tanpa pengadilan dari masyarakat seringkali sangat kejam.

Baca Juga  Menjemput Lumut!

Untuk menyelamatkan ke-12 santriwati korban ruda paksa pimpinan pondok pesantren di Bandung itu, semua pihak yang memiliki konsentrasi terhadap penanganan kasus serupa, harus segera bertindak, dengan melakukan trauma healing, dan mencarikan jalan ke luar terbaik bagi para perempuan beliau yang sedang terperangkap itu.

Lembaga-lembaga seperti KPAI dan lembaga keagamaan juga harus bekerja sama untuk menangani kasus ini, agar para santriwati korban pimpinan pondok pesantren itu tidak merasa sendirian menanggung beban. Mereka harus dikuatkan agar tetap memiliki harapan untuk menghadapi masa depannya.

Jangan biarkan mereka terus terhimpit tangga yang menimpanya.

Oleh : Herman Wijaya

Share :

Baca Juga

Esai

Terapi Pijat ke Pak Wiwin Cimacan

Esai

Mengenang Hilman Lupus

Esai

“Mendung Bukan Berarti Hujan. Kawan, Mari Kita Bernyanyi”

Esai

Ransom Ware, siapa berani lawan?

Esai

Orang Film

Esai

Negara Asyik yang Terasa Asin

Esai

Alarm Stroke

Esai

PT KAI Line di Stasiun Bogor