MUHAIMIN ISKANDAR CETHAR. Saya mengenalnya selintas, tahun 2007, dan dua tiga kali bertemu dalam obrolan ringan. Cak Imin orang yang enak diajak bicara. Humoristik, joke-nya banyak, hangat, dan orang menjadi mudah akrab dengannya.
Tahun 2007, mendadak saya diajak Gus Dur ke Bali, mendeklarasi PKB sebagai Partai Hijau. Saya tiba dalam rombongan VIP, disambut kasidah, diberi kamar hotel yang bagus, diajak menemui raja-raja Bali, dan makan bareng Cak Imin yang mestinya heran karena saya bersandal, gondrong, bertato dan berkaos oblong.
Saya memang mengenal Gus Dur sejak 1980-an. Sering mendengar ceramahnya, setiap pekan bertemu karena Gus Dur dengan Vespa-nya menjemput Mbak Nur (Ibu Sinta), redaktur budaya majalah Zaman dan saya reporter di situ. Waktu Gus Dur Presiden, saya termasuk redaksi Zaman yang beberapa kali diundang ke istana untuk makan enak. Juga membantu saya yang saat itu kerja sosial di perkampungan pemulung dekat rumah saya. Dengan latar belakang seperti itu, Cak Imin mungkin menganggap saya dekat dengan Gus Dur dan Mbak Nur.
Maka ketika Cak Imin bersengketa dengan Gus Dur, saya diajak sahabat saya berkunjung di rumahnya di kawasan Kuningan. Kami ngobrol, ditemani Mas Jazilul Fawaid yang kini Wakil Ketua MPR RI. Tentu termasuk kemungkinan Cak Imin berdamai dengan Gus Dur. Saya hanya bilang, berseteru dengan Gus Dur itu hanya bisa kalah atau menang. Kebanyakan kalah. Kalau Cak Imin melawan dan menang, itu luar biasa.
Dan Cak Imin jadi Ketum PKB, beberapa kali mendeklarasi diri sebagai Bacapres, dan kini jadi Cawapres Anies. Cak Imin adalah aktivis, politisi sekaligus “ustad”, yang orasinya lebih sempurna dibanding Anies. Cak Imin lebih cethar, istilah now-nya. Tengok saja, pemanggilan KPK yang oleh publik dikaitkan dengan rekam jejak kardus durian, oleh Cak Imin disebut, “Saya telah membantu KPK dst.” Saat merespon Ketua PBNU yang tidak berpolitik, “Politik itu berat. Biar PKB saja,” kata Cak Imin, cethar, dan menjadi judul berita. **
Harry Tjahjono
9/9/2023