Home / Esai

Selasa, 18 November 2025 - 16:57 WIB

ZEITGEIST:SOEHARTO SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL

Oleh: Laksamana Sukardi

Menurut akademisi Halbwachs (1950) dan Assmann (2011), kepahlawanan bersifat selektif dan periodik. Karena itu, gelar pahlawan menonjolkan fase tertentu dari kehidupan seseorang, bukan keseluruhan perjalanan hidupnya.

Inilah alasan mengapa George Washington dipuji sebagai pendiri Amerika, meskipun memiliki budak. Nelson Mandela dihargai atas perjuangan anti-apartheid, bukan periode militannya.

Sementara itu teori: “Nation-building” Benedict Anderson (1983) menyatakan bahwa tokoh pahlawan dipilih untuk menstabilkan identitas nasional—bukan karena hidupnya sepenuhnya bermoral.

Dengan demikian, pertanyaannya bukan “Apakah dia sempurna secara moral?” tetapi “Apakah ia berguna secara simbolik bagi negara hari ini?”

Pertanyaan tersebut juga berlaku bagi Soekarno dan Soeharto.

Semua tradisi akademik menyimpulkan hal yang sama: Gelar Pahlawan Nasional Bersifat politik, selektif, dan episodik. Artinya, seorang pahlawan boleh memiliki masa hidup yang heroik dan juga mengalami fase yang tidak heroik, bahkan melakukan tindakan yang kelam, namun tetap dihargai atas kontribusi tertentu.

Individu yang kompleks tetap dapat dianggap pahlawan, karena yang dihargai adalah kontribusi tertentu.

KEGAGALAN REFORMASI

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto secara tidak langsung didukung dan dipengaruhi oleh kegagalan Reformasi.

Walaupun Reformasi di Indonesia berhasil secara politik, tetapi rapuh secara naratif.
Reformasi berhasil membongkar institusi otoriter, tetapi gagal menciptakan narasi ideologis pemersatu yang dapat menggantikan “gema pembangunan” Orde Baru, bahkan kekuatan gerakan Reformasi di Indonesia langsung terfragmentasi setelah tujuan awal tercapai yaitu lengsernya Soeharto dan terciptanya kebebasan politik.

Fragmentasi yang terjadi sangat jelas yaitu adanya kelompok nasionalis yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri, kelompok Islam Poros Tengah (Amien Rais), kelompok pengaruh Orde Baru (Golkar dan ABRI) kelompok Islam nasionalis dipimpin Gus Dur.
Mereka terpecah belah sejak dimulai Sidang Umum MPRRI hasil pemilu 1999.

Baca Juga  Mental Health Hantui Remaja RI Usia 10-17 tahun Capai 15,5 juta Orang

Kondisi ini menciptakan kevakuman, padahal politik, seperti alam, tidak pernah mentoleransi kevakuman, sehingga narasi Orde Baru (ketertiban, stabilitas, dan pembangunan) tetap menjadi satu-satunya cerita besar yang koheren. Apalagi Gerakan Reformasi tidak pernah menghasilkan alternatif yang sama kuat dan menarik.

Bagi banyak warga, terutama kelompok mayoritas yang kurang melek politik “kebebasan” dan “demokrasi” terasa abstrak, sedangkan kegagalan (biaya hidup tinggi dan korupsi) bersifat konkret.

Walaupun Reformasi memperluas kebebasan, tetapi kenyataannya sangat mengecewakan karena menghasilkan “Kartel Politik” dagang sapi, bagi-bagi rezeki dan jabatan, sehingga menciptakan korupsi yang tidak berbeda dengan zaman orde baru bahkan pada zaman Reformasi, korupsi telah menjadi pola hidup (way of life).
Sebaliknya, nostalgia Orde Baru yang menawarkan narasi sederhana (stabilitas, pembangunan, kemakmuran) muncul kembali ke permukaan merindukan mitos kepemimpinan kuat yang melahirkan kemajuan.

Sementara itu para pemimpin reformasi gagal menghasilkan:
Karya budaya ikonik; Simbol-simbol yang mudah diingat; Storytelling yang utuh tentang perjuangan demokrasi.

Oleh karena para pemimpin hasil Reformasi tidak memiliki memori kolektif yang membanggakan, maka narasi Orde Baru kembali mengkolonisasi kesadaran publik dan mendukung pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

Pasca-1998, koalisi reformis—yang dulu didukung mahasiswa, LSM, intelektual, dan buruh, mengalami fragmentasi, karena sebagian terkooptasi masuk ke dalam jaringan patronase dan kenikmatan kekuasaan. Bahkan menciptakan feodalisme baru.

Sebagai akibat dari kondisi tersebut, maka dukungan terhadap pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto tidak mendapat perlawanan yang berarti kecuali dari PDIP dan Megawati yang selalu mengandalkan narasi ikonik masa lalu Presiden Soekarno.
Dampaknya: citra Soeharto membaik, lalu kembali ke pusat imajinasi politik.

Baca Juga  TNI AD dan Bank Indonesia Bersinergi Bangun Sumber Air Bersih untuk Masyarakat

Disamping itu, faktor penting yang membuat kekecewaan adalah Reformasi gagal melahirkan penerus yang dapat mewujudkan elan perjuangan. Mereka bahkan lebih cenderung memilih keluarga sebagai penerus kepemimpinan.
Reformasi tidak pernah melahirkan figur karismatik dan pemersatu seperti Soekarno atau bahkan Soeharto yang kepemimpinannya tidak diperoleh karena keturunan.

Sebaliknya, reformasi justru membangun mitos haus akan kekuasaan dengan menciptakan kartel kekuasaan dan lebih memilih jalur autokrasi, akibatnya membuat Soeharto terkesan lebih baik.

PEMIMPIN KEDALUWARSA

Munculnya dukungan terhadap pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto juga disebabkan oleh para pemimpin Reformasi yang menjadi kedaluwarsa dimata generasi baru Indonesia.

Menurut teori Generational Replacement — Ronald Inglehart: Nilai dan aspirasi masyarakat berubah ketika generasi tua digantikan oleh generasi baru dengan preferensi politik, orientasi nilai dan identitas sosial yang berbeda.

Pemimpin yang berkuasa terlalu lama sering gagal menyesuaikan diri dengan pergeseran nilai antargenerasi, sehingga generasi muda melihat pemimpin Reformasi sebagai tidak relevan, disconnected, atau “masa lalu.”

Selain itu Samuel P Huntington dalam “Theory of Political Decay”berpendapat bahwa institusi politik yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial akan mengalami political decay (pembusukan politik).

Pemimpin Partai Politik yang berkuasa terlalu lama sering gagal mengikuti transformasi nilai, aspirasi kelas menengah, dan teknologi komunikasi, sehingga respon politik mereka menjadi tidak memadai; legitimasi melemah; kepemimpinan terlihat usang bagi generasi baru.

Baca Juga  Galeri Nasional Skotlandia Selamatkan Lukisan Langka Abad 18, Bergambar Wanita Kulit Hitam

Menurut teori “Iron Law of Oligarchy” — Robert Michels:
Organisasi (Partai Politik) yang dikuasai terlalu lama oleh satu kelompok pemimpin (dinasti politik) akan menjadi: kaku, tidak responsif, dan mempertahankan kekuasaan demi diri sendiri.
Akibatnya, generasi baru tidak lagi beresonansi dengan narasi lama dan nostalgia politik pembangunan Soeharto muncul ke permukaan.

KESIMPULAN

Menurut berbagai teori sosial politik yang telah dijelaskan, pemimpin reformasi yang berkuasa terlalu lama cenderung mengalami keusangan politik (political obsolescence) karena kehilangan kemampuan adaptasi terhadap perubahan sosial, nilai, dan aspirasi generasi baru.
Reformasi juga telah dinilai tidak mampu menciptakan narasi ikonik yang mendapat tempat dalam sanubari kehidupan rakyat.

Fenomena “pemimpin kedaluwarsa” bukan hanya soal usia biologis, tetapi tentang ketidakmampuan membaca ZEITGEIST atau “semangat zaman” yang mewakili tren, suasana hati, dan pandangan kolektif masyarakat pada periode waktu tertentu.

Sewajarnya bangsa Indonesia bersatu dan tidak mengekploitasi kesalahan-kesalahan para pemimpin masa lalu yang bergelar pahlawan nasional, tetapi belajar dari segi kebaikan mereka. Pahlawan nasional bukan malaikat yang tidak berdosa, sebagaimana layaknya manusia, mereka memiliki kehidupan yang tidak sempurna.

Dalam konteks kepahlawanan, Ibaratnya sebuah gelas yang setengahnya berisi air, kita lebih baik mengatakan gelas tersebut setengah penuh (half full) ketimbang mengatakan setengah kosong (half empty) walaupun kedua dua nya benar tetapi yang satu dirasakan penuh optimisme dan yang satu lagi bernuansa sinisme.@

17 Nopember 2025
Kebayoran Baru, Jakarta

Share :

Baca Juga

Wagiman Deep

Esai

Wawancanda Wagiman Deep: “Buzzer Mesti Ada Stempel Hololnya”

Esai

Politik Hukum Anas Urbaningrum
SADIMAN

Esai

Letjen TNI (Purn) Doni Monardo dan Warisan

Berita

Muhaimin Iskandar Cethar

Esai

Pemerintah yang Dengki Terhadap Rakyatnya
Laksamana

Berita

DI BALIK REFORMASI 1998: Komponen Sistemik PANCASALAH

Esai

Food Estate, Makan Siang Gratis dan Alih Fungsi Lahan
Laksamana Sukardi

Berita

Senjata Nuklir Ekonomi