07. RUANG BATIN
Jam dinding berkeloneng. Pukul sebelas siang. Sudah hampir satu jam saya mendengarkan kisah Mas Tom, duda berusia 80 tahun itu. Kisah yang sering terjadi, sering dialami oleh pasangan suami istri dalam pelbagai versi tapi intinya kurang lebih sama. Perselingkuhan. Dinamika kehidupan rumah tangga dan gejolak romantika perkawinan yang lazim dijalani pasangan suami istri dan, apa boleh buat, harus ikut ditanggung anak-anaknya.

“Sejak melewati titik genting itu, saya seratus persen berhenti selingkuh. Saya berjanji pada diri sendiri, diam-diam bersumpah untuk tidak berselingkuh lagi. Saya tidak merasa sebagai suami atau laki-laki istimewa, yang memutuskan untuk setia pada Ning. Saya berhasil mengalahkan keinginan untuk selingkuh dengan cara masuk ke ruang batin, sebuah tempat di mana saya bisa melakukan instrospeksi, berdialog dengan ego, perasaan dan akal pikiran, dengan lebih tenang dan lebih hening. Perselingkuhan, saya kira, hanya suatu hal yang oleh laki-laki dianggap biasa, lazim dan wajar dilakukan. Hal yang bukan saja dianggap sesuatu yang biasa, tapi bisa berkembang menjadi kebiasaan. Dan di ruang batin itu saya bertemu dengan pertanyaan, bagaimana jika misalnya Ning yang selingkuh? Apakah itu juga hal biasa?” kata Mas Tom, dan asap rokok dihembuskan jauh-jauh.
Saya manggut-manggut, menyalakan rokok, dan memilih diam. Saya ingin mendengar lebih banyak. Saya ingin mendengar pergulatan pemikiran atau entah apa namanya dari Mas Tom, lelaki yang punya pengalaman sembilan tahun lebih banyak dari umur saya. Tapi, karena Mas Tom juga diam, saya memancingnya dengan pertanyaan remeh.
“Apakah Mbak Ning tidak pernah tahu kalau Mas Tom selingkuh?”
Mas Tom tersenyum, menyedot rokok, lalu bicara kalem, “Saya tidak tahu persis. Saya tidak pernah mengaku pernah selingkuh. Ning juga tidak pernah bertanya soal itu. Tapi, saya kira, Ning tentu punya firasat, mimpi, atau apalah namanya, yang mungkin membuatnya menduga-duga, atau merasakan sesuatu yang aneh pada diri saya. Walaupun jika misalnya ditanya saya tidak akan pernah mengaku, karena kata orang jangan pernah mengakui perselingkuhan, tapi mungkin saja Ning tahu, setidaknya menduga-duga. Jadi, sewaktu titik genting itu lewat, saya instrospeksi di ruang batin, dan mulai memperbaiki diri. Saya pikir, saya mulai selingkuh karena punya uang, penghasilan sudah cukup, sudah bisa beli rumah, mobil, dan saya punya fasilitas untuk, antara lain, melepaskan libido pada perempuan lain. Saya pikir, saya selingkuh bukan karena tidak lagi mencintai Ning, melainkan cuma melampiaskan libido sampai titik genting.”
“Dan Mas Tom meninggalkan Mira begitu saja?” saya mendesaknya.
“Ya. Saya tinggal begitu saja. Kejam, memang. Tapi perselingkuhan, seks kilat maupun yang melibatkan emosi, cinta, memang kejam. Saya tinggalkan Mira, karena saya akan menjadi biadab kalau meninggalkan Ning dan ketiga anak saya. Saya memilih kejam daripada biadab. Itu pertimbangannya.”
Saya menarik napas dalam-dalam, mencoba memahami ucapan Mas Tom yang membuat kerongkongan saya agak sulit menelan ludah. ***