Jakarta, Defacto – Indonesia dikenal sebagai negeri kaya raya. Dari tambang emas, batu bara, nikel, hingga hutan tropis dan laut yang luas—semua tersedia. Ironinya, negara justru menanggung utang ribuan triliun rupiah.

Sementara itu, perusahaan-perusahaan besar, baik lokal maupun asing, bisa tumbuh, untung besar, bahkan punya strategi jangka panjang. Pertanyaan kritisnya: mengapa negara dengan kekayaan melimpah justru terjerat utang?
Kaya Sumber Daya, Miskin Pengelolaan
Masalah utama Indonesia bukan pada kekayaan alamnya, melainkan pada cara mengelolanya. Kontrak tambang dan migas sering lebih menguntungkan pihak asing atau segelintir oligarki. Akibatnya, keuntungan besar mengalir keluar negeri, sementara rakyat dan pemerintah hanya mendapat sisanya.
Bank Indonesia mencatat, per Mei 2025, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia sudah mencapai USD 435,6 miliar, dengan utang pemerintah sebesar USD 209,6 miliar, dan rasio ULN terhadap PDB berada di kisaran 30–31%. Meski pertumbuhan ULN swasta cenderung melambat, ULN pemerintah justru tumbuh sekitar 9,8–10% year-on-year.
Perusahaan bisa untung karena disiplin, efisien, dan punya strategi jelas. Negara seharusnya bisa meniru. Tetapi birokrasi gemuk, kepentingan politik, dan tata kelola yang lemah membuat kekayaan nasional tidak memberi manfaat maksimal bagi rakyat.
Korupsi, Luka Bangsa yang Tak Pernah Sembuh
Korupsi adalah penyebab utama kebocoran aset negara. Uang rakyat yang seharusnya dipakai untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur malah berakhir di rekening pribadi para pejabat atau pengusaha nakal.
Di tahun 2022, negara mengalami kerugian sekitar Rp 48,786 triliun akibat korupsi. Namun, pengembalian melalui pidana tambahan uang pengganti hanya 7,83%, atau sekitar Rp 3,821 triliun. Artinya, sebagian besar kerugian negara tidak kembali.
Wajar jika publik menuntut agar koruptor tidak hanya dipenjara, tapi juga dirampas hartanya hingga dimiskinkan. Hukuman berat adalah cara paling efektif untuk memberi efek jera.
RUU Perampasan Aset: Harapan atau Ancaman?
Belakangan, pemerintah dan DPR menggulirkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Secara prinsip, ini adalah langkah maju. Negara butuh senjata hukum untuk mengejar kekayaan hasil korupsi, pencucian uang, atau kejahatan serius lainnya.
Ketua KPK Setyo Budiyanto menegaskan, “RUU Perampasan Aset dapat membuat upaya pemberantasan korupsi menjadi lebih efektif, terutama dalam mendukung pemerintah memulihkan aset yang telah dikorupsi demi menyejahterakan masyarakat Indonesia.”
Namun, muncul kekhawatiran bahwa aturan ini juga bisa menyasar warga biasa yang kesulitan membuktikan asal-usul hartanya. Jika tidak hati-hati, RUU ini bisa berubah menjadi alat represif. Padahal, sasaran utamanya harus jelas: para koruptor dan pejabat publik yang menyalahgunakan jabatan.
Jalan Keluar: UU Pembuktian Terbalik
Solusi yang lebih tepat adalah mendorong Undang-Undang Pembuktian Terbalik. Dengan aturan ini, setiap pejabat, politisi, dan penyelenggara negara wajib membuktikan asal-usul kekayaannya. Jika tidak bisa, negara berhak merampas.
Konsep ini adil, karena rakyat biasa tidak perlu khawatir hartanya dirampas, sementara pejabat publik yang hidup dari uang negara dipaksa transparan. Koruptor akan benar-benar takut, sebab bukan hanya masuk penjara, tetapi juga kehilangan seluruh harta hasil kejahatannya.
Prof. Sri Herianingrum, pakar ekonomi Universitas Airlangga, bahkan mengingatkan bahwa lonjakan utang pemerintah hingga 36% pada 2024 adalah sinyal peringatan. Tanpa pengelolaan yang baik, utang bisa menjadi beban berat di masa depan.
Indonesia tidak miskin, yang miskin adalah tata kelolanya. Selama korupsi merajalela, selama kebijakan lebih berpihak pada elite, selama pemerintah enggan menegakkan pembuktian terbalik, ironi ini akan tetap ada: negara kaya sumber daya, tapi selalu berhutang.***









