Defacto.id – Menonton miniseries sembilan episode ini mengingatkan kita pada dua hal: Begini seharusnya kisah nyata diangkat menjadi film, riset yang baik.
Tetap mengikuti alur kisah aslinya, menambah karakter, cerita dan dialog fiktif yang pas, dibuat dengan detail – set, kostum, make-up yang tak asal-asalan dan casting yang cermat.
Kedua, gerakan perempuan di mana pun sebenarnya sangat berpengaruh pada kehidupan perempuan masa kini. Jadi boleh dibilang miniseries kreasi Dahvi Waller ini penting, dan relevan.
Mrs. America berseting Amerika 1971 – 1980. Di akhir masa pemerintahan Nixon hingga awal Reagan berkuasa, dua kubu perempuan yang beda ‘kiblat’: konservatif dan women’s lib mulai memanas.
Kaum konservatif dipimpin Phyllis Schlafly bersikukuh menjadikan Amerika sebagai negara bagi ibu rumah tangga, yang bekerja dari rumah, mengikuti kemauan suaminya dan mengurus anak saja.
Tak perlu berkarir karena cukup tetap di rumah, toh suami akan memberikan semuanya. Mereka juga anti aborsi karena melawan kemauan gereja, tak peduli punya penyakit bahaya, korban perkosaan atau tak punya uang untuk menghidupi anaknya. Plus, mereka juga tak setuju pada kehadiran LGBT.
Sementara itu, perempuan liberal adalah kebalikan semuanya. Mereka menuntut tiap negara bagian mensahkan ERA alias Equal Right Amendment, dan persaingan memperebutkan vote para senator yang rata-rata laki-laki inilah yang menjadi pertarungan dalam Mrs. America.
Tokoh-tokoh liberal dan feminis dari berbagai usia dan warna kulit, dari Betty Friedan, Shirley Chisholm, Bella Abzug dan Gloria Steinem bersatu melawan gerakan konservatif Phyllis cs.
Bila geng konservatif rata-rata beranggotakan Republican, kelompok liberal cenderung netral, meski banyak partisan Demokrat tapi satu pentolan Republik Jill Ruckelshaus jadi salah satu tokoh penting di sini.
Tiap episode selain memperkenalkan para tokoh perempuan penting juga bagaimana dua kubu beda arah ini membuat rencana dan aksi masing-masing. Phyllis dan kelompoknya yang militan, bergerilya lewat newsletter yang sekitar sepuluh ribuan dan mereka ini mencetak, mengirim sendiri semuanya.
Suatu kali grup yang menyebut diri sebagai ‘Eagle Forum atau STOP ERA’ — setelah ada banyak nama diajukan dan tak pernah disetujui Phyllis — menemukan ada kelompok perempuan lain yang pelanggan newsletter-nya tak kalah banyak, maka Phyllis pun berniat mengakusisi grup tersebut.
Tapi kali ini tak mudah, bos pemilik network ini tak kalah konservatif dan militan, Phyllis harus mau kompromi agar mereka mau bergabung dalam geng ‘STOP ERA’-nya. Sementara Gloria Steinem cs terus melobi para senat agar hak-hak perempuan yang selama ini terabaikan bisa jadi kebijakan nasional.
Serial terbatas ini benar-benar bisa membuat penonton terbawa suasana, seolah ini riil dan sedang terjadi. Sungguh susah tak memihak satu kubu atau tokoh di sini. Apalagi naskah dan editingnya yang dinamis seakan mempermainkan pikiran dan emosi kita ‘terlibat’ dalam kubu satu ke kubu satunya.
‘Tek-tok’ yang menggemaskan ini membuat Mrs America jadi tontonan nikmat dan penuh greget. Dan kita diajak ‘bertarung’ di dalamnya.
Belum lagi Phyllis Schlafly salah satu tokoh utamanya yang cenderung antagonis. Phyllis Schlafly sendiri bukan karakter asing, di sekitar kita tak jarang bertemu orang pintar yang merasa paling pintar, paling benar, paling hebat, ambisius, kompetitif dan tak mau kalah.
Bukan hanya dirinya sendiri, tapi meski begitu sayang dan protektif pada anak-anaknya ia juga ibu yang tak mau bila anaknya tak juara atau tak mengikuti kemauannya.
Orang-orang di sekeliling Phyllis harus tunduk pada keinginannya, mendukung cita-citanya bahkan mau diatur olehnya. Tak jarang Fred, sang suami kesal padanya, sering pula anak-anaknya malu, bahkan salah satu anaknya Phyllis Jr mengganti namanya dengan Liza supaya tak mirip dengan nama sang ibu.
Sebagai Phyllis Schlafly, Cate Blanchett berakting luar biasa, tak punya kata lain untuknya, selain: Blanchett benar-benar aktris super. Dalam hitungan detik, ia bisa merubah emosinya, mimiknya dan ‘sialnya’ kita bisa merasakannya.
Rasanya itu bukan akting. Penonton bisa saja akan benci, sebal, kasihan pada Blanchett sebagai Phyllis di sini. Penuh percaya diri dan yakin apa yang ia katakan – meski tak selalu benar bahkan kadang asal njeplak tanpa data, munafik dan jago menyembunyikan perasaan, Blanchett benar-benar melebur sebagai Phyllis.
Para aktris ‘supporting’ tak ada satu pun yang mengecewakan. Rose Byrne yang memerankan Gloria Steinem dalam adegan-adegan tertentu benar-benar bak Steinem yang asli, gayanya membungkuk, berjalan, tertawa… dengan wig dan kacamata Byrne adalah Gloria Steinem, salah satu feminis paling terkenal itu.
Di tahun 70-an Steinem yang sudah terkenal dan jadi panutan perempuan muda liberal juga sosok yang tak kalah menarik. Ia dikagumi, sekaligus bikin iri sesama feminis lain lantaran hidup bahagia sebagai perempuan single – sesuatu yang masih cukup langka pada masanya, apalagi kaum konservatif mengatakan kebahagiaan perempuan ada di bawah telapak kaki suami.
Tapi Steinem ‘cuek’. Ia menjalin hubungan romantis dengan pengacara berkulit hitam, Frank Thomas, seorang duda dua anak.
Tiga aktris supporting lain: Margo Martindale, pemeran Bella Abzug, Tracy Ullman yang menjadi feminis ‘gaek’ Betty Friedan dan Uzo Aduba pemeran Shirley Chilshom juga tampil brilian.
Chilshom adalah pendobrak. Ia adalah perempuan kulit berwarna pertama yang mencalonkan diri sebagai presiden Amerika. Meski kalah pendukung tapi bayangkan Chilshom sudah begitu bersinar di panggung politik 50 tahun sebelum Kamala Harris jadi wapres perempuan berkulit warna pertama di sana.
Selain mereka, deretan aktor-aktris lain, dari Sarah Paulson, Melanie Lynskey, John Slattery hingga Jeane Tripplehorn bermain pas. Nyaris tak ada yang ‘kurang’. Bahkan aktor-aktris yang biasanya bermain tanggung macam Elizabeth Banks atau Ari Graynor tampil ‘ganas’ dan menyakinkan di sini.
Dan yang paling mengejutkan adalah Adam Brody. Hanya muncul di satu episode sebagai suami feminis muda Brenda Feigen-Fasteau yang harus berdebat melawan pasangan Schlafly di televisi, Brody ‘lulusan’ Gossip Girls itu tampil menyakinkan. Natural, matang, bahkan dengan rambut semi gondrongnya ia begitu seksi.
Yang tak kalah menyenangkan adalah melihat para aktris bebas botox dan oplas lengkap dengan garis-garis wajah dan berekspresi seperti manusia normal. Plus, soundtrack-nya yang keren dan spot-on, serial terbatas 9 episode yang hadir di streamer Hulu ini wajib tonton, bahkan kalau perlu ditonton ulang.
(Ayu Gendis)