Mahkota bagi seorang wartawan adalah buku yang ditulisnya. Sebagai wartawan, Alex Palit telah berhasil menulis 8 judul buku, yang merupakan catatan jurnalistiknya tentang dunia musik dan politik di Indonesia, terutama mengenai pandangannya tentang sosok seorang Prabowo Subianto.
Jauh sebelum Prabowo mendapat angin, kemudian memenangkan Pilpres 2024 bersama Gibran Rakabuming — setidaknya begitu menurut hasil survey — Alex Palit telah mendukung Prabowo Subianto melalui tulisan-tulisannya. Dia melakukannya sejak Prabowo Subianto berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri dalam Pilpres tahun 2004.
“Waktu itu aku tidak kenal beliau. Melihat dirinya secara langsung saja tidak pernah. Tapi aku melihat ada sesuatu dalam diri beliau. Makanya aku tuangkan dalam tulisan-tulisanku di media,” kata Alex Palit, keturunan Manado yang kental logat Jawa Timurannya bila berbicara, karena ia lahir dan besar di Probilinggo, Jawa Timur.
Rupanya tulisan-tulisannya tentang Prabowo dibaca oleh mantan Danjen Kopassus itu. “Suatu hari ada orang meneleponkan, menanyakan apakan aku kenal Pak Prabowo? Ya aku bilang aja kenal. Orang itu lalu bertanya lagi, apakah aku bersedia diundang makan oleh Pak Prabowo? Aku jawab mau! Setelah itu HP dimatikan, kemudian dia sms, besok aku ditunggu di sebuah Pom Bensin di Sentul, dan akan dijemput di sana,” tutur Alex.
Besoknya dia berangkat ke tempat yang ditentukan. Ternyata benar dia dijemput, dan diajak ke Hambalang, untuk makan bersama Prabowo. Alex Palit sudah dua kali diundang makan bersama Prabowo Subianto di Hambalang.
“Dalam bayanganku dulu, beliau adalah orang yang galak. Aku sempat khawatir dilempar dengan piring ketika bertanya hal sensitif. Karena aku sempat bertanya soal kasus penculikan yang menghebohkan itu. Dia tidak marah. Dia menjelaskan dengan tenang. Menurutnya saat itu ada operasi intelijen untuk menangani aktivis pro demokrasi. Jadi bukan cuma dari Kopassus saja yang bergerak. Dan menurutku, TNI itu kan sifatnya komando ya. Di atasnya kan masih ada KSAD, ada Pangab, bahkan Panglima Tertinggi. Tapi Pak Prabowo mengambil tanggungjawab, tanpa melibatkan pihak lain,” papar Alex.
Saat ini, ketika terjadi hiruk-pikuk orang ramai mendukung Prabowo, apalagi kemudian banyak yang merasa berjasa terhadap kemenangannya dalam Pilpres 2024. Alex Palit fade-out dari keriuhan itu. Apalagi telepon Prabowo sudah tidak bisa dihubungi lagi.
“Mungkin beliau sibuk. Apalagi situasinya seperti sekarang ini kan?” katanya.
Alex Palit memang bukan tipe jurnalis yang selalu menyorongkan wajah agar dikenal atau diperhatikan. Bahkan keuntungan materi juga diabaikan, jika itu tidak sesuai hati nuraninya.
Oleh seorang teman wartawan yang kini sudah almarhum, dia pernah diminta menciptakan lagu untuk Setneg. Dari hasil kerjanya itu Alex mengaku mendapat imbalan yang lumayan. Kemudian ia diminta lagi menulis buku tengang succes story Presiden RI ke-7 dalam membangun jalan tol. Alex menolak. Padahal bayarannya, menurut dia, fantastis.
“Lha aku disuruh menulis tentang jalan tol, mana aku tahu. Aku kan tidak punya mobil, aku tidak pernah nyetir lewat jalan tol, mana aku ngerti soal itu? Tawaran itu aku tolak sampai teman kita yang wartawan itu kecewa. Padahal tidak semua orang bisa dapat kesempatan itu,” kata anak serdadu yang memilih hidup sebagai wartawan ini.
Lelaki berusia 63 tahun ini memang memilih untuk jadi dirinya sendiri. Setelah tidak menjadi wartawan di suratkabar Surya / Persda Kompas, dan mengelola majalah rock milik promotor musik Log Zhelebour, Alex menjadi citizen journalist. Lalu menekuni hobinya mencari bambu unik. Ke mana pun dia pergi, selalu membawa gergaji kecil di tasnya.
“Beberapa kali gergajiku disita di bandara. Begitu turun aku langsung cari toko bangunan untuk beli gergaji. Pokoknya kalau jalan sama isteriku, begitu aku menghilang, dia tahu pasti aku ada di bawah pohon bambu.”
Alex Palit lalu mendirikan Komunitas Penggemar Bambu Unik Indonesia. Bambu-bambu unik miliknya ternyata banyak yang meminati, dengan harga yang lumayan. Pernah salah satu bambunya mau dibeli seseorang dengan harga puluhan juta. Nomor rekeningnya diminta dan dia diminta untuk mengantarkannya ke bandara di Riau. Tetapi menjelang keberangkatan, dia mendengar suara misterius yang sangat jelas di kupingnya, “Pak aku tidak mau naik pesawat!”. Transaksi itu pun dibatalkannya.
Dalam pencariannya terhadap makna kehidupan, Alex lalu memutuskan untuk menjadi pembersih komplek makam kramat di Jakarta Timur. Yakni makam Pangeran Sangiang, yang berada di sebelah makam Pangeran Jayakarta.
“Aku ingin merasakan bagaimana rasanya jadi orang tidak punya. Tiap hari aku menyapi areal makam, kadang disuruh beli kopi atau rokok oleh pengunjung, kadang parkir kendaraan pengunjung. Nah di situ aku merasakan, oh begini rasanya orang tidak punya,” kata suami dari seorang wanita yang bekerja di perusahaan kontraktor ini.
Di waktu luangnya, Alex menulis buku, menerbitkan dan memasarkannya sendiri. Tetapi tidak sedikit teman-temannya yang diberikan secara gratis. Itulah sebabnya Alex mengaku bukan tipe orang berduit. Di dompetnya sering berisi tidak lebih dari Rp.15 ribu. Yang penting kalau dia naik sepeda motor, bisa bayar parkir.
“Yah untung isteriku bekerja. Jadi urusan kebutuhan rumah, masih bisa tertanggulangi,” kata anak serdadu yang memilih hidup sebagai jurnalis dan penulis ini.
Alex mengakui hidup sebagai jurnalis hanya pas-pasan saja. Syukur masih bisa bernapas sampai hari ini. Pernah dia direkrut oleh sebuah partai politik, dan berada di kepengurusan pusat. Tapi dia merasa jengah, karena yang dibicarakan orang politik ada tentang bisnis, bukan program untuk mensejahterakan masyarakat. Alex merasa tidak sanggup menggadaikan idealisme. Cara berpikir kuno sebenarnya. Bukankah mayoritas wartawan sudah menggadaikan idealismenya? Sangat sedikit jurnalis yang memiliki idealisme seperti Alex Palit. Dia benar-benar unik dan otentik.
Satu hal yang disyukuri Alex Palit, anak-anaknya bisa bersekolah dengan baik. Yang sulung baru saja berangkat ke Jepang untuk menjalani kuliah di sana setelah mendaapat beasiswa saat kuliah S2 di ITB, yang kedua sudah semester 7 di UGM Yogyakarta, dan si bungsu kuliah di Universitas Airlangga Surabaya.
“Kalau hitung-hitungan matematik bagaimana aku harus membiayai, ya enggak ketemu. Mulai biaya kuliah sampai biaya kost, dari mana uangnya? Tapi aku percaya misteri kehidupan. Kalau kita punya tekad dan anak-anaknya juga punya semangat, Tuhan akan memberikan jalan buat kita,” kata Alex sambil mengisap rokoknya.
Dia tidak puasa. “Kalau ada orang puasa, aku selalu jadi setannya. Tapi orang puasa kan harus diuji. Kalau kita sedang puasa, lalu orang lain kita paksa puasa atau tidak boleh jualan dengan alasan bisa mengganggu kekhidmatan puasa, lebih baik setelah sahur orang itu tidur saja, lalu bangun menjelang berbuka. Kan aman, puasanya tidak terganggu,” kata Alex sambil terkekeh. (hw)