Oleh: Laksamana Sukardi

Ketika Bupati Pati Sudewo mengatakan:”Saya tidak akan mundur, karena Saya dipilih oleh rakyat!” Sudewo benar bahwasanya dia dipilih rakyat melalui pemilihan langsung, akan tetapi dia lupa atau tidak menyadari bahwa dipilih rakyat bukan berarti bisa mengambil keputusan yang tidak membela kepentingan rakyat, seperti yang dia lakukan, menaikan pajak bumi dan bangunan di kabupaten Pati, Jawa Tengah sehingga menuai protes rakyat mendesak Sudewo turun.
Fenomena Sudewo, Bupati Pati, merupakan fenomena yang juga terjadi pada beberapa abad sebelum masehi, yaitu sejarah yang penuh dengan kisah raja dan penguasa yang kehilangan kekuasaan karena terisolasi dari rakyatnya—mengabaikan penderitaan mereka, tenggelam dalam kehidupan istana, atau hanya percaya pada pujian para penasihat yang menjilat. Polanya sangat mirip: begitu seorang pemimpin kehilangan kedekatan dengan kenyataan hidup rakyatnya, legitimasinya terkikis.
Contohnya;
- Raja Rehabeam dari Yehuda (abad ke-10 SM).
Ketika Salomo wafat, putranya Rehabeam menjadi raja. Rakyat meminta agar beban dan pajak yang berat dikurangi. Alih-alih mendengarkan nasihat para tetua, ia mengikuti saran teman-temannya di sekelilingnya dan menjawab dengan keras: “Ayahku menghajar kamu dengan cambuk, tetapi aku akan menghajar kamu dengan cambuk berduri.”
Akhirnya Raja Rahabeam mengalami kejatuhan. Wilayah kekuasaannya menyusut drastis dalam sekejap karena mengabaikan keluhan rakyat dan banyak provinsi memisahkan diri.2. Tarquinius Superbus – Raja Terakhir Roma (akhir abad ke-6 SM). - Apa yang terjadi: Tarquin yang Sombong memerintah sebagai tiran, mengelilingi dirinya dengan lingkaran kecil kaum elit penjilat dan mengabaikan penasehat independen serta rakyat biasa. Kesombongannya, ditambah penyalahgunaan kekuasaan oleh keluarganya (terutama peristiwa yang melibatkan putranya Sextus dan wanita bangsawan Lucretia), membuatnya dijauhi baik oleh bangsawan maupun rakyat. Akhirnya timbul pemberontakan dipimpin oleh Lucius Junius Brutus yang menggulingkannya pada 509 SM, kemudian sistem kerajaan dihapus berganti menjadi Republik Romawi.
- Kaisar Commodus dari Roma (abad ke-2 M) Commodus mengabaikan urusan pemerintahan, lebih suka bermain sesuai hobinya sebagai gladiator dan mengelilingi dirinya dengan penjilat. Senat, para pemimpin militer, dan rakyat sama-sama melihatnya sebagai penguasa yang terlepas dari realitas. Akhirnya terjadi kekacauan di Istana dan Commodus dibunuh pada tahun 192 M.
Pelajaran yang penting dari sejarah kejatuhan raja-raja atau penguasa tersebut adalah adanya pola yang berulang dalam kejatuhan mereka, yaitu:
• Terisolasi dari kebenaran: Hanya mendengarkan para pengikut setia, para penjilat dalam lingkaran kekuasaan yang sedang menikmati kekuasaan. Suara rakyat biasa diabaikan
• Terlalu percaya diri: Menganggap kesetiaan rakyat bersifat permanen dan kontinuitas kekuasaan dapat direkayasa dengan uang.
• Hidup berlebihan: Menghamburkan sumber daya untuk kemewahan atau proyek megah sambil mengabaikan kebutuhan rakyat mendesak.
• Kekerasan dan intimidasi: Menggunakan ketakutan alih-alih kompromi, yang semakin menjauhkan rakyat. Hukum dijadikan alat untuk membungkam kritik dan lawan politik
• Mengabaikan tanda bahaya: Ketika keresahan mulai terlihat, biasanya sudah terlambat untuk memperbaikinya.
Dari zaman kuno sampai zaman modern peradaban manusia, sejarah masih terus berulang tanpa adanya pembelajaran.
Contoh yang sangat mengkhawatirkan di Indonesia saat ini, yaitu adanya perdebatan mengenai “Indonesia Terang” dan “Indonesia Gelap”
Belajar dari sejarah, perdebatan yang terjadi merupakan debat yang dilandasi oleh perbedaan nasib yang timpang, yaitu ibaratnya debat antara dua kelompok orang yang berada dalam ruangan yang berbeda dan saling terisolasi. Satu ruangan diatas, terang benderang dan ruangan lainnya dibawah, gelap gulita.
Oleh karena itu kedua-duanya merasa benar, karena kenyataannya memang benar bahwa “Terang diatas dan gelap dibawah!”
Fenomena Sudewo (Bupati Pati, 2025), Rahabeam (Kerajaan Yehuda, abad -10 SM), Tarquinius (Raja Roma terakhir, abad-6 SM) dan Commodus (Kaisar Roma, abad-2M) merupakan pengulangan sejarah terjadinya isolasi kebenaran, yaitu penguasa diatas merasakan masa depan yang terang benderang karena memiliki banyak privilese kenikmatan sedangkan rakyat dibawah melihat masa depan yang gelap gulita karena hidup penuh kesulitan. Dengan kata lain; “Terang diatas dan gelap dibawah” berarti penguasa tidak merasakan kesulitan rakyat dibawah.
Jika tidak ingin sejarah buruk peradaban manusia berulang, Indonesia harus mengalami “Terang diatas dan terang dibawah” artinya yang diatas harus mau menyelam kebawah untuk melihat adakah “terang dalam kegelapan”. Kita harus berdebat dalam satu ruangan yang sama dan cahaya lampu yang sama.