Defacto – Secara normatif wartawan tidak boleh berpihak ke manapun. Wartawan harus merdeka dari kepentingan apapun di luar tugas utamanya.
Apakah sekarang masih ada jurnalis yang merdeka? Rasanya sudah tidak ada. Wartawan sekarang sudah tunduk dengan kepentingan pengusaha.
“Wartawan sekarang lebih takut kepada pemilik media ketimbang kepada ayah dan Ibunya, bahkan kepada Tuhannya!” kata Prof Dr. Ibnu Hamad, Guru Besar Komunikasi UI, dalam diskusi bertajuk “Peran wartawan di tengah situasi Pilpres 2024”.
Diskusi diadakan oleh Aliansi Jurnalis Video (AJV) di sebuah hotel di Pancoran, Jakarta Selatan, Sabtu (11/11/2023) siang.
Selain Prof. Ibnu Hamad, pembicara lain adalah Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, Ketua Persatuan Wartawan Media Online Indonesia (PWMOI) H.M Jusuf Rizal, jurnalis senior, Nugroho Fery Yudho, dengan moderator Jurnalis RRI, Maulana Isnarto.
Menurut Prof Ibnu, ketidakmerdekaan jurnalis bukan fenomena baru, dan terjadi di seluruh dunia.
“Karena itu sebagai pembaca atau penonton, kita yang harus merdeka. Makanya, silahkan konsumsi semua berita yang ada. Mau lewat berita podcast, mau sosial media, mau dari berita online. Dan jadilah pembaca yang merdeka!”
Ketua Umum PWMOI HM. Yusuf Rizal, mengatakan, wartawan sekarang ini lebih nanyak memperhitungkan bagaiamana mendapat cuan. “Di atas semua itu, kepentingan politik para pemilik media, menjadi dominan. Dan ini mengurangi kemerdekaan dalam melihat dan menyajikan informasi secara jujur dan adil (Jurdil).”
Jurnalis senior Nugroho Fery Yudho menlihat, banyak yang berubah dari industry media belakangan ini. Zaman tahun 1980-an, pemimpin dan pemilik media rata-rata berprofesi sebagai jurnalis. Sebut saja BM Diah, Yacob Oetama dan Harmoko, misalnya.
Sedangkan Bivitri Susanti SH menyebut peran media harus ditempatkan kembali secara jujur dan adil dalam mengawasi pilpres mendatang. “Misalnya, kita tahu sekarang ini, meski ada KPU, Bawaslu, Panwaslu, banyak poster dan baliho dari pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang sudah bertebaran, meski belum masuk masa kampanye. Dan media mestinya harus bisa menyikapi kondisi ini!”
Usai diskusi diadakan pelantikan Pengurus AJV 2023 – 2026 oleh Ketua Dewan Pembina AJV Gilang Iskandar.
Pengurus AJV 2023 – 2026 terdiri dari melantik Chandra Nazirun (Ketua Umum), Dr. Rully Nasrullah (Sekjen), Puput Nurmawarni (Bendahara Umum) sebagai Pengurus Pusat AJV periode 2023-2026 di Hotel Amaris, Pancoran Jakarta Selatan (11/11) yang dilantik oleh Dewan Pengawas Erland Hidayat. (*/hw)
Jurnalisme Warga Dikutip Mainstream
“Sekarang ini, setiap orang bisa jadi pemimpin redaksi. Dan bikin kartu nama sebagai wartawan. Sehingga, kesadaran dan kemandirian pers tidak sebesar dulu,” kata Nugroho.
Perkembangan sosial media yang dengan sangat cepat, menurut Nugroho juga melahirkan setiap orang menjadi wartawan. Dan kemudian muncul pula istilah jurnalisme warga. “Di mana setiap orang bisa merekam sebuah peristiwa dan menyebarkannya,” kata Nugroho.
Namun, sayangnya dengan keterbatasan pengetahuan, mereka membuat berita tanpa dasar yang jelas seperti layaknya wartawan menulis berita, dengan patokan rumusan wartawan menulis berita yang harus memuat 5 W .
“Di sinilah muncullah istilah berita hoax, dan kebanyakan dibuat oleh pelajar dan mahasiswa. Awalnya, mereka tidak menyadari apa yang dibuat itu sebagai berita hoax. Mereka membuat berita tidak lengkap asal usulnya!”
Nugroho menyebut bersama AJV, ia kemudian masuk ke berbagai sekolah dan kampus, untuk memperkenalkan pola penulisan berita yang benar.
Dalam jangka panjang, Nugroho melihat jusrnalistik mainstream, harus bisa belajar dari pola jurnalisme warga. “Jujur saja, sekarang kondisinya terbalik. Banyak media mainstream belakangan ini yang mengambil (bahan) dari jurnalisme warga yang tersebar di sosial media. Ini harusnya membuat kita sadar, dan tidak berlebihan. Jangan juga membuat persyarat macam-macam. Seperti ujian kompetensi watawan yang tidak jelas!” katanya di tengah sekitar lebih dari 100 peserta diskusi, di antaranya 21 Mahasiswa BSI jurusan Broadscast.
Jujur dan Adil
Dalam konteks pilpres , di lapangan wartawan dan pemilik media faktanya sudah terkotak-kotak. “Harapan kita wartawan bisa kembali ke khitohnya, yang punya idealis tapi realistis!”
Sementara itu, dalam kaitan dengan profesi wartawan di AJV, Bivitri mengusulkan harus ada self regulation yang mengatur para anggota, “agar wartawan AJV bisa bekerja lebih professional dan mandiri, sehingga free and fair election dalam Pilpres bisa diterapkan,“ ujar Bivitri.